Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Patah Elly juara berganti

Petinju surabaya pulo sugarray berhasil menang angka mutlak atas geron porras dari filipina dalam kelas super bulu wbc yunior. pulo perlu dimatangkan dulu sebelum terjun ke arena yang lebih berat.

21 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU gong berbunyi tanda pertandingan berakhir, Pulo Sugarray langsung mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, lalu bersujud mencium kanvas. Kemudian petinju Surabaya ini melompat ke luar ring, menyalami Hutomo Mandala Putra yang duduk di kursi VIP. Putra Presiden Soeharto itu tampak gembira. Sekitar 8.000 penonton di Stadion Pahoman, Bandarlampung, Minggu malam yang lalu, turut pula bersorak-sorai, meski hasil pertandingan belum diumumkan. Tapi siapa lagi pemenangnya kalau bukan Pulo? Ketiga hakim, Kanaya dan Kuata (keduanya dari Jepang), serta Malcolm Bulner (Australia), ternyata memang sepakat: Pulo Sugarray, 58,7 kg, menang angka mutlak atas Geron Porras dari Filipina. Sabuk juara dunia kelas super bulu WBC Yunior dililitkan langsung ke pinggang Pulo oleh Presiden badan tinju itu, Antonio Sciarra dari Italia. Indonesia pun kembali memiliki seorang juara dunia, setelah 15 hari sebelumnya Ellyas Pical keok melawan Khaosai Galaxy dari Muangthai. Juara dunia? Betul. Tapi harap diketahui, WBC Yunior ini adalah badan tinju kelas dua yang baru dibentuk Oktober tahun lalu oleh WBC (World Boxing Council). WBC sekarang dianggap badan tinju dunia yang paling bergengsi. Tapi WBC Yunior tak bisa disetarakan dengan seniornya. Malah dengan IBF pun, badan baru ini jelas masih kalah kualitas. Kriteria petinju yang bertanding untuk mengisi juara dunia di situ cukup juara nasional, atau juara badan tinju regional, seperti OPBF (badan tinju Asia-Pasifik). Bisa juga petinju peringkat ke-11 sampai 30 di WBC (yang bukan yunior), asal tidak petinju asal Amerika Serikat. Begitupun, Geron Porras, 29, tak bisa disebut petinju ayam sayur. Dibandingkan Orlando Orozco dan Jorge Amparo tadi yang namanya tak ada dalam urutan penantang 3 badan dunia tinju yang ada -- juara dari Filipina ini lebih jelas prestasinya. Dia adalah juara OPBF kelas super bulu. Di IBF dia terdaftar sebagai penantang no 4, sedangkan di WBC no 9. Rekor Porras: 48 kali bertanding, 39 kali menang -- 22 di antaranya dengan KO -- 2 kali seri dan 7 kali kalah. Itu saja sudah menunjukkan bujangan asal Mindanao yang tinggal di Manila itu cukup merasakan asam garamnya nng tinju. Sedangkan Pulo Sugarray, 21, yang masuk tinju pro sejak 1983, baru bertanding 19 kali, 14 menang (9 dengan KO), 3 kali seri, dan 2 kali kalah KO dari Monod dan Hengky Gun. Karena itu, sebelum pertandingan banyak yang menduga, Pulo pasti akan dihajar lawannya. Anak yatim piatu asal Gorontalo, Sul-Ut, yang kini bergabung dengan sasana Garuda Airlangga, Surabaya, itu pun tampak tegang. Di kamar pakaian, sebelum naik ke atas ring, dia sempat buang air kecil 4 kali. Menjelang pertandingan dimulai, Tinton Soeprapto, bekas pembalap mobil yang menjadi promotor pertandingan, menemui Pulo di pojok ring. Tinton berbisik," Boss Tommy pesan, jangan lupa baca Bismillah ...." Yang dimaksud Tinton adalah Hutomo Mandala Putra. Di ronde awal, petinju ini rupanya mengikuti saran pelatihnya, Suryadi, bekas juara nasional amatir. Dia melepaskan pukulan kiri lurus, untuk menghalangi lawan yang selalu berusaha mendekat untuk melakukan pertarungan rapat. Kondisi ini menguntungkan Pulo (tinggi 1,73 m) yang lebih jangkung dari Porras (1,65 m). Tapi sejak ronde ke-2, pelatih dan ofisial lainnya terpaksa berteriak-teriak dari pinggir ring, "Jangan ladeni Pulo, lari . . . kamu 'kan lebih tinggi .... Tapi Pulo sudah tak mendengar lagi. Dia terus meladeni lawannya yang kidal bertukar pukulan. Terjadi pertarungan rapat dari gong ke gong. Ternyata, pertahanan Pulo lebih rapat dibandingkan lawannya. Berbagai kombinasi pukulan Pulo sering menyengat perut lawan. Sejak ronde ke-6, petinju Filipina yang sebelumnya sesumbar akan meng-KO-kan Pulo itu kelihatan mulai frustrasi. Dua kali dia ditegur Wasit Malcolm Bulner karena memukul bagian terlarang, di bawah pusat. Pada ronde terakhir, 12, sadar ia sudah tertinggal angka, Porras mencoba memforsir kemenangan KO dengan terus mengasak. Pertahanannya lebih terbuka, dan ketika itulah alis kirinya dirobek pukulan Pulo. Darah mengucur, sampai wasit sempat menyetop pertandingan untuk mengelap sarung tinju Pulo yang berlepotan darah lawan. Begitulah. Akhirnya Pulo menang angka mutlak. Nama asli Pulo sebenarnya adalah Pulu Safrudin Deu. Seperti Elly Pical, si Pulu ini pun jebolan kelas 5 SD, di kampungnya di Gorontalo. Setelah jadi petinju, namanya diubah jadi Pulo dengan embel-embel Sugar ray, dari nama petinju ternama Sugar Ray Leonard, yang dikaguminya. Dia mulai berkibar setelah memukul KO juara Muangthai, Ayuthya, untuk pertandingan peringkat OPBF, di Gresik, tahun lalu. Kemudian, semua petinju Indonesia -- termasuk yang pernah mempecundanginya -- disikatnya. Monod, petinju badak itu, Januari lalu dipukulnya KO di ronde ke-1. Itu membuat Tinton Soeprapto tertarik mengorbitkan Pulo, dengan bayaran Rp 4,5 juta. Kini sabuk juara dan uang sudah di tangannya. "Saya akan pulang kampung dulu memperbaiki makam kedua orangtua saya," katanya. Mengingat peringkat Porras yang dikalahkannya cukup tinggi, bukan tak mungkin Pulo akan bisa menantang juara dunia WBC (tanpa embel-embel Yunior). Tapi, seperti dikatakan bekas promotor Boy Bolang setelah menyaksikan pertandingan itu, "Sebaiknya jangan bermimpi dulu mau ke WBC. Paling tidak Pulo itu harus diberi pengalaman dua atau tiga tahun ini." Boy benar. Juara WBC di kelas itu adalah Julio Cesar Chavez dari Meksiko, yang memegang gelar itu sejak tiga tahun yang lalu, tanpa terkalahkan. Promotor Tinton, yang memiliki dua option Pulo tampaknya menyadari hal itu. Maka, ia merencanakan menghadapkan petinju ini dengan juara dunia IBF, Barry Michael, dari Australia, sehabis pemilu. Michael, 32, petinju kelahiran London, Inggris, menjadi juara sejak Juli 1985, dan sudah tiga kali mempertahankan gelar. Rekornya tak terlalu mengesankan. Tiga tahun yang lalu, di Istora Senayan, dia cuma mampu bermain seri dengan Juhari, petinju asal Malang yang pernah menjadi juara OPBF, 1984. "Barry Michael itu malah lebih ringan dibandingkan Porras," kata Harry Sasmita, manajer Pulo. A.N., Laporan Yopie Hidayat & Effendy Saat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus