Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siksaan itu dialami Suwito selama enam bulan terakhir. Saban pulang malam dari Jakarta ke Jatimulya, Bekasi Timur, beberapa kali ia harus berhenti. Bukan lantaran mesin motornya ngadat, melainkan gara-gara matanya silau terkena sinar lampu kendaraan dari seberang. "Kalau kena sinar mendadak dari depan, mata saya silau, lalu gelap. Daripada terjadi apa-apa, saya pilih menghentikan motor," kata pria 57 tahun ini.
Saat dia di rumah, siksaan berikutnya muncul. Penggemar sepak bola ini tak bisa jelas melihat jika ada pertandingan di layar kaca. Pensiunan tentara yang kini bekerja sebagai pegawai pengamanan di Jakarta Eye Centre, Menteng, Jakarta, ini mengatakan layar televisi terlihat buram. Makin ke sini, pandangan Suwito makin buruk. Menurut pemeriksaan yang dilakukan Ucok Parlindungan, dokter spesialis mata di JEC, mata kanan Suwito menderita katarak.
Diagnosis yang sama diterima Solha Ibrahim, warga Jalan Talang, Jakarta Pusat. Keluhan pria 63 tahun ini persis seperti Suwito: penglihatan buram dan, saat terkena sorot lampu dari arah berlawanan, matanya silau. Kondisi seperti itu sudah berlangsung setahun terakhir dan sangat menyiksa Solha. "Sehari-hari, saya bekerja sebagai sopir keluarga salah satu pahlawan revolusi 1965," ujar bapak enam anak ini kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu. Agar tak celaka, Solha minta tugas antar-jemput di malam hari diserahkan ke sopir lain.
Beruntung, pada Februari lalu, JEC mengadakan bakti sosial operasi katarak. Suwito dan Solha menjadi peserta di antara sekitar 40 warga. Hajatan kali ini terbilang istimewa. Sebab, tim dokter menggunakan teknologi terbaru untuk menangani katarak, yakni femtosecond. "Operasinya cepat, sekitar 15 menit, beres," kata Suwito, yang diiyakan Solha. Tak sampai tiga hari setelah operasi, penglihatan mata kanan keduanya mulai normal. Selain mata tak silau jika terkena sorot lampu dari arah berlawanan, acara-acara televisi, termasuk sepak bola, bisa mereka nikmati dengan asyik.
Femtosecond adalah operasi penggantian lensa mata katarak yang dilakukan tanpa sayatan pisau bedah, tapi menggunakan laser. Penggunaan femtosecond diperkenalkan kepada kalangan dokter mata di Tanah Air dalam Jakarta Eye Centre International Meeting pada awal bulan ini. Ratusan dokter mata memelototi tayangan langsung operasi katarak dengan laser tersebut di ballroom Ritz-Carlton Pacific ÂPlace, Jakarta. Adapun operasinya dilakukan di JEC Kedoya, Jakarta Barat.
Menurut Darwan M. Purba, dokter spesialis mata yang menjabat Direktur Bisnis JEC, teknologi laser membuat sayatan jauh lebih akurat dan luka sayatan sangat minimal, yakni 1,8-2 milimeter, sehingga tidak butuh jahitan. Operasi pun bisa dilakukan lebih cepat. "Masa penyembuhannya hanya butuh waktu 1-2 hari," ujar Darwan.
Johan A. Hutauruk, dokter yang mengoperasi Solha, menambahkan bahwa teknik femtosecond lebih aman, karena sebelum lensa dipotong, semuanya bisa disetel lebih dulu di layar monitor, baru dieksekusi. Mata pasien pun "dipegang" oleh alat ini sehingga tak bisa bergerak. "Kalau motong-nya pakai pisau seperti teknologi sebelumnya, lalu tiba-tiba pasien bergerak, sayatannya bisa kebesaran atau kekecilan," kata Johan.
Setelah lensa asli yang keruh dipotong dan dihancurkan dengan laser, serpihannya akan disedot dengan alat bernama fakoemulsifikasi. Jika sudah bersih, lensa tiruan (biasanya dari acrylic hydrophobic) ditanam untuk menggantikan lensa asli yang sudah hancur. Lantaran lukanya terbilang kecil, setelah lensa masuk, dokter terkadang tak perlu menjahitnya.
Sebelum femtosecond datang, teknik paling maju untuk operasi katarak adalah fakoemulsifikasi. Teknik ini memakai gelombang ultrasonik untuk melunakkan, memotong-motong, dan menghancurkan lensa katarak. Dengan alat yang sama, serÂpihan lensa katarak dikeluarkan. Sesudah semua bersih, baru lensa yang dapat dilipat dimasukkan ke mata. Saat ini, fakoemulsifikasi banyak dipakai di klinik dan rumah sakit mata di Tanah Air, seperti Klinik Mata Nusantara; RS Mata Aini, Jakarta; dan RS Mata Undaan, Surabaya.
Meski teknologi itu belum terlalu lama, fakoemulsifikasi punya keterbatasan. "Jika lensanya keras dan butuh waktu lama untuk menghancurkan, teknik fakoemulsifikasi tidak cocok," ujar Bondan Harmani, dokter spesialis mata RS Aini. Maklum, alat fakoemulsifikasi menghasilkan energi panas yang berpotensi membuat kornea membengkak jika dipakai terlalu lama.
Jika sudah begini, yang akan dipakai adalah teknik lama: ekstraksi katarak ekstrakapsuler (ECCE). Teknik ini mengharuskan sayatan yang besar, bisa 5-6 milimeter, untuk mengeluarkan lensa katarak secara utuh, serta untuk memasukkan lensa pengganti. Lantaran sayatannya besar, pasien butuh 4-5 jahitan.
Dalam teknik femtosecond yang memakai laser, masalah seperti itu tidak akan muncul. Masalah muncul pada biaya. "Alatnya mahal sekali. Kami harus lihat prioritas," kata Bondan, "Kalau duit untuk membeli satu alat femtosecond bisa dipakai untuk membeli dua alat fakoemulsifikasi, ya, buat apa beli alat femtosecond?"
Mahalnya alat ini tentu saja berimbas pada mahalnya biaya operasi. Ongkos operasi dengan teknik ECCE tak sampai Rp 10 juta, sedangkan teknik yang lebih canggih seperti fakoemulsifikasi bisa sekitar Rp 17 juta (bergantung pada jenis lensa lipat yang dipilih). Untuk femtosecond, memang belum diputuskan berapa harganya. Yang jelas, akan lebih mahal daripada fakoemulsifikasi.
Dwi Wiyana
Kabut di Mata
Hingga saat ini, katarak merupakan penyebab utama kebutaan. Di Indonesia, sekitar 3,7 juta penduduk (1,5 persen dari populasi) mengalami kebutaan, dan 70 persen di antaranya disebabkan oleh katarak. Banyak kalangan percaya angka kebutaan dan katarak akan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup orang Indonesia.
Katarak adalah perubahan lensa mata, yang tadinya jernih dan tembus cahaya, menjadi keruh sehingga penglihatan terganggu. Gejala umum penyakit ini antara lain penglihatan menjadi tidak jelas, seperti ada kabut yang Âmenghalangi obyek, mata menjadi peka terhadap sinar atau cahaya, dan penglihatan pada satu mata menjadi ganda. Pada pasien katarak, lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
Sebagian besar katarak terjadi karena penuaan. Karena itu, gangguan mata ini lazim dialami penduduk berusia 60 tahun ke atas. Selain oleh faktor pertambahan usia, katarak dapat disebabkan oleh paparan sinar ultraviolet dalam jangka waktu yang lama, miopia alias rabun jauh dengan minus tinggi Â(-12), dan penyakit seperti diabetes.
Bagi sebagian masyarakat di Indonesia, menurut Profesor Istiantoro, dokter spesialis mata dari JEC, katarak masih menjadi momok. Padahal, penderita katarak, termasuk yang telah mengalami kebutaan, memiliki kesempatan untuk sembuh total melalui operasi. "Sebab, pada dasarnya yang terserang hanya lensa matanya, sementara bagian mata yang lain masih berfungsi dengan baik," kata Presiden Direktur Jakarta Eye Centre ini.
Dwi Wiyana
Operasi katarak dengan teknik femtosecond
- Mata pasien "dipegang" oleh alat sehingga tak bisa bergerak.
- Teknologi laser membuat sayatan yang minimal, yakni 1,8-2 milimeter, sehingga tidak butuh jahitan.
- Setelah lensa asli yang keruh dipotong dan dihancurkan dengan laser, serpihannya akan disedot dengan alat bernama fakoemulsifikasi.
- Jika sudah bersih, lensa tiruan ditanam untuk menggantikan lensa asli yang sudah hancur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo