Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Shakespeare Rasa Lokal

Institut Kesenian Jakarta mementaskan A Midsummer Night’s Dream milik William Shakespeare. Dikemas modern dengan menonjolkan unsur lokal.

23 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Grup Teater IKJ melakonkan adegan Ratu Peri dan sang Keledai dalam teater komedi di Graha Bhakti Budaya, TIM, 17 Februari lalu. ANTARA/Dodo Karundeng

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"GUE mesti punya air mata yang banyak banget, nih, biar yang nonton pade sedih,” kata lelaki bernama Kumpar (Hilmi Almasyari) kepada lima kawannya sesama jelata di negeri yang dipimpin Raja Theseus.

“Butuh buaye, kagak?” salah satu kawannya menimpali, dengan logat Betawi kental.

“Air mata buaye?” tanya Kumpar.

Guyonan jayus itu bersambut tawa ratusan penonton di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Ahad siang, 17 Februari 2019. Begitu pun semua laku kocak yang dibuat Kumpar dan lima kawannya: Cerek, Ketam, Gembung, Gering, dan Patil. Yang membuat kekonyolan mereka makin “gas pol” adalah bunyi-bunyian alat musik pengiring lenong Betawi seperti trompet tehyan. Trompet itulah yang kerap jail merespons kelucuan Kumpar dan kawan-kawan.

Padahal sebenarnya keenam orang itu tak sedang mementaskan “lenong betulan”, melainkan drama A Midsummer Night’s Dream karya penyair asal Inggris, William Shakespeare. Di TIM, A Midsummer Night’s Dream naik pentas dua kali sehari pada 16-18 Februari 2019. Pelakon teaternya sebagian besar adalah mahasiswa dan dosen lintas program studi (prodi) Institut Kesenian Jakarta, baik Prodi Teater, Etnomusikologi, Seni Rupa, maupun Tari. Mereka ada di bawah arahan dua sutradara, dosen Prodi Teater IKJ, Bedjo Soelaktono dan Hestu Wreda.

Namun, di “kerumunan” mahasiswa dan dosen IKJ, ada dua orang yang nyempil sebagai pemain A Midsummer Night’s Dream, yakni artis sinetron Disha Devina dan aktris film Amel Alvi. Keduanya memerankan Hermia dan Helena pada jam pentas yang berbeda dengan Tara Adhita dan Siska Carolina. “Saya ingin ada kolaborasi antara teater dan budaya populer agar ada timbal balik positif di antara keduanya,” kata Bedjo.

Dalam naskah aslinya yang ditulis pada 1595-1596, drama ini terdiri atas empat plot, yang dihubungkan oleh rencana pernikahan Theseus dengan Ratu Amazon, Hippolyta. Beda dengan karya Shakespeare lain yang memuat tragedi, seperti Macbeth, Hamlet, dan Romeo and Juliet, A Midsummer Night’s Dream adalah drama komedi yang kental akan unsur fantasi. Ceritanya berpusat pada Hermia (diperankan Tara Adhita) yang emoh dicomblangkan ayahnya, Egeus, dengan Demetrius (Bowo G.P.).

Adegan percintaan antara Hermia dan Lisander di Graha Bhakti Budaya, TIM, 17 Februari lalu. ANTARA/Dodo Karundeng

Perjodohan itu menjadi petaka bagi Hermia karena dia sudah berkekasih Lysander (Fitra Wijaya). Walhasil, Egeus melaporkan pembangkangan anaknya kepada Raja Athena, Theseus. Nyawa menjadi taruhannya. Kalau tak mau tunduk kepada Egeus, Hermia akan dihukum mati oleh Raja. “Hermia anakku, milikku. Dan dia akan kuberikan kepada Demetrius,” ujar Egeus.

Alih-alih patuh, Hermia memilih kabur ke hutan bersama sang pacar. Dia juga menyusun strategi dengan Helena (Siska Carolina), kawannya yang jatuh cinta berat kepada Demetrius. Sayangnya, seperti kata penyair William Shakespeare dalam naskah yang ditulisnya ini, the course of true love never did run smooth. Jalan cinta sejati tak pernah ada yang lincir. Begitu pun Hermia dan Helena, yang mesti “berakrobat” demi mendapatkan lelaki pujaannya.

Namun Bedjo ogah setia sepenuhnya pada naskah asli A Midsummer Night’s Dream. Ia dan Hestu membelot dengan meramu naskah tersebut menjadi suguhan kontemporer. Sutradara sejumlah sinetron ini beralasan, kebanyakan penonton sekarang enggan menonton teater yang terlalu panjang dan “berat”. Karena itulah Bedjo dan Hestu membubuhkan unsur modern, tanpa menghilangkan identitas karya aslinya. “Tapi tentu karya kami ada nilai gizinya,” ucapnya.

Salah satu perubahan radikal yang disajikan Bedjo dan Hestu adalah munculnya seni tradisional seperti lenong ke pertunjukan seepik A Midsummer Night’s Dream. Pilihan ini membuat drama Shakespeare jauh dari kesan kaku dan lawas. Terlebih Kumpar dan lima kawannya yang dikisahkan hendak tampil dalam pesta pernikahan raja itu kadang berinteraksi dengan penonton. “Kami ingin merobohkan ‘dinding’ antara penampil dan penonton yang biasa ada dalam drama realis,” kata Bedjo, yang pada 1990 memerankan tokoh Patil dalam drama yang sama.

Kendati begitu, Bedjo dan Hestu mempertahankan banyak hal dari A Midsummer Night’s Dream, baik soal teks yang banyak mengkritik ketimpangan gender dan seksualitas maupun sejumlah adegan penting. Misalnya adegan di hutan gaib yang melibatkan Oberon (raja peri, diperankan Rudy Pulingala) dan istrinya, Titania (Sheila Octarina). Sebagai selingan kusutnya romansa Hermia dan Helena, penampilan para peri yang melulu menari ini menyegarkan mata. Apalagi gerakan mereka (diperankan mahasiswa-mahasiswa dari Prodi Tari IKJ) gemulai dan magis.

Gaya ngepop drama ini membawa konsekuensi terhadap tata panggung. Sejak awal hingga akhir pertunjukan yang hampir berlangsung tiga jam ini, desain panggungnya sama sekali tak berubah. Tak peduli kisahnya sedang bertempat di kerajaan, hutan, ataupun lokasi para pekerja kasar tengah bercengkerama. Hanya pohon-pohon tinggi dengan kerumunan bunga warna-warni.

Menurut Bedjo, tata panggung memang tak penting amat dalam seni tradisi. Sebab, “ruang” sudah dibangun oleh para pelakon, hanya lewat ujaran mereka. “Jadi tidak perlu membangun set yang terlalu mahal, karena penonton rela membangunnya sendiri di imajinasi mereka,” katanya. Di tangan Bedjo dan Hestu, A Midsummer Night’s Dream menjadi lebih kekinian.

ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus