Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Utopia dan Kegalauan Partai Islamis

Dipotret dengan menggunakan teori ilmu sosial yang lihai dan pemaparan data yang aduhai.

26 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisakah Markus dan Petrus menjadi anggota? Kenapa Mukernas berlogo pura dan di Pulau Dewata? Maunya sederhana, tapi kok menyelenggarakan Munas di hotel mewah Ritz-Carlton? Pertanyaan-pertanyaan di atas semestinya biasa. Tapi, karena menyangkut "partai tidak biasa" yang sempat jadi primadona, Partai Keadilan Sejahtera, aspek-aspek teknis ini memicu perdebatan, bahkan dilema. Ini adalah partai sekaligus pergerakan. Kedua sayap tak boleh patah.

Kubu hizb (partai) harus memperhatikan gejolak batin kelompok harakah (gerakan), karena hizb pada hakikatnya perpanjangan dari harakah. Pergerakan adalah partai dan partai adalah pergerakan (al-harakah hiya al-hizb wa al-hizb huwa al-harakah). Mau tak mau, elite PKS harus mampu bersilat dalam ketegangan jurus kepartaian dan pergerakan. Inikah kegalauan yang akut dalam PKS dan partai-partai islamis di dunia muslim umumnya?

Dalam Dilema PKS: Suara dan Syariah, kondisi batin dan seluk-beluk internal PKS itu dipotret dengan menggunakan teori ilmu sosial yang lihai dan pemaparan data yang aduhai. Teori kesempatan politik (political opportunity structure) dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor internasional dan domestik yang membuahi kelahiran PKS. Teori pengerahan sumber daya (resources mobilization) menerangkan evolusi PKS sejak zaman Tarbiyah sampai zaman partai terbuka. Pandangan dunia para kader dan apa isinya diulas dengan teori pembingkaian aksi kolektif (collective action framing). Semua diramu dengan data yang kaya dari sumber-sumber tepercaya. Ibarat organ tubuh, buku Burhanuddin Muhtadi ini tak hanya memberi tulang yang kokoh sebagai penyangga, tapi juga daging yang empuk untuk dikunyah.

Untuk mengkaji partai dan pergerakan yang percaya akan karakter Islam yang integral (kamil) dan meliputi semua (syamil), kombinasi teori-teori ilmu sosial (pendekatan integratif) mungkin memang perlu. Bagaimana tidak; suara juga syariah, politik bagian dari ibadah, dan agama juga negara. Karena itu, membuka diri bagi konstituensi politik Indonesia yang kegemukan di tengah (kurva lonceng) atau berpuas diri mewakili basis sosial yang tipis saja sesungguhnya bukan dilema. "…apa yang disebut dilema sebenarnya berasal dari pendekatan (Mas Burhan) itu sendiri yang sejak awal percaya pada adanya pemisahan," tulis Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta dalam kata pengantarnya.

Lantas apakah dilema itu hanya waham Burhan—begitu saya memanggil analis politik ini—sebagai peneliti yang berjarak sekaligus insider PKS dalam konteks rumah tangga?

Aksi-aksi kolektif PKS menunjukkan adanya jurang yang menganga antara kehendak menjadi terbuka dan perlunya memelihara perasaan kader inti mereka. Lewat analisis peristiwa protes (protest-even analysis), fakta berbicara bahwa 6 dari 10 peristiwa kolektif PKS pada 1998-2007 tak ada sangkut-pautnya dengan isu domestik yang bersifat non-islamis. Lalu 62,2 persen aksi massa PKS didominasi isu islamis seperti anti-Amerikanisme, anti-Zionisme, dan pembelaan terhadap Palestina sebagai bagian dari global ummah (halaman 78).

Jika demikian faktanya, reaksi terhadap Munas 2010 di Hotel Ritz-Carlton—salah satu simbol kemewahan Amerika—pantas menghadirkan dilema ke dalam. Di satu sisi, PKS ingin membangun citra sebagai partai terbuka dan friendly terhadap Amerika. Namun, di lain sisi, Amerika bersama Israel telanjur dituding sebagai penyebab kekacauan dunia. Dan itu tertuang dalam konstruksi ideologi yang mengaduk-aduk batin kader-kader mereka.

Demi upaya islamisasi ganda (kultural dan struktural) terhadap masyarakat Indonesia, partai dakwah ini punya empat orbit dakwah (mahawir). Hanya orbit negara (mihwar daulah) yang bertujuan meraih kekuasaan secara demokratis dan menegakkan syariah secara kafah yang dinilai masih belum benar-benar terlaksana.

Dengan totalitas sedemikian rupa, niat menjadi partai terbuka guna menangguk insentif elektoral lebih besar akan selalu dalam dilema. Walau Anis Matta yakin akan karakter Islam yang moderat dan terbuka, pendekatan kafah mungkin tetap terhalang di alam demokrasi kita. Konstituen pemilu Indonesia lebih kompleks dan—kebetulan—tak seramah Timur Tengah bagi partai-partai islamis. Elite PKS harus pandai-pandai bersiasat dan bersilat lidah. Bila tidak, risiko lepasnya punai di tangan akibat mengharap pungguk di dahan bisa pula jadi petaka.

Kegalauan itulah yang terekam dalam bab tujuh dan kelak akan diuji di Pemilu 2014. Berbeda dengan enam bab sebelumnya, gaya penulisan bab ini agak lain. Burhan tampil bak konsultan yang agak royal memberi rekomendasi agar PKS tak terkurung dalam dilema yang belum sudah. Hanya, rekomendasi-rekomendasi itu tampak bersifat jangka pendek saja. Persoalan inti dan kronis partai-partai islamis di dunia muslim, tak terkecuali PKS, relatif sama.

Pertama-tama, bagaimana memperbarui bangunan ideologi yang diindoktrinasikan dalam sistem pengkaderan mereka. Bingkai transnasional Islamisme berupa imaji tentang Islam yang dikepung Barat, dikurung konspirasi Zionis, dan dihalang-halangi menjadi global ummah terasa primitif untuk masa yang tak akan lama. Kepercayaan bahwa Islam dan syariah adalah solusi bangsa akan terus diuji dalam sebuah masyarakat terbuka. Pelan-pelan, slogan-slogan tipikal islamis ini akan berbenturan dengan fakta bahwa negara yang tak bersyariah dan tidak pula menjadikan agama sebagai solusi utama, di Barat sana, justru tetap adil dan sejahtera.

"Problem terbesar Islamisme era demokrasi," kata Bruce K. Rutherford (2008), "adalah imannya yang terlalu besar pada negara yang mereka gugat di masa otoriternya." Begitu memasuki era demokrasi dan berpartisipasi dalam memerintah, mereka kembali memberi kewenangan yang invasif kepada negara, terutama demi pembatasan kebebasan sipil. Kepercayaan bahwa negara adalah dan seharusnya berfungsi sebagai "agen moral" demi mewujudkan masyarakat saleh dan salehah adalah utopia Islamisme yang cenderung klise di mana-mana.

Sayangnya, Dilema PKS membuktikan, walau pragmatismenya terus meningkat, sindrom-sindrom semacam itu belum lagi terbebas dari batin mereka. Tak aneh, isu-isu trivial di awal tulisan ini memantik kerisauan internal sekaligus kesangsian eksternal akan komitmen mereka menjadi partai terbuka. Untungnya, buku ini juga menunjukkan bahwa PKS bukanlah partai yang statis dan berhenti berdialektika. Dinamisme internal, proses belajar berkesinambungan, dan ijtihad politik yang terus terbuka mungkin akan menjadi kekuatan mereka yang utama.

Bagi saya, buku ini sebanding dengan karya serupa dari beberapa sarjana dunia. Ia makin sedap bila dibaca bergandengan dengan buku Mobilizing Islam Carrie R. Wickham (tentang Ikhwan Mesir) atau The Emergence of a New Turkey Hakan Yavuz (tentang AKP Turki). Sayangnya, edisi Inggris buku ini belum tersedia.

Novriantoni Kahar, Pengamat Sosial-keagamaan, Dosen Universitas Paramadina


PKS dan Kembarannya: Bergiat Jadi Demokrat di Indonesia, Mesir dan Turki
Pengarang: Greg Fealy, Anthony Bubalo, Whit Mason
Penerbit: Komunitas Bambu
Terbit: Februari 2012
Halaman: 136

Replik Pengadilan: Yusuf Supendi Menggugat Elite PKS
Pengarang: Yusuf Supendi
Penerbit: Mushaf
Terbit: Januari 2012
Halaman: 178

Dua Sisi Partai Dakwah

RAK "Buku Baru" di toko-toko buku Jakarta memajang buku dengan kata kunci yang sama: Partai Keadilan Sejahtera. Selain Dilema PKS: Suara dan Syariah karya Burhanuddin Muhtadi, ada PKS dan Kembarannya: Bergiat Jadi Demokrat di Indonesia, Mesir dan Turki (Komunitas Bambu, Februari 2012) serta Replik Pengadilan: Yusuf Supendi Menggugat Elite PKS (Mushaf, Januari 2012).

Menarik untuk membandingkan dua buku yang belakangan ditulis di atas, karena bahasan yang bertolak belakang. Dalam PKS dan Kembarannya, pakar Indonesia dari Australia National University, Greg Fealy, menempatkan partai berlambang bulan-padi itu setara dengan Al-Ikhwan al-Muslimun dan Adalet ve Kalkinma Partisi, partai pemenang pemilihan umum di Mesir dan Turki. Bahkan PKS—peraih 10 persen suara di Pemilihan Umum 2009—sampai mendapat julukan "Anak Kembar" dengan dua partai Islam tersebut.

Sementara Fealy menggali potensi partai dakwah tersebut, Yusuf Supendi berupaya menunjukkan kasus-kasus yang dia anggap sebagai kebusukan PKS. Yusuf, 54 tahun, adalah salah seorang pendiri Partai Keadilan—yang berubah jadi PKS pasca-Pemilu 1999—pada 20 Juli 1998. Posisi sebagai anggota majelis syura memberinya akses untuk mengetahui detail pelanggaran yang dilakukan kader-kadernya: dari konspirasi Ketua Majelis Syura Hilmi Aminuddin cs yang menggulingkan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid pada Mei 2005, sampai tuduhan guyuran uang dari Wiranto pada Pemilihan Umum 2004.

Sayang, upaya Yusuf membuka kotak pandora tak dibarengi teknis penulisan yang baik. Buku 178 halaman ini murni terdiri atas dokumentasi pernyataannya di sidang gugatan terhadap Hilmi di pengadilan Jakarta Selatan, yang berakhir Februari lalu. Sonder penyuntingan, terdapat kesalahan ketik di sana-sini yang membuat pembaca butuh energi ekstra untuk memahami konteks kalimat—apalagi mengkhatamkan buku tersebut.

Reza Maulana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus