Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada masalah dalam keseharian, jilbab di kepala Sarah Hassanein menjadi kendala di lapangan. "Apakah ada penitinya? Bagaimana cara melepasnya?" ucap gadis keturunan Mesir, 19 tahun, ini menirukan pertanyaan yang dia terima dari wasit. Pertanyaan-pertanyaan tentang jilbab itu acap kali ia terima menjelang kickoff bila perempuan Kanada ini memperkuat tim sepak bola indoor sekolahnya, York University, Toronto.
Kecerewetan para wasit itu tak salah. Sesuai dengan aturan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), kerudung yang menutupi leher dan telinga dikategorikan jenis pakaian yang bisa membahayakan pemakainya atau pemain lain. Bila ditambahkan dengan pasal soal pelarangan mengusung simbol agama atau politik, kian kuatlah "pengharaman" jilbab bagi pemain sepak bola.
Tapi awal revolusi telah dimulai. Bulan lalu, dalam sidang di Bhagsot, Inggris, Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional (IFAB) bersepakat mengkaji ulang aturan yang sudah berjalan lima tahun itu. Mendengar kabar tersebut, Sarah kontan berteriak, "Luar biasa, sangat sukar dipercaya!"
Keputusan IFAB sebenarnya belum final. Lembaga yang berkuasa penuh di bidang hukum sepak bola ini masih akan meneliti desain jilbab agar masuk kategori aman. Kata akhirnya baru diambil nanti pada sidang di Kiev, Ukraina, 2 Juli.
Namun, seperti seruan spontan Sarah, keputusan yang diambil IFAB di Bhagsot memang terbilang tak lazim. Organisasi ini berdiri pada 1886, lebih tua 18 tahun daripada FIFA, beranggotakan empat orang dari asosiasi Britania Raya—untuk menghormati sejarah sepak bola modern yang lahir di Inggris—dan empat orang dari FIFA. IFAB terkenal konservatif dan jarang menganulir sebuah aturan.
Soal jilbab, misalnya, aturan muncul dari sebuah "insiden kecil" saat Asmahan Mansur dilarang wasit memperkuat tim sekolahnya dalam turnamen anak-anak di Quebec, Kanada, pada 2007. Gara-garanya, jilbab yang ada di kepala gadis berusia 11 tahun itu dianggap masuk kategori "membahayakan diri sendiri dan pemain lawan".
FIFA merespons kasus itu dengan mempertegas aturan bahwa pakaian yang menutup kepala memang tidak diperbolehkan. Lembaga yang berkedudukan di Zurich, Swiss, ini langsung dicerca oleh yayasan-yayasan hak asasi manusia dan organisasi Islam.
Tiga tahun kemudian, IFAB dan FIFA "melonggarkan" aturannya: memperbolehkan kerudung asalkan tidak menutupi leher dan telinga. Bagi yang taat berjilbab, pelonggaran aturan itu sama saja tak punya tuah karena berjilbab tetap haruslah menutup telinga dan leher.
Bila sekarang IFAB—dan pasti nanti akan dipatuhi FIFA—berniat mengkaji pelarangan jilbab atau hijab itu, para muslimah pemakai jilbab penyuka sepak bola harus berterima kasih kepada Pangeran Ali bin al-Hussein dan Cindy van den Bremen. Dua orang dengan latar belakang berbeda ini bertemu secara tak sengaja.
Cindy, 39 tahun, adalah desainer asal Eindhoven, Belanda. Sepuluh tahun lalu, menurut pengakuannya, dia mendapat pengaduan dari seorang ibu yang anaknya ditolak ikut kelas olahraga gara-gara berjilbab. Cindy lantas membuatkan hoofddoeken (kerudung kepala dalam bahasa Belanda) untuk si anak. Ibu dan anak itu akhirnya berhasil meyakinkan pihak sekolah bahwa jilbab karya Cindy nyaman dan aman untuk berolahraga.
Cindy lantas ketagihan membuat hijab khusus untuk para olahragawan. Orang Belanda kini malah latah menyebut jilbab bukan hijab, melainkan capsters, sesuai dengan nama merek perusahaan Cindy. "Saya juga mendesain kerudung perempuan yang tak 'kabur' bila dipakai menonton Formula 1 di sekitar mobil-mobil dengan kecepatan 240 kilometer per jam."
Pada akhir 2011, dia diundang Ali bin al-Hussein ke Yordania. Hoofddoeken rancangan Cindy itulah yang dibawa pangeran muda dari Yordania tersebut ke sidang IFAB di Bhagsot. Model capsters sebenarnya sederhana: sepotong kain yang pas di kepala dan dikaitkan dengan velcro (perekat plastik). Bila kondisi darurat, jilbab bisa dengan mudah dilepas. Presentasi Pangeran Ali berhasil meyakinkan IFAB.
"Saya sangat gembira, desain saya memiliki kontribusi," kata Cindy. "Bagi saya, yang terpenting para perempuan memiliki pilihan untuk mengenakan hijab sehingga terbuka peluang yang lebih besar bagi Âemansipasi di dunia olahraga."
Pangeran Ali, 36 tahun, adalah adik penguasa Yordania, Raja Hussein II. Pada Januari tahun lalu, dia terpilih menjadi Wakil Presiden FIFA dari wilayah Asia. Perhatiannya terfokus pada masalah jilbab setelah menyaksikan ketimpangan hukum di depan matanya, yaitu saat kesebelasan putri Iran dinyatakan kalah 0-3 saat melawan negaranya, Yordania, dalam kualifikasi Olimpiade, Juni 2011.
Keputusan wasit diambil sesaat menjelang kickoff di Stadion Internasional Amman, Yordania. Itu karena para pemain Iran tak mau melepaskan jilbab mereka—dan pemerintah Iran memang mewajibkan para perempuan mereka untuk selalu berkerudung di luar rumah. Para pemain itu langsung sesenggukan di tepi lapangan. Tiga pemain Yordania yang berjilbab juga tak boleh bertanding saat itu.
Sebelum meyakinkan IFAB soal sisi keselamatan dan keamanan para pemain berjilbab, Pangeran Ali terlebih dulu "menyentil" sisi humanisme anggota dewan. Dalam banyak kesempatan, pendiri Federasi Sepak Bola Asia Barat ini mengatakan hijab bukan simbol agama, melainkan kearifan budaya.
"Sebanyak 15 persen anggaran FIFA dikeluarkan untuk perkembangan sepak bola wanita, tapi pada level tertentu mereka (para wanita itu) tak diperbolehkan bermain (karena berjilbab)," kata sang Pangeran. Menurut Ali, terdapat tak kurang dari 650 juta wanita berjilbab di seluruh dunia dan sebagian menggemari olahraga si kulit bundar.
Presiden Konfederasi Sepak Bola Afrika Issa Hayatou mendukungnya, juga Presiden Sepak Bola Asia Zhang Jilong. Suara sepakat juga datang dari kapten kesebelasan Selandia Baru, Ryan Nelson; Asosiasi Sepak Bola Jepang; dan Persatuan Pemain Profesional Dunia (FIFPro). Grup di ÂFacebook dengan tajuk "Let Us Play" mendukung Ali. Anggotanya mencapai 650 ribu alamat e-mail. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban-Ki moon bahkan turun tangan dengan menyurati Presiden FIFA Sepp Blatter agar memperhatikan usul Ali.
"Jihad" Pangeran Ali datang saat dinamika sepak bola wanita di Timur Tengah, negara-negara yang mayoritas muslimahnya berjilbab, membesar. Arab Saudi—bersama Qatar dan Brunei—adalah negara yang tak pernah mengirim atlet perempuan mereka ke Olimpiade. Sejak tahun lalu, negara kerajaan itu memiliki kompetisi sepak bola khusus wanita. Semua pemainnya berjilbab, beranggotakan tujuh tim, dan berlangsung di ruangan tertutup dengan penonton yang cuma wanita.
Begitu pula di Kuwait. Sepanjang sepuluh kali pelaksanaan turnamen sepak bola antaruniversitas se-Teluk, baru kali ini nomor sepak bola wanita dimasukkan. Berlangsung pada awal bulan ini, kejuaraan "di luar pakem" itu membuat beberapa ulama negeri tersebut kebakaran jenggot.
Mimpi bermain di level yang lebih tinggi—memperkuat tim nasional negara mereka, misalnya—menjadi keinginan wanita-wanita semacam ini, baik di negara muslim maupun yang mayoritas nonmuslim.
Sarah Hassanein sedikit berbeda. Dia cuma ingin menjadi guru sepak bola untuk anak-anak perempuan, selain bekerja sesuai dengan bidangnya, jurusan hak asasi manusia dan kesetaraan. Di negerinya, Kanada, terdapat tak kurang dari 1.600 pemain sepak bola muslimah yang mayoritas berkerudung. Bila IFAB dan FIFA nanti seratus persen "menghalalkan" jilbab, dia mungkin akan kembali berteriak, "Amazing!"
Andy Marhaendra (AFP, Reuters, Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo