MUNGKIN itu pesta terbesar yang pernah diadakan PSIS. Juga yang paling meriah. Tampaknya, tak seorang pun keberatan pada biaya pesta yang sampai sekitar Rp 25 juta itu. Maklum, kemenangan yang dirayakan dengan perhelatan besar itu memang teramat manis: untuk pertama kalinya PSIS muncul sebagai juara kompetisi Divisi Utama PSSI. Maka, bisa dimengerti bila Minggu siang pekan lalu itu lapangan Trilomba Juang, di tengah Kota Semarang, penuh sesak oleh tawa dan senyum. Hampir semua pejabat provinsi dan para pejabat daerah kabupaten seluruh Jawa Tengah hadir. Bukankah kemenangan PSIS juga berarti kemenangan Jawa Tengah? Sekitar 10.000 rakyat -- dengan membayar tiket Rp 1.000 -- turut mengelu-elukan pahlawan mereka yang baru pulang dari front Senayan, Jakarta, dengan membawa hadiah kemenangan, Piala Presiden Soeharto. Selain penghormatan besar, bermacam hadiah diberikan kepada pemain PSIS. Gubernur Jawa Tengah Ismail, misalnya, menghadiahkan Tabanas Rp 250.000 kepada tiap pemain. Kemenangan Semarang ini memang istimewa. Hampir semua pengamat sepak bola berpendapat, bond dari Jawa Tengah itu selayaknya jadi juara, karena merekalah tim terbaik di kejuaraan ini. Yang dianggap paling mengesankan: kemenangan 1-0 atas Surabaya di final, Rabu pekan lalu, itu terjadi justru di bawah tekanan puluhan ribu arek Surabaya, yang hari itu tampak lebih menguasai Stadion Utama Senayan. Entah karena itu, semangat pemain Persebaya menggebu-gebu. Kalau di babak pertama mereka selalu terkepung, di babak kedua mereka berganti menyerang. Sayang, ini pula yang mendatangkan bencana. Di saat mereka asyik menggedor benteng Semarang, Budi Wahyono, penyerang PSIS, terlepas dan mengumpan bola ke depan gawang. Itu dimanfaatkan Syaiful Amri yang tak dikawal untuk menanduk bola. Gol. Padahal, Budi Wahyono, 26, bukan orang yang sehat ketika mengikuti pertandingan ini. Bagian depan kaki kanannya terkoyak sekitar 5 cm dan mendapat 6 jahitan, setelah dia bertubrukan dengan kiper Persib, Sobur, dalam pertandingan empat hari sebelumnya. Cedera itu membuatnya baru bisa menendang bola pada pagi hari sebelum pertandingan final itu. Lukanya memang sudah kering karena dokter yang merawatnya memberinya bantuan obat tradisional Cina Piya Hong (konon terbuat dari hati beruang yang diekstraksikan, dan sangat mujarab untuk menyembuhkan luka). "Tapi jahitan lukanya masih belum dibuka," kata Sartono Anwar, 40, pelatihnya. Oleh sebab itulah, sepanjang pertandingan, bintang PSIS itu jadi kartu mati. Selalu kalah setiap berduel merebut bola dari lawan -- yang jarang terjadi ketika dia sehat. Kalau saja dia sedikit dikawal -- dan tak begitu mudah mengganti posisinya -- mungkin hasil pertandingan akan lain. Bagaimanapun, Semarang memang sudah siap menjadi juara. Masyarakat dan para pejabat mendukung penuh tim ini. "Setiap kami bertanding, semua biaya tertutup oleh penjualan karcis. Malah selalu untung," kata Ali Purwo Utomo, Sekretaris PSIS. Uang kas bond ini pun mem-bludak. "Saat ini kami punya deposito Rp 100 juta di bank," kata Ali. Itu berkat adanya Yayasan Olah Raga Wajar, yang dibentuk 3 tahun yang lalu untuk mencari dana buat PSIS. Yang lebih penting ialah suburnya klub-klub yang merupakan pemasok pemain untuk PSIS. Ada 20 klub di Semarang yang secara teratur melakukan kompetisi: 6 klub masuk Divisi 1 dan 8 di Divisi 2. Sisanya klub kelompok umur di bawah 17 dan 13 tahun. "Dari kompetisi itulah PSIS meremajakan pemain," ujar Jeje, salah seorang pengurus PSIS. Klub paling kuat adalah Kuda Laut, milik Pertamina, yang pemainnya paling banyak dipakai PSIS. Antara lain sayap kanan Ribut Waidi, bek kanan Eryono Kasiha, atau cadangannya, Untung Suwahono. Tahun ini, Kuda Laut menjuarai kompetisi Divisi I . Penyumbang pemain lainnya adalah PMC (Pemuda Mrican Complex), tim dari selatan Semarang. Dari sinilah berasal pemain penyerang Budi Wahyono dan Surajab serta bek kiri Budiawan Hendratno. Klub Divisi I lainnya yang menarik adalah Undip dan IKIP. Keduanya betul-betul berada di bawah naungan perguruan tinggi itu. Undip, yang didirikan pada 1960 oleh para dosen Universitas Diponegoro, sampai kini dibiayai universitas Rp 500.000/tahun ditambah sumbangan para alumni yang gila bola. Semula pemainnya hanya mahasiswa, tapi sejak 2 tahun lalu juga memakai pemain luar. Syaiful Amri, pencetak gol tunggal ke gawang Persebaya, itu termasuk pemain luar di Undip. "Klub ini amatir murni, pelatih dan pemainnya tanpa bayaran," kata Ir. J.S. Sunandar, Ketua Umum PS Undip. Tapi IKIP masih bertahan tak memakai orang luar. Pelatihnya, Sugianto, pemain PSIS 1976-1982, adalah dosen di sana. Malah salah seorang pemainnya yang dipakai PSIS, Siswo Irianto, juga dosen di perguruan tinggi itu. Namun, seperti diakui sejumlah pemain PSIS, dan beberapa pengamat, kunci sukses PSIS adalah pada peranan Pelatih Sartono Anwar. "Sebagai pelatih, dia tidak luar biasa, tapi rajin bertanya dan mau mendengar nasihat orang lain," puji Sinyo Aliandoe, pelatih nasional. Setiap memberi petunjuk kepada pemain di Stadion Utama Senayan, Sartono, yang kelihatan selalu ngomong terus terang, malah terkesan sedikit kasar, selalu tak lupa meminta pendapat para pemain. Ada yang mengatakan, Sartono terlalu mendengarkan pendapat anak buahnya. Sebagai contoh, pemasangan Budi Wahyono itu. Semula, Sartono berniat hanya memasang Budi pada babak ke-2, tapi Budi memaksa, "Saya lebih baik memilih sakit kaki daripada sakit hati." Artinya, dia memaksa dipasang di babak pertama. Dan Sartono meluluskannya. "Saya percaya dia. Kalau dia bilang bisa main, berarti dia sudah bertanggung jawab." kata Sartono kepada TEMPO. Semula, Sartono sendiri tak menyangka Budi Wahyono bisa main dengan 6 jahitan di kaki, "Ternyata, asal mula gol itu dari dia," kata Sartono sambil tertawa. Amran Nasution, Lapoan Bandelan Amarudin & Yusro M.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini