Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sambutlah susi dengan senyuman

Susi Susanti berhasil merebut gelar juara tunggal putri di All England 1990, dengan menundukkan Huang Hua dari Cina.Di beberapa nomor lainnya, Indonesia masih merangkak. persiapan Piala Thomas & Uber.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSI Susanti menaikkan pamor Indonesia di arena bulu tangkis. Pemain muda berbakat, kelahiran Tasikmalaya 19 tahun silam, ini memang pantas mendapat acungan jempol. Ia menjadi pemain Indonesia pertama yang mampu merebut gelar juara tunggal putri All England. Di final, di hadapan sekitar 6.000 penonton yang memenuhi Stadion Wembley Arena, London, Inggris, Sabtu pekan lalu, Susi menundukkan Huang Hua dari Cina dengan dua selangsung, 12-11 dan 11-1. Di set pertama, pemain unggulan kesatu ini langsung menggebrak dan unggul 6-0 sebelum dikejar menjadi 6-5. Dengan segudang pengalaman di arena internasional, Susi melaju hingga 10-5. Pada posisi ini, ia sempat membuat pendukungnya deg-degan. Apalagi Huang Hua mampu mengeja ketinggalannya. Di set kedua, Susi berada di atas angin dan langsung melaju hingga 10-1. Begitu pengembalian backhand Huang Hua melebar, Susi langsung mengangkat kedua tangannya. Gembira, karena dialah sang juara. "Saya terlalu hati-hati dan agak gugup setelah melaju dengan mudah. Akibatnya, ya, begitu," ujar Susi tentang penampilannya di set pertama. Namun, pada set kedua, juara dunia yunior 1987 dan 1988 serta finalis All England 1989 ini merasa lebih santai dan bisa melakukan serangan lebih terarah. "Saya sangat senang dengan hasil ini dan target berikutnya merebut Piala Uber," tambah Susi sembari mengusap matanya yang berkaca-kaca karena terharu. Ini berarti Susi unggul 2-1 atas Huang Hua. Susi dikalahkan Huang Hua pada Kejuaraan Dunia 1989 di Jakarta, dan kekalahan itu dibalasnya di Kejuaraan Indonesia Terbuka, November lalu. Di dunia internasional, prestasi mahasiswi STIE Perbanas Jakarta ini dimulai sewaktu dia terpilih memperkuat regu Piala Uber 1988. Ia dikenal bermain gigih. Kegigihannya itulah yang membawa Indonesia merebut Piala Sudirman -- lambang kejuaraan dunia beregu campuran -- Juni tahun lalu. Susi merebut gelar juara dunia 1989 di Guangzhou, Cina, dengan menundukkan pemain nomor dua Cina, Han Aiping. Selang beberapa minggu, Susi kembali menunjukkan keperkasaannya dengan menjuarai kejuaraan Indonesia Terbuka 1989 di Pontianak, Kalimantan Barat. Keberhasilan Susi ini menambah semangat tim Piala Uber Indonesia -- yang diunggulkan di tempat kedua, setelah juara bertahan Cina -- dalam menghadapi putaran final, akhir Mei mendatang, di Jepang. "Susi sudah membuktikan tekadnya, sebab tahun lalu dia gagal," kata M.F. Siregar, Ketua Bidang Pembinaan PBSI. Ketika itu, Li Lingwei (Cina) menundukkannya dua set langsung. Siregar berharap agar sambutan terhadap Susi jangan berlebihan, cukup dengan senyuman saja. "Sasaran utama kita adalah perebutan Piala Uber di Tokyo," begitu alasannya. Masalahnya, persiapan yang tinggal dua bulan ini masih menghadapi beberapa persoalan. Menurut Siregar, gambaran materi pemain memang sudah jelas. Tapi, kekalahan ganda pertama -- Rosiana Tendean/Erma Sulistyaningsih -- atas pasangan Inggris, Gillian Clark/Gillian Gowers, di babak semifinal All England adalah bukti diperlukan persiapan yang lebih baik lagi. "Harapan kita, tadinya, minimal pasangan yang diunggulkan di tempat pertama itu bisa masuk final," kata Siregar. Begitu juga untuk ganda kedua, pasangan Verawaty/Ivanna Lie yang gugur di babak ketiga dari pasangan Denmark, Dorte Kjaer/Nettie Nielsen. Ini masih dipertimbangkan apa perlu membongkar menjadi pasangan Verawaty/Yanti Kusmiati. Di nomor tunggal, baru Susi Susanti yang benar-benar bisa diandalkan. Sedangkan pemain lainnya, seperti Sarwendah, Lilik Sudarwati, Minarti Timur, dan Kho Mei Hwa, masih belum begitu mantap. Karena itu, begitu pemain tiba di Tanah Air, mereka langsung digembleng di Pelatnas. "Mudah-mudahan waktu yang tersisa bisa dimanfaatkan secara maksimal. Apalagi tantangan di Piala Uber amat berat, masuk final saja merupakan suatu kemajuan," ujar Siregar. Di bagian putra, Zhao Jianhua, juara All England 1985 -- yang dikabarkan sempat menderita radang paru-paru, dan karena itu lama absen -- terlalu kuat untuk Joko Suprianto. Joko, 23 tahun, kelahiran Solo, dibantai straight set (15-4 dan 15-1) hanya dalam waktu 23 menit. Di semifinal, Zhao juga membabat Alan Budikusuma, pemain yang menduduki peringkat pertama dalam tim Piala Thomas Indonesia di babak penyisihan akhir Februari lalu. Kemenangan Zhao membuat peta kekuatan tim Piala Thomas Cina semakin sukar ditebak. Peringkat terakhir menunjukkan bahwa Xiong Guobao berada di atas dan disusul Yang Yang, baru Zhao Jianhua. Di All England kali ini, Yang Yang dan juga Guobao sengaja "diperam" dan jelas Cina bermaksud menaikkan peringkat dunia Zhao. Soalnya, untuk menentukan urutan susunan pemain single dan double di Thomas Cup nanti, didasarkan kepada peringkat yang dikeluarkan oleh International Badminton Federation (IBF) sesuai dengan prestasi mereka di kejuaraan internasional. Kini, peringkat pemain Cina, mungkin menjadi: Guobao, Zhao, dan baru Yang Yang. Tapi, ini juga belum tentu, karena ada catatan: Yang Yang adalah juara dunia 1989. Sementara itu, di kubu Indonesia, kalahnya Eddy Kurniawan di semifinal All England 1990 dari Joko, agaknya, membuat Eddy kini berada di peringkat ketiga, di bawah Alan Budikusuma dan Joko Suprianto. Sedangkan Ardy Wiranata berada di bawah ketiga pemain ini. Memang, masih ada Prancis Terbuka, mulai pekan ini, yang bisa membuat urutan peringkat ini berubah. Namun, apa pun yang terjadi di Prancis Terbuka, banyak pengamat sudah meramalkan bahwa Indonesia akan berjumpa dengan Cina di final Thomas Cup nanti. Hasil All England membuat M.F. Siregar tambah pusing memikirkan strategi di Tokyo nanti. "Itu suatu bukti bahwa Cina masih di atas Indonesia," kata Siregar. Menurut dia, Joko tidak perlu kalah begitu telak, secara teknis perbedaan mereka tidak terlalu jauh. Kekalahan Joko karena adanya faktor nonteknis belaka. "Dia masih tetap salah satu andalan kita. Kerberhasilannya masuk final membuat peringkatnya meningkat di dalam tim kita," ucap Siregar. Siregar melihat bahwa sektor tunggal Indonesia masih belum mantap. Alan misalnya, kandas dari Zhao Jian Hua di babak perempat final. Ardy dikalahkan pemain muda tuan rumah, Anders Nielsen, di babak kedua. Menurut Siregar, penampilan pemain-pemain Indonesia di All England belum pada kondisi yang maksimum. "Puncak penampilan mereka baru pada bulan Mei mendatang." Rudy Novrianto, Toriq Hadad, dan Asbari N. Krisna (Belanda)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus