GELANGGANG berlatih tim Piala Thomas Indonesia di kawasan Rawa Buaya, Jakarta Barat, Minggu petang yang lalu kelihatan sepi. Dari delapan lapangan yang tersedia di gedung bulu tangkis milik Bakrie Brothers itu, cuma dua yang terpakai. Di salah sat lapangan, Icuk Sugiarto, 24 tahun, sedang berlatih rally menghadapi dua pemain remaja. Tak terlihat pelatih asal Cina Tong Sin Fu. Jadwal berlatih tim Pelatnas Piala Thomas memang baru dimulai Senin pekan ini, setelah diliburkan sepekan begitu selesai turnamen Indonesia Terbuka. Kejuaraan itu sendiri berbuntut tak sedap ketika Icuk Sugiarto mengecam berbagai kebijaksanaan PBSI selama ini yang ditudingnya sebagai biang kegagalannya menyerah di semifinal dari pemain Australia asal Hon Kong, Sze Yu. Yang terutama dikecam Icuk adalah pola latihan yang porsinya 90% dijalankan di dalam lapangan. Ini berbeda dengan keadaan sebelum mereka ditangani Tong, yang porsinya masih 50:50. Tapi, rupanya, PBSI bereaksi cepat. "Persoalan Tong dengan Icuk sudah kami bereskan. Icuk tetap dilatih oleh Tong," kata Tahir Djide, 49 tahun, Ketua Bidang Pembinaan PBSI. Penyelesaian itu terjadi Sabtu pagi, tatkala Icuk menemui bendahara PBSI, Tirto Utomo, di sebuah restoran di Jakarta. "Melalui beliau, saya minta maaf kepada PBSI," kata Icuk kepada TEMPO. Kenekatan Icuk melontarkan kritik itu tampaknya kini luluh. Dia merasa, tindakannya itu "berjuang" hanya untuk dirinya pribadi. Padahal, kemudian disadarinya bahwa masa depan anak dan istrinya juga harus dia perhatikan. "Coba, apa yang terjadi kalau saya harus berhenti main bulu tangkis?" ujarnya lesu. Mudah-mudahan, perbantahan Icuk dengan PBSI betul-betul selesai. Karena Prof. Singgih Gunarsa melihat Icuk bisa berprestasi bila dibina melalui pendekatan-pendekatan pribadi yang bukan terbatas pada masalah teknis, tapi juga menukik pada kehidupan pribadinya. Guru besar psikologi UI yang sering diminta PBSI memberi konsultasi pada para pemain bulu tangkis itu berkata, "Harus diperhatikan siapa yang membina atau mendampingi Icuk. Ia 'kan tidak bisa berdiri sendiri. Muhammad Ali saja perlu seorang penasihat." Contohnya bisa dilihat betapa Icuk "meledak" setelah dikalahkan Sze Yu, karena merasa bertanding dengan konsentrasi yang terpecah. Dua pekan sebelumnya, dia gagal membuat kontrak baru dengan Yonex karena kebijaksanaan baru PBSI: semua kontrak dengan sponsor dilakukan langsung oleh PBSI. Padahal, selama ini, itu dilakukan perusahaan sponsor langsung dengan para pemain. Organisasi bulu tangkis hanya sekadar mengetahui dan menerima bagian 25% dari Jumlah kontrak. Icuk selama ini menerima bayaran terbesar US$ 75.000 (sekitar Rp 123 juta) setahun. Kontrak itu berakhir 31 Agustus nanti. Itu sebabnya sejak bulan lalu dia sudah kasak-kusuk menghubungi perusahaan alat olah raga Jepang itu untuk melanjutkan kontrak. Padahal, PBSI sudah menandatangani kontrak 23 Juli yang lalu dengan Sunrise 8 Co. Ltd., agen Yonex di Singapura. Di situ disebutkan bahwa PBSI akan memperoleh bayaran US$ 250.000/tahun (Rp 400-an juta) untuk masa tiga tahun. Selama itu pula, perusahaan tadi setiap tahun harus menyediakan 4 karpet lapangan bulu tangkis dan 2.000 lusin kok. Masih ada bonus US$ 25.000 bila Indonesia merebut Piala Thomas. Setelah masa itu, Sunrise masih memiliki hak untuk melanjutkan kontrak selama dua tahun. Sebagai imbalan, PBSI menyanggupi mengerahkan para pemain nasionalnya untuk mengampanyekan produk perusahaan itu -- dengan memakai kaus atau raket, asesori, dan pcralatan lainnya -- sepanjang tahun di 23 event bergengsi di seluruh dunia. Mulai dari All England, Kejuaraan Dunia, SEA Games, Asian Games, sampai Thomas Cup, Uber Cup, dan lain-lainnya. Pendek kata, turnamen-turnamen penting itu tak mungkin diikuti pemain Indonesia tanpa "menjual" produk Yonex. Adalah urusan PBSI untuk menentukan para pemain yang mengikuti turnamen tersebut, juga menentukan besar uang yang diterima tiap pemain. PBSI punya alasan mengapa akhirnya memutuskan kebijaksanaan ini. Selama dua tahun belakangan -- saat prestasi bulu tangkis Indonesia anjlok -- kedudukan para pemain dalam tawar menawar dengan sponsor melemah, sementara posisi sponsor kian kuat akibat banyaknya bermunculan pemain kelas dunia lainnya. Kecuali Icuk Sugiarto, yang tahun ini masih ditawar Yonex sama besar dengan kontrak tahun lalu, banyak pemain yang tawarannya tambah murah saja. Lius Pongoh, contohnya, tahun lalu masih dihargai sekitar Rp 77 juta, tahun ini tak sampai Rp 20 juta. Hadibowo dan Bobby Ertanto melorot dari Rp 41 juta ke Rp 16 juta, Elizabeth Latief dari Rp 8 juta jadi Rp 6,5 juta. Tak satu pemain juga yang harga tawarannya menaik. "Dengan kontrak gabungan ini, PBSI mengharapkan posisi itu bisa membaik," kata Titus Kurniadi, Ketua Bidang Luar Negeri PBSI. Betapa tidak, sponsor tak punya pilihan lain menghadapi PBSI yang mengambil posisi seakan kartel para pemain. Untuk kontrak ini, menurut Aburizal Bakrie, Ketua Bidang Dana PBSI, semula Yonex cuma menawar US$ 177.500. Tapi melalui negosiasi, PBSI berhasil menaikkan nilai kontrak menjadi US$ 250.000. "Ini menunjukkan posisi kita Iebih kuat," kata Ical, nama panggilan pemilik perusahaan Bakrie Brothers itu. Alasan lain, PBSI ingin memegang kendali dalam mengirim pemain ke luar negeri. Selama ini para pemain harus mengikuti setiap pertandingan yang disebut di dalam kontrak sekalipun? misalnya, prestasinya lagi melorot atau PBSI mau mengirimkan pemain lain. "Dia harus turun di kejuaraan itu agar tak menyalahi kontrak," kata Titus. Sebuah sumber PBSI mengatakan, jalan baru yang ditempuh PBSI itu juga untuk menolong para pemain ganda, yang selama ini selalu ditawar jauh di bawah harga pemain tunggal. Bisa dilihat dari jauhnya perbedaan bayaran Icuk Sugiarto dibanding pasangan Bobby Ertanto/Hadibowo. Sebabnya mudah ditebak pemain tunggal selalu lebih populer. Padahal, bagi PBSI, tunggal atau ganda di arena Thomas Cup tak berbeda. "Kemungkinan point yang disumbangkannya 'kan sama-sama satu?" kata sumber itu. Kebanyakan pemain mendukung proyek baru PBSI Liem Swie King, Eddy Kurniawan, maupun bekas pemain elite, Rudy Hartono dan Christian Hadinata. Dukungan malah, anehnya, datang pula dari PB Djarum Kudus, klub bulu tangkis milik pabrik rokok Djarum, yang juga agen tunggal alat-alat olah raga dari Taiwan, Pro Kennex yang saingan Yonex. "Dengan sistem itu, atlet mungkin akan memperoleh kontrak lebih tinggi," kata Arisanto, Ketua PB Djarum, tanpa mempermasalahkan kenapa kontrak tak jatuh di tangan Pro Kennex. Kini banyak pemain ternama dari Djarum yang terikat kontrak dengan Yonex, seperti Liem Swie King, Eddy Kurniawan, dan Bobby Ertanto. "Mereka memang sudah dikontrak sebelum Pro Kennex masuk Indonesia," kata Arisanto. Sedang para yunior seperti Pung Permadi, Ign. Rusli, dan Hargiono sudah terikat dengan Pro Kennex. Bila mereka kelak dipilih PBSI untuk ber-Yonex, pimpinan klub ini tak keberatan. "'Kan mereka diberi waktu menghabiskan masa kontraknya," katanya. Sebenarnya PBSI tak bermaksud menguragi porsi Icuk selama ini. Aburizal Bakrie berjanji, "Jumlah yang mereka terima tak akan lebih kecil dari apa yang sudah ditawarkan Yonex pada mereka. Setelah enam bulan baru jumlah itu ditinjau sesuai dengan prestasi pemain. Amran Nasution, Laporan Toriq Hadad & Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini