LAYAR sudah ditutup. Drama pelayaran kapal Lusitania Expresso usai sudah. Setelah beberapa hari sempat tercekam, suasana Dili juga sudah berangsur pulih. Kota yang berpenduduk 125 ribu jiwa ini kembali lagi ke denyutnya yang lama. Jalan-jalan dipadati orang berlalu-lalang, truk militer yang berpatroli tinggal sesekali saja lewat. Kembalinya suasana normal ini tak memakan tempo terlalu lama. Hanya sehari setelah kapal Lusitania memutar haluannya balik ke Darwin, perubahan itu sudah terasa. Kamis pekan lalu, penduduk kota Dili menyaksikan pembubaran Satuan Tugas Khusus (Satgasus) yang dibentuk oleh Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) Timor Timur untuk menghadapi misi Lusitania Expresso. "Tugas Satgasus ini sudah selesai dengan gagalnya pelayaran Lusitania," kata Panglima Kolakops, Brigjen. Theo Syafei. Tak lupa, Theo pun mengucapkan terima kasih pada Angkatan Laut, yang berhasil mengakhiri drama Lusitania dengan memuaskan. Pos pemeriksaan, yang banyak didirikan ketika kabar kedatangan si Lusi kuat berembus di Dili, sebagian sudah ditarik. Singkat kata, kesiagaan militer di Dili sudah jauh berkurang. "Kemarin Dili masih Siaga satu, sekarang sudah dicabut," kata seorang perwira menengah. Sebagai kawasan yang masih dianggap daerah operasi militer, tentu saja kesiapan tentara di sana masih tetap tinggi. Sebelumnya, Dili boleh dibilang "siap tempur" menghadapi serbuan demonstran jika Lusitania lolos dari hadangan kapal-kapal Angkatan Laut. Penjagaan tentara terlihat di mana-mana. Patroli yang dilakukan oleh Batalyon 744, Garnisun Dili, serta satuan Brimob kerap kali lewat di berbagai penjuru kota. Ini adalah bagian dari taktik Brigjen. Theo dalam menangani situasi di Dili. "Agar masyarakat tak terprovokasi. Juga orang yang tadinya bimbang agar membatalkan niatnya untuk ikut berbuat macam-macam," kata Theo. Sebenarnya, kekhawatiran aparat keamanan di Dili bukanlah pada para anggota "misi perdamaian" yang ada di kapal. Kalau toh mereka lolos dan masuk Dili, tentu tak susah menangani anak-anak muda dari 21 negara yang jumlahnya tak sampai seratus orang itu. Yang diperhitungkan bakal merepotkan adalah jika kelompok-kelompok antiintegrasi yang ada Dili muncul dari "kantong-kantong"nya dan membikin hura-hura. Inilah yang dicemaskan bisa berkembang menjadi demonstrasi seperti 12 November tahun lalu, yang akhirnya menjadi tak terkendali dan berbuntut penembakan yang memakan korban sekitar 50 orang. Itu sebabnya, banyak hal sudah dilakukan Satgasus sebelum persiapan menyambut kedatangan Lusitania Expresso memuncak, pekan lalu. Salah satunya dilakukan para kepala desa di Dili, yang mengumpulkan penduduk untuk diberi "petunjuk" dalam menghadapi rencana kedatangan kapal Lusitania. Carlos Peao, Kepala Desa Kaikoli, yang terletak di Dili Barat, mengaku mengadakan dua pertemuan dengan warganya. Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh komandan koramil itu, rakyat diminta agar tak usah melakukan tindakan apaapa yang bisa dikesankan bahwa mereka mengadakan penyambutan. "Kalau kapal masuk ke Dili, tak perlu kita lihat. Kapal itu tak ada hubungannya dengan kita," demikian salah satu pesan Carlos pada warganya. Perkara orang desa tak mendengar imbauan ini, Carlos menyatakan tak akan ada sanksi apa-apa. Namun, seperti biasa di Dili, apa yang menjadi garis kebijaksanaan di atas dengan apa yang tertangkap di bawah tidaklah sama. Seorang penduduk menyatakan, mereka diminta menjauh dari pantai jika tak punya kegiatan yang memang penting. Menurut Gomes, penduduk tadi, mereka bisa ditangkap jika melanggar. "Kalau yang melanggar anakanak, orangtuanya yang ditangkap," katanya. Maka, ketika kapal Lusitania meninggalkan pelabuhan Darwin Senin pekan lalu, suasana Dili menjadi jauh lebih sepi dari biasanya. Jalan-jalan terasa lengang. Terlebih lagi kawasan di sekitar kuburan Santa Cruz, tampak sangat sepi. Tak ada penduduk yang berniat menabur bunga saat itu. "Bukannya apa-apa, tapi kami menghindari jatuhnya korban," tutur seorang pemuda yang dikenal antiintegrasi. Tempat inilah sebenarnya yang menjadi tujuan para peserta yang ikut berlayar dengan kapal Lusitania. Sedangkan di sepanjang pantai Dili, yang menjadi titik pusat perhatian, juga hampir tak terlihat orang, kecuali para petugas keamanan berpakaian preman yang duduk-duduk di bangku istirahat yang tersedia di sana. Suasana sungguh berbeda pada malam harinya. Ratusan perahu nelayan turun memenuhi garis pantai dengan lampunya yang berkelip-kelip, terlihat dari daratan. Menurut kabar angin yang berembus di Dili, turunnya sekitar dua ratus nelayan itu memang disengaja dan menjadi bagian dari pengamanan pantai untuk mencegah kemungkinan penerobosan para aktivis dari kapal Lusitania. Bahkan bahan bakar untuk mereka, konon, juga disediakan aparat keamanan. Namun, kabar itu dibantah oleh para nelayan, yang menyatakan bahwa ramainya pantai Dili pada saat bulan mati seperti saat itu adalah hal biasa. Juga oleh Theo Syafei, yang menganggap hal itu isu tak berdasar. "Saya tak mau melakukan pengerahan seperti itu. Kalau saya lakukan, muncul kesan di masyarakat seolah saya ini tidak kuat," kata Theo. Yang tak terelakkan dalam suasana seperti ini adalah munculnya ketakutan yang tak perlu. Misalnya saja ketika dua pesawat A4 Skyhawk terbang melintas di atas Dili, banyak penduduk berlarian masuk ke rumah. "Kami mengira ada perang," kata seorang penduduk Desa Kaikoli sambil ketawa, ketika belakangan tahu bahwa itu cuma pesawat lewat. Orang Dili memang tak biasa melihat jet tempur berseliweran di atas mereka. Dua Skyhawk yang biasanya berpangkalan di Ujungpandang itu ikut dikerahkan untuk menyambut Lusitania Expresso. Di luar itu, kehidupan di lingkungan formal tetap berjalan seperti biasa. Para pegawai masuk kantor, toko-toko tetap buka sampai pukul sembilan malam. Suasana memang aman di tengah penjagaan yang ketat. Sekolah-sekolah juga tak ada yang meliburkan diri. Di SMA Negeri II, misalnya, 900 muridnya belajar seperti biasa. Pada insiden 12 November, 20 murid sekolah ini ikut masuk ke dalam arak-arakan. Akibatnya, empat orang sempat dirawat di rumah sakit, sedangkan 11 siswa lain tak lagi masuk ke sekolah, juga tak pulang ke rumah. Kemungkinan, mereka termasuk di antara 90 orang yang dinyatakan hilang oleh Komisi Penyelidik Nasional. Kalau boleh dibilang letupan, ada satu yang meletus di kampus Universitas Timor Timur. Lima buah poster terpampang di lantai II Senin pekan lalu, pada hari yang sama dengan keberangkatan Lusitania dari Darwin. Gampang ditebak, isinya mengecam misi pelayaran Lusitania Expresso. "Lusitania bukan misi perdamaian, melainkan provokasi," demikian bunyi salah satunya. Poster-poster itu, menurut salah seorang mahasiswa, dipasang oleh anggota Resimen Mahasiswa Universitas Tim-Tim. Aksi poster ini ternyata tak berkembang menjadi demonstrasi dan tak mendapat intervensi aparat keamanan. Agak mengherankan, di tengah ketatnya penjagaan yang digelar Theo. Namun, ia punya dalih, "Mereka melakukannya di dalam pagar kampusnya, ya boleh saja." Tak cuma itu, cerita Theo, para mahasiswa itu sudah minta izin terlebih dulu sebelum melakukan aksi. Hanya saja, Theo mengaku tak merasa perlu memberi izin. "Minta izin saja sama rektor jika itu hendak dilakukan di dalam kampus," katanya. Sekalipun tampak sudah ada restu di balik aksi ini, mahasiswa Untim tak sepakat jika gerakan ini dibilang rekayasa dari atas. "Poster itu murni ide senat mahasiswa," tutur Fary D.J. Francis, Sekretaris Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian. Menurut Farry, yang bekas penjaga gawang klub sepak bola FC Summa yang sudah dibubarkan, poster itu rencananya juga akan digelar di kuburan Santa Cruz jika rombongan penabur bunga dari Lusitania tiba. Selain demo poster ini, tak ada lagi kegiatan yang berbau protes. Bisa jadi, itu hasil dari pemanggilan sepuluh orang yang dianggap tokoh penting dari kelompok antiintegrasi, dua pekan lalu. Mereka adalah orang yang diperkiraan punya pengikut cukup banyak. Lebih serius lagi, sepuluh orang ini adalah para pegawai pemerintah daerah dari eselon atas. Para pentolan ini diperkirakan bisa dengan mudah mengerahkan pengikut-pengikutnya untuk bergerak. Sekalipun begitu, para pentolan ini tidaklah ditahan. Menurut seorang pejabat tinggi militer, mereka diajak berbicara. Langkah ini dianggap paling efektif karena, "bila mereka yang punya kemampuan menggerakkan orang sudah dipegang, yang lain akan ikut seperti air". Namun, sumber TEMPO yang lain di kalangan militer menyebut, mereka sebenarnya bukan cuma diajak bicara, tapi diperingatkan dengan keras agar tak berbuat neko-neko. Terlebih lagi, selama ini tentara mengawasi para pentolan ini dan mempunyai catatan yang cukup banyak tentang kegiatan mereka yang dinilai bisa dianggap berbau makar. Bisa disimpulkan, Kolakops sudah bertindak sangat serius dalam menghadapi berbagai kemungkinan di Dili. Mulai dari patroli yang ketat sampai pemanggilan para pentolan tadi. Tak heran jika lantas ada yang menilai langkah itu agak berlebihan. Apalagi ketika diketahui belakangan bahwa Lusitania hanyalah mengangkut anak-anak muda yang sebagian cuma setengah hati ingin mendarat di Dili. Namun, Mayjen. H.B. Mantiri, Panglima Kodam IX Udayana yang juga membawahkan Timor Timur, beranggapan bahwa berbagai persiapan itu memang perlu. Ia mengakui, jika ditinjau secara militer, ancaman yang ditimbulkan oleh misi Lusitania Expresso ini sangat kecil. "Mereka ini bukannya berbahaya, tetapi kurang ajar. Kalau secara baik-baik nggak mau, mengapa tidak ditindak dengan tegas?" kata Mantiri tentang kebijaksanaan anak buahnya. Seorang pengamat militer menilai, berbagai langkah keras yang diambil Brigjen. Theo ini sebenarnya merupakan bagian dari perang urat saraf dengan kelompok-kelompok antiintegrasi. Dalam situasi seperti sekarang ini, menurut pengamat tadi, Theo memang perlu meneruskan sikap keras itu. Terlebih lagi, dalam waktu dekat, masyarakat Tim-Tim yang mayoritas Katolik akan merayakan Paskah. Setiap tahun, prosesi besar yang iring-iringannya bisa sampai lima kilometer lebih itu akan diselenggarakan untuk menyambut pekan suci (seminggu sebelum Paskah). Dalam situasi seperti ini, jelaslah jika kendali tak berada di tangan Theo, kemelut yang lebih buruk dari insiden 12 November bisa saja meletus. Theo sendiri tak menyangkal akan tetap mempertahankan garis kerasnya. Itu dianggapnya tetap perlu karena, dalam pertimbangan Theo, "Operasi Cinta Kasih" yang selama ini dilancarkan ABRI telah dianggap oleh kelompok antiintegrasi sebagai kelemahan dan keraguraguan aparat keamanan. "Image ini yang harus dihilangkan," katanya. Dan sekarang, posisi Theo tampaknya semakin diuntungkan dengan gagalnya pelayaran Lusitania Expresso, yang balik begitu saja tanpa perlawanan sama sekali. "Saya sekarang bisa bicara dengan orang Tim-Tim, bahwa begitulah mereka. Baru dihadang, langsung berhenti," kata Theo. Apa yang terjadi di laut memang sungguh di luar perhitungan banyak pihak, bahkan oleh Angkatan Laut Indonesia sendiri, yang sudah bersiap dengan kemungkinan yang paling buruk. Menurut skenario yang digelar oleh Gugus Tempur Laut Armada Timur, yang mendapat bagian melakukan pencegatan, ada 16 tahapan tindakan yang akan mereka ambil untuk mencegah masuknya Lusitania Expresso ke dalam perairan Indonesia. Keenam belas langkah itu sudah mencakup segala hal. Mulai dari memberi peringatan, membelit baling-baling Lusitania dengan jala supaya berhenti, menubruk dari belakang, hingga memberi tembakan peringatan. "Tapi, baru sampai langkah kelima, kapal itu sudah kembali," kata Panglima Armada Timur, Laksamana Muda Tanto Kuswanto. Maksudnya, Lusi baru sampai taraf "diperingatkan". Perburuan Lusitania oleh gugus tempur laut yang dikomandani Kolonel Haryono juga bisa dibilang tak menemui kesulitan. Kapal yang ditugasi mencari Lusitania pertama kali adalah jenis kawalrusak atau korvet, yang bernama KRI Ki Hadjar Dewantara. Sehari-harinya Ki Hadjar Dewantara juga dipakai sebagai kapal latih oleh taruna Akabri Laut. Begitu dikabarkan Lusi sudah bergerak dari Darwin, Ki Hadjar segera angkat sauh dari posnya di Pulau Babar, agak jauh di sebelah timur pulau Timor. Dengan kecepatan 15 knot (hampir dua kali kecepatan Lusi yang rata-rata 8 knot) mesin-mesin turbin gas Ki Hadjar dikebut untuk mencari "Bedhes" -- dialek Surabaya yang berarti monyet, yang dijadikan sandi buat Lusitania -- di perairan selatan Pulau Yako. Di sini suasana betul-betul santai tanpa ada ketegangan sama sekali. Lounge Room kapal yang dilengkapi karaoke tak pernah sepi dengan awak yang bersantai menyanyi, sebagian main kartu membunuh waktu. Di ruang komando, ada yang iseng menuliskan "Wanted: Dead or Alive" di atas gambar kapal Lusi yang juga dilengkapi spesifikasi kapal penyeberangan tua buatan Jerman ini. "Kalau dia macam-macam paling akan diberi 'lemper'," kata Letnan Kolonel Edi Suyadi, komandan Ki Hadjar Dewantara. "Lemper" bukan kata sandi, melainkan istilah guyonan Edi untuk torpedo. Betul, sekitar pukul sembilan si "Bedhes" Lusi sudah mulai bisa dilihat dengan mata. Mulanya awak Ki Hadjar masih ragu, namun ketika kilatan blitz berhamburan dari kapal yang masih samar-samar itu, mereka yakin betul, itulah si "Bedhes". Peralatan sonar pun segera dinyalakan, untuk menjaga kalau-kalau ada serangan lewat bawah air. Suasana tetap santai. Maklum, tugas Ki Hadjar memang hanya membayangi Lusi agar tak lepas. Lagipula, mereka baru berada di zone ekonomi eksklusif yang belum masuk daerah teritorial Indonesia. Belakangan, sekitar pukul lima pagi, muncul KRI Yos Sudarso ikut membayangi si "Bedhes". Di sini suasana agak berbeda, keseriusan terasa di mana-mana, termasuk juga pada komandan kapal, Kolonel Winarno. "Saya berpikir ke depan. Jika Lusi bandel, lantas anak buah saya emosi, bisa bahaya. Di sini persenjataannya banyak, lho," kata Kol. Winarno. KRI Yos memang harus serius. Beda dengan Ki Hadjar, yang cuma diminta menemukan dan membayangi, Yos diberi tugas untuk mengusir si "Bedhes". Di sini sebenarnya ada perubahan taktik. Mulanya ditentukan setiap kapal masing-masing hanya menjaga daerahnya sendiri. Jika mereka memergoki Lusi, kapal itu langsung melakukan pengusiran. Namun, karena pelayaran Lusi dari siang harinya sudah diketahui jelas mengarah ke posisi Yos, maka Ki Hadjar diminta menjemputnya terlebih dulu untuk kemudian diusir oleh Yos. Mengapa tak langsung oleh Ki Hadjar? "Karena Yos persenjataannya lebih lengkap," kata Laksda. Tanto. Maka, para awak KRI Yos Sudarso menjalankan peran tempur. Mereka siap di posisi masing-masing, lengkap dengan pelampung. Pokoknya si "Bedhes" harus diantisipasi seperti kapal perang musuh yang bisa menimbulkan kemungkinan apa saja. Ternyata, persoalan berikutnya tak terlalu susah. Setelah diberi peringatan dengan nada angker sebagaimana layaknya kapal perang, si Lusi memutar haluannya, balik ke Darwin. Mulanya nakhoda Lusitania Expresso, Luis dos Santos, sempat mencoba bernegosiasi dengan gaya lunak untuk mengesankan bahwa mereka adalah kapal sipil yang tak bersenjata. Ia juga sempat meminta agar pimpinan Missao Paz Em Timor, yang menyelenggarakan pelayaran itu, Rui Marques, diberi kesempatan berbicara dengan komandan KRI Yos. Namun, semua itu tak diladeni setelah turun perintah dari KRI Teluk Banten, yang menjadi kapal komando, "Jangan ada negosiasi apa pun!" Kebijaksanaan tak meladeni tawar menawar ini memang sudah digariskan dari awal. "Sebab, kalau diladeni, tawar menawar itu tak bakal selesai, sampai berbulan-bulan sekalipun," kata Laksda. Tanto. Alasannya, ada perbedaan hukum laut yang dianut kedua pihak. Lusitania bisa saja menggunakan Konvensi Hukum Laut Jenewa, 1958, yang mengatur batas perairan teritorial tiga mil dari pantai. Sementara Indonesia jelas akan menggunakan Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 1985. Di sini batas perairan teritorial adalah 12 mil dari garis pantai terluar di kala pasang surut. Ada satu soal lagi yang bisa memancing masalah jika tawar menawar dilayani. Portugal selama ini belum mengakui integrasi Tim-Tim ke Indonesia. Ini bisa saja jadi senjata orang-orang di Lusitania, dengan mengatakan bahwa perairan teritorial Tim-Tim bukan milik Indonesia, melainkan masih di bawah pengawasan PBB. Dan mereka memang sempat hendak menggunakan senjata itu. Dalam posisi 12 mil di luar garis teritorial, tiba-tiba saja Lusi berhenti dengan dalih kerusakan sistem pendingin. Saat itu juga orang-orang Paz Em Timor sempat berupaya untuk menghubungi Sekretariat Jenderal PBB agar melarang Indonesia menghalangi pelayaran mereka. Namun, sebelum permintaan itu dijawab PBB, Lusi terpaksa angkat sauh lagi. Selain peringatan berulang kali dari KRI Yos Sudarso, keretakan di dalam (lihat Lusitania, Lusitania, Sekian Saja) juga membuat Lusi terpaksa melupakan tujuan utama misinya, mendarat di Dili dan menabur bunga di Santa Cruz. Maka, gagallah sudah sebuah upaya untuk menarik perhatian dunia seharga Rp 3 milyar. Mengapa begitu mudah gagal? Ada sebuah tip dari Brigjen. Theo. "Seandainya saja mereka datang kemari bulan Desember. Di sini ada perayaan Natal, hasil KPN belum diumumkan, konsolidasi aparat belum beres, mereka bakal sangat mempersulit kita di sini." Yopie Hidayat (Jakarta), Sandra Hamid, Rubai Kadir, Bambang H.S., Hidayat Surya (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini