DR Valentin Hernandez, Menteri Pertambangan Venezuela,
berkeliling ke negara-negara penghasil minyak OPEC. Dalam
rencananya dia akan mengunjungi Nigeria, Lybia dan Aljazair.
Wakil tetap Venezuela dalam OPEC itu juga akan mampir ke Arab
Saudi untuk berbincang-bincang dengan Sheikh Zaki Yamani. Dia
juga akan terbang ke Teheran, ibukota Iran menemui rekannya Dr
Yamshid Amouzegar.
Tahun lalu yang berbuat begitu adalah Menteri Pertambangan Moh.
Sadli selaku Presiden OPEC. Itu terjadi sebelum berlangsungnya
konperensi OPEC di Doha, ibukota emirat Qatar -- konperensi yang
malangnya melahirkan harga minyak ganda. Agak berbeda dengan
misi Sadli, muhibah Hernandez adalah untuk menyampaikan hasil
kunjungan presidennya. Adalah Presiden Carlos Andres Perez dari
Venezuela yang sebelumnya berkeliling ke negara-negara yang akan
dikunjungi Hernandez. Upaya yang dirintis Presiden Perez tak
pelak lagi adalah untuk meluruskan jalan sebelum dimulainya
konperensi OPEC 12 Juli nanti.
Adakah konperensi yang kali ini akan berlangsung di Stockholm,
ibukota kerajaan Swedia itu, akan berhasil mencapai keseragaman
harga minyak? "Itulah yang menjadi harapan banyak negara OPEC",
kata Sadli. Kepada TEMPO pekan lalu, Menteri Sadli menyatakan
hasil-hasil yang diperoleh Presiden Perez itu sebagai "baik".
Sekalipun dia belum bersedia bicara lebih banyak tentang itu.
"Belum waktuslya, tunggu hasil kunjungan Dr Hernandez nanti",
katanya.
Menyesal, Termasuk Arab
Harapan untuk itu bukan tak ada. Seperti kata Menteri Sadli,
"semua anggota termasuk Arab Saudi merasa merlyesal". Setidaknya
menurut Sadli, "tak ada yang merasa menang, tapi semuanya merasa
rugi", sebagai akibat adanya harga ganda itu. Di samping harga
Arab Saudi yang cuma naik 5% dan harga non-Saudi yang meningkat
10%, di pasaran minyak juga timbul harga ketiga, yaitu minyak
Afrika. Seperti halnya minyak Indonesia, maka minyak Aljazair,
Nigeria dan Lybia merupakan minyak ringan yang berkadar belerang
rendah. Jenis ini banyak diminta di daratan Eropa dan Amerika
karena kwalitasnya. Juga karena alasan geografis mengingat letak
Afrika yang lebih dekat ke Eropa.
Berbeda dengan Jepang, maka penyulingan minyak di Eropa dan AS
belum diperlengkapi dengan alat penyaring belerang
(desulfunsasil). Maka minyak Afrika seperti juga minyak
Indonesia masih punya pasaran yang kuat. Bedanya adalah: harga
minyak Afrika yang kini punya jenis premium sedikit lebih tinggi
di pasaran.
Tapi akhir-akhir ini, setelah meredanya musim dingin yang
dahsyat di AS dan Eropa, permintaan akan minyak terasa menurun
sedikit demi sedikit. Dapatkah negara-negara penghasil minyak
mempertahankan harganya yang sekarang? Akan mampukah mereka
menaikkan harga di bulan Juli nanti sesuai dengan perjanjian di
Doha? Tentang yang pertama, agak mudah diduga harga yang berlaku
sekarang minimal akan dipertahankan. Sekalipun masih ada
kekhawatiran bahwa Arab Saudi akan bertahan pada tingkat harga
mereka yang sekarang.
Suara dari Saudi memang belum terdengar nyaring. Tapi melihat
sikap Yamani yang ngotot ketika di Bali dan Qatar, bukan
mustahil Arab Saudi bakal tarik urat lagi. Sekalipun produksi
minyak Saudi yang 8,5 juta barrel sehari itu sedikit terganggu
gara-gara kebakaran besar di salah satu ladang terbesar di
Abqaiq pekan lalu -- dan sempat membuat goncang nilai yen di
bursa saham Jepang -- musibah itu menurut pimpinan maskapai
minyak Aramco akan sedikit mengurangi ekspor minyak mereka.
I,adang Abqaiq - yang mtuk sementara ditutup - menghasilkan
sekitar 875.000 harrel sehari: 10% dari seluruh produksi Arab
Saudi.
Indoesia-Kuwait Sama
Indonesia yang akan diwakili oleh Menteri Sadli dalam pertemuan
di Stockholm nanti, boleh dibilang seirama dengan Kuwait. Tapi
lebih maju sedikit Sadli melihat akan terjadinya suatu take and
give dalam konperensi di Stockholm. Dengan kata lain, Arab Saudi
akan terpaksa - demi kesatuan OPEC menaikkan harga minyaknya.
Tapi di pihak lain, para anggota yang lain barangkali harus
menekan keinginannya untuk menaikkan tambahan yang 5% lagi itu.
Bagaimana persisnya komposisi harga yang bakal tercapai memang
harus ditunggu. Tapi, seperti kata Sadli "hasil di Stockholm
nanti kira-kira akan moderat".
Sementara itu, apa yang mungkin masih "dirahasiakan" Menteri
Sadli terungkap juga dalam Middle East Economic Survey akhir
pekan lalu. Mengutip sumber-sumber OPEC, buletin minyak yang
berwibawa itu mengatakan tak kurang dari 11 anggota OPEC telah
memutuskan untuk membatalkan tambahan kenaikan yang 5%, yang
sedianya mulai berlaku 1 Juli nanti. Tak disebutkan apakah Arab
Saudi sudah merasa puas dengan sikap 'mundur' ke-11 rekannya
itu. Tapi Menlu Kuwait Sheikh Sabah Al Jaber - yang minggu lalu
menjadi tamu Menlu Adam Malik di Jakarta - selepas bertemu
dengan Presiden Soeharto di Bina Graha menaruh harapan baik
untuk pulihnya kesatuan harga minyak. "Itu tak berarti
mengurangi kenaikan harga 10% sekarang ini", katanya.
Perkembangan selanjutnya sebelum para wakil OPEC berangkat ke
Stockholm itu akan lebih jelas lagi dalam bulan Juni ini. Antara
jarak waktu tersebut akan lebih kelihatan apakah OPEC sudah siap
untuk melaksanakan rujuk harga itu. Kalau tidak, bisa dipastikan
bahwa pertemuan di negeri pemberi hadiah Nobel itu bakal seru
lagi.
Carte Juga Menaikkan
Namun begitu, yang agaknya tak bisa diingkari Arab Saudi adalah
ini: Bahwa perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan perlunya
kenaikan harga minyak lagi. Presiden Jimmy Carter - yang di
London bersepakat bersama ke-enam negara industri lainnya untuk
melancarkan penghematan enerji (baca: minyak) - baru saja
mengajukan rancangan UU untuk menaikkan harga minyak dalam
negeri. AS sadar minyak sebagai barang yang langka. Maka
harganya pun oleh Carter dipandang harus mencerminkan cadangan
yang ada. Jadi kebijaksanaan harga minyak yang tinggi itu antara
lain bermaksud agar rakyat di AS lebih berhemat lagi dalam
penggunaan bahan bakar minyak.
Apabila UU tersebut jadi disahkan oleh Kongres, itu akan punya
pengaruh yang cukup besar terhadap struktur harga yang dipasang
OPEC. Dengan begitu negara anggota OPEC di luar Arab Saudi -
yang selalu menghendaki harga yang lebih tinggi - seperti
mendapat angin dari Carter. Dengan tindakannya itu, Presiden
Carter dengan tak sengaja sudah menciptakan semacam 'harga
lantai' di bawah mana harga minyak OPEC tak boleh turun lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini