Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pham xuan an dari hanoi

Kisah pham xuan an, seorang wartawan merangkap mata-mata. semasa perang vietnam, pham adalah koresponden majalah time di saigon dan menjadi mata-mata vietnam utara. ia tetap tinggal di ho chi minh.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pham Xuan An dari Hanoi Inilah kisah lain tentang profesi wartawan dan mata-mata. Morley Safer adalah seorang redaktur pembantu program "60 minutes" televisi AS CBS. Dalam kunjungannya ke Ho Chi Minh City baru-baru ini, ia bertemu dengan kawan semasa Perang Vietnam dulu, Pham Xuan An, koresponden majalah Time di Saigon, yang ternyata mata-mata Vietnam Utara. Berikut cuplikan dari buku Safer tentang rekannya itu, yang dimuat di The New York Times Magazine awal Maret. SELAMA sepuluh tahun, Pham Xuan An bertugas sebagai koresponden Time di Saigon. Keahliannya adalah bidang politik dan militer Vietnam yang sangat rumit. Di Time ia juga dianggap seorang bijak, tempat bertanya, baik di kalangan kawan maupun saingan. An seorang yang terbuka, menyenangkan dengan selera humor yang baik. Ini membuatnya diterima oleh kalangan militer Amerika dan Vietnam Selatan, maupun pada acara-acara diplomatik. Dia termasuk satu dari sedikit wartawan Vietnam yang diperkenankan hadir pada pertemuan-pertemuan rahasia pihak Amerika. Pada 25 Januari lalu, pukul 7 malam, kami menemui Pham Xuan An di Distrik Phu Nhuan, di Jalan Dien Bien Phu. Ia tinggal di sebuah villa kecil, yang kebanyakan ditempati oleh kalangan kelas menengah Kedutaan Amerika Serikat selama perang. Ia kini berusia 61 tahun, tapi kelihatannya 20 tahun lebih tua. "Bagaimana semua itu dimulai?" tanyaku. "Kejadiannya biasa-biasa saja. Pada 1944, orang-orang Jepang masih di sini. Saya bergabung dengan Vietminh bersama dengan sebagian besar teman-teman sekelasku. Itu semua hanya persoalan memilih, dan itulah satu-satunya yang bisa kami pilih. Kami adalah patriot. Kemudian ketika orang-orang Prancis kembali, segalanya tak berubah, kecuali musuh. Saya tak mengerjakan hal-hal yang bisa disebut gagah berani. Saya hanya menjadi kurir," katanya. "Yang namanya benar-benar bekerja terjadi pada 1960, ketika bekerja untuk Reuters, saya berpangkat komandan resimen. Tentu saja, saya tidak pernah memakai seragam. Saya tak pernah membawa senjata. Tahun-tahun ketika saya bekerja untuk Time, pangkat yang saya sandang adalah kolonel." Menurut An, di Saigon ia punya sistem penghubung. "Jadi, setiap informasi, saya sampaikan kepada penghubung ini. Saya selalu menghindari penyampaian laporan tertulis. Setiap bulan, untuk dua atau tiga hari saya menghilang. Pada waktu itulah saya menemui penghubung di beberapa tempat di Saigon, sering kali di hutan Ho Bo." Ia mengaku selalu dalam ketakutan. "Pada tahun 1960-an, terdengar desas-desus bahwa saya bekerja untuk CIA. Saya selalu berusaha untuk menghindari cerita-cerita itu, walaupun saya tahu itu akan memberi perlindungan. Pada awal 1970-an, ketika pemerintah boneka akan jatuh, saya takut tak akan ada waktu untuk menerangkan kepada prajurit muda Vietnam yang datang menyandang senjata AK 47 bahwa saya seorang kolonel." Ia tak takut ketahuan. "Identitas bukan soal. Itu sangat gampang. Tapi, persoalannya adalah kesetiaan. Saya mempelajari kesetiaan di universitas di AS. Untuk saya, dalam hal tertentu, kesetiaan adalah gagasan yang benar-benar Amerika." Ketika Vietcong menang, apa yang terjadi dengan Pham Xuan An? "Saya pulang ke rumah menjemput ibu saya untuk dipindahkan ke hotel. Saya tahu ia akan lebih aman tinggal di sana, karena ibuku sakit keras. Lebih mudah menjaganya kalau di hotel. Istri dan anak-anak saya sudah meninggalkan Vietnam dengan pesawat yang diurus oleh Time." An memilih tetap tinggal di Vietnam. "Barangkali karena saya pikir saya bisa membantu membangun kembali negeri ini. Saya ingin pergi, tapi ada ibu saya yang sudah begitu tua dan sakit-sakitan, kasihan untuk ditinggalkan. Saya pernah berpikir untuk mencari seseorang dan menjaganya, sementara saya bergabung dengan keluarga di Prancis atau Amerika. Namun, mereka tak akan membiarkan saya pergi." Kini keempat anak An berumur 20-an tahun. Yang pertama, lelaki, bekerja sebagai penerjemah. Ia kini belajar bahasa Inggris dan Rusia di institut bahasa asing di Moskow. Anak lelakinya yang lain, seorang insinyur, dan satunya psikolog. Anak perempuan, satu-satunya, duduk di fakultas kedokteran. Sementara itu, An tetap tinggal di Ho Chi Minh ditemani mesin tik Olivetti usang di pojok ruangan. Lantai dan dindingnya tertutup oleh buku-buku berjudul Inggris, Prancis, dan Vietnam. Gundukan surat kabar, buku-buku yang terbuka di rak, semuanya memberi petunjuk bahwa otaknya berisi. Ia memang bukan orang sembarangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus