Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Semenya Hanya Ingin Berlari

Pelari Afrika Selatan, Caster Semenya, menggugat regulasi soal pembatasan kadar testosteron atlet perempuan. Aturan itu membuatnya terancam tak bisa ikut kompetisi lari.

23 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Caster Semenya di pengadilan di Lausanne, Swiss, Senin pekan lalu./REUTERS/Reuters TV

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Popularitas Mokgadi Caster Semenya melejit setelah menjuarai nomor 800 meter Kejuaraan Dunia Atletik di Berlin, Jerman, pada 2009. Usianya kala itu baru 18 tahun. Dalam satu dekade terakhir, pelari perempuan Afrika Selatan itu terus mendominasi kompetisi lari di nomor 800 dan 1.500 meter. Namun, sejak Senin pekan lalu, Pengadilan Arbitrase Olahraga di Lausanne, Swiss, menjadi arena pertandingan baru Semenya.

Perempuan 28 tahun itu menggugat Federasi Atletik Internasional (IAAF) yang membuat regulasi pembatasan kadar testosteron bagi atlet perempuan. Semenya meyakini dia dan para atlet perempuan seharusnya bisa berkompetisi tanpa diskriminasi. “Aturan ini malah menjadi upaya tercela hanya untuk mengatur jenis kelamin atlet perempuan,” kata Semenya dalam pernyataan yang dirilis tim kuasa hukumnya seperti dilaporkan The Guardian.

Diumumkan pertama kali pada 2011, regulasi IAAF mengatur soal ambang kadar hormon testosteron bagi atlet perempuan maksimal 10 nanomol per liter darah. Namun Pengadilan Arbitrase Olahraga menunda regulasi ini menyusul gugatan dari sprinter India, Dutee Chand, pada 2014.

Awal tahun lalu IAAF mengumumkan revisi pembatasan hormon testosteron atlet perempuan menjadi 5 nanomol per liter darah. IAAF membuat regulasi baru ini berbekal hasil studi yang menyebutkan kadar testosteron tinggi membuat atlet perempuan lebih unggul pada lomba lari nomor 400 dan 1.500 meter.

Hasil riset yang dipublikasikan pada 2017 itu menggunakan data para atlet yang ikut Kejuaraan Dunia Atletik 2011 dan 2013. Laporan itu menunjukkan 7 dari 1.000 atlet elite perempuan memiliki kadar testosteron 140 kali lebih tinggi dari ambang normal. Kondisi ini diduga meningkatkan kemampuan fisik mereka hingga 4,5 persen.

Kebanyakan perempuan memiliki hormon testosteron kurang dari 1,8 nanomol per liter darah. Aturan baru IAAF itu tampaknya dibuat untuk membatasi keunggulan para perempuan yang secara alami memiliki kadar testosteron lebih tinggi. Mereka adalah perempuan dengan kelainan perkembangan seks atau differences of sexual development, termasuk perempuan dengan hiperandrogenisme seperti Semenya.

Tubuh para perempuan dengan hiperandrogenisme memproduksi androgen alias hormon laki-laki dengan kadar jauh lebih tinggi daripada wanita kebanyakan. Androgen yang utama adalah testosteron. Kondisi ini memicu pertumbuhan rambut tubuh lebih banyak, badan lebih berotot, gangguan menstruasi, hingga perubahan suara yang terdengar lebih berat layaknya pria.

Aturan baru IAAF itu menyebutkan para atlet perempuan dengan kadar testosteron di atas batas maksimal harus menjalani terapi atau pengobatan untuk menurunkannya. Para atlet juga harus bisa memastikan kadar testosteronnya tidak melewati ambang selama enam bulan berturut-turut sebelum kompetisi yang akan diikuti.

Regulasi itu mengharuskan Semenya menjalani terapi khusus yang membuatnya terancam tak bisa berkompetisi. Semenya kecewa terhadap aturan itu karena dia merasa kondisi tubuhnya sudah normal sebagai perempuan. “Aku ingin bisa bertanding secara alami, sesuai dengan diriku yang sudah begini sedari lahir,” ujarnya.

Semenya menyebutkan IAAF membuat regulasi yang diskriminatif dan tak masuk akal. Dia menilai tak adil jika ia harus mengubah dirinya. “Tak adil ketika orang-orang mempertanyakan keadaanku,” katanya. “Aku Mokgadi Caster Semenya, aku perempuan dan aku cepat.”

IAAF menyatakan regulasi itu dibuat bukan untuk mengarahkan Semenya atau atlet perempuan lain dengan kelainan perkembangan seks dikategorikan sebagai atlet laki-laki. IAAF hanya ingin para atlet seperti Semenya menurunkan kadar testosteron sebelum berkompetisi. Hal ini perlu dilakukan untuk membuat kompetisi di kelompok perempuan lebih seimbang.

Fisik Semenya memang terlihat seperti pria: dada bidang, bahu lebar, dan jauh lebih kekar ketimbang atlet perempuan lain. Gangguan perkembangan seks yang dipicu kelainan kromosom itu juga membuat Semenya tak mempunyai rahim dan indung telur, tapi memiliki testis internal ketika lahir. Meski demikian, Semenya mantap mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan.

Pandangan negatif soal status jenis kelamin terhadap Semenya sebenarnya sudah muncul ketika dia beraksi dalam kompetisi atletik junior. Dengan penampilan tubuh berotot, Semenya diragukan banyak pihak sebagai perempuan ketika dia menang dalam Kejuaraan Dunia Atletik pada 2009. Saat itu dia menjadi yang tercepat dengan catatan waktu 1 menit 55,45 detik.

Jacob Semenya, ayahnya, meradang atas reaksi negatif yang menerpa putrinya. Dia membela Semenya habis-habisan. “Untuk pertama kalinya Afrika Selatan punya pelari hebat, malah dicela,” ucap Jacob seperti dilaporkan situs Sowetan. “Saya berharap mereka tidak melakukan hal itu lagi terhadap putri saya.”

Ibu Semenya, Dorcus, mengatakan tudingan miring terhadap putrinya muncul hanya karena iri semata. Dia bahkan mengatakan orang-orang di kampungnya, Fairlie, mengenal Semenya sebagai perempuan. “Mereka hidup dengannya sejak ia masih kecil,” katanya.

Dukungan terhadap Semenya datang dari berbagai penjuru. Tianna Bartoletta, atlet lompat jauh Amerika Serikat yang juga teman Semenya, sudah lama menolak regulasi IAAF itu. Hormon, menurut dia, berperan penting dalam pertumbuhan. Setiap orang memiliki rasio hormon sendiri yang bisa membuat tubuhnya sehat. “Sungguh mengerikan jika hal seperti itu ditentukan oleh orang lain,” ujar peraih medali emas lompat jauh dan estafet 4 x 100 meter di Olimpiade 2016 itu.

Mandla Mandela, cucu tokoh anti-apartheid- Nelson Mandela, malah mengatakan aturan IAAF adalah serangan terhadap harga diri dan hak Semenya sebagai perempuan untuk berkompetisi. “Kita harus melawan diskriminasi dalam bentuk apa pun,” katanya.

Mantan atlet lari Amerika Serikat, Edwin Moses, menyatakan Semenya harus diperlakukan adil. Moses menyebutkan, seperti dilaporkan situs CNN, Semenya seharusnya tak boleh dicela karena situasi yang dialaminya. “Dia tak melakukan kesalahan apa pun,” tutur Moses, yang meraih medali emas nomor lari gawang 400 meter di Olimpiade 1976 dan 1984.

Pemerintah Afrika Selatan juga membela Semenya. Menteri Olahraga Tokozile Xasa bahkan datang ke Lausanne untuk mendukungnya. Xasa mengkritik IAAF yang menyebutkan aturan itu untuk membuat “kompetisi lebih seimbang” di dunia atlet perempuan. “Kita bicara soal pelanggaran terhadap tubuh perempuan, soal bagaimana mereka diharuskan tampil di hadapan orang lain,” katanya.

Hasil perjuangan Semenya menuntut haknya sebagai atlet perempuan menjadi tonggak besar dalam sejarah 35 tahun Pengadilan Arbitrase Olahraga dan dunia atletik. Meski demikian, Semenya melakukannya demi sesuatu yang sudah dibawanya sejak lahir. “Tuhan menciptakanku seperti ini, dan aku menerima diriku apa adanya,” ujar Semenya.

 

MOKGADI CASTER SEMENYA

Tempat dan tanggal lahir:

Polokwane (Pietersburg), Afrika Selatan,

7 Januari 1991

Tinggi: 1,78 meter

Spesialisasi: 800 meter, 1.500 meter

 

Prestasi: Medali Emas

Olimpiade, nomor 800 meter (2012, 2016)

Kejuaraan Dunia Atletik, nomor 800 meter (2009, 2011, 2017)

Kejuaraan Dunia Atletik Junior, nomor 800 meter (2008)

Kejuaraan Afrika, nomor estafet 4 x 400 meter, 800 meter, dan 1.500 meter (2016); nomor 400 meter dan 800 meter (2018)

Piala Continental, nomor 800 meter (2018)

Commonwealth Games, nomor 800 dan 1.500 meter (2018)

African Games, nomor 800 meter (2015)

 

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, SPORTS24, THE GUARDIAN, INDEPENDENT ONLINE, ESPN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus