SUNGGUH mati, kawan satu ini membuat bingung orang. Ia
mengajukan teka-teki aneh: apakah persamaan antara perebutan
Piala Dunia sepakbola untuk tahun 1982 ini dan landreform?
Siapa tidak garuk-garuk kepala mencari hubungan antara dua hal
yang begitu berbeda itu.
Menurut jenius kampungan ini (dan semua jenius memang
kampungan), ada satu watak pertandingan-pertandingan 'Mundial
1982' di Spanyol sekarang. Yakni menangnya pola 'bermain bola
negatif'.
Contohnya: Bagaimana mungkin kesebelasan Jerman Barat, yang
harus main sabun untuk bisa lolos ke putaran kedua, setelah
kalah dari kesebelasan tingkat sedang Aljazair, dan hanya marnpu
mencapai semi-final karena perbedaan selisih gol, kenapa
kesebelasan macam itu bisa memiliki peluang sangat besar untuk
jadi juara?
Italia juga bermain negatif, dan itu dilakukannya dengan
Cattenaccio, Ia cenderung mencari kelemahan lawan, lantas
mempertaruhkan serangan balik sebagai kelebihan.
Demikianlah, siapa pun yang jadi juara 'Mundial 1982' tidak akan
mampu mengangkat keharuman sepakbola sebagai seni. Piala Dunia
menurun kualitasnya, menjadi industri pertukangan. Yang berlaku
adalah sikap negatif: menahan gedoran lawan sambil mengintai
kelemahan lawan.
Nah, siapa bilang itu tidak sama dengan keadaan landreforrn?
Pihak tuan-tanah yang memiliki lahan pertanian luas (apakah itu
perorangan, 'keluarga besar' maupun perusahaan raksasa
multi-nasional), tidak pernah 'menyerang' dengan sikap positif,
mengajukan gagasan-gagasan berharga untuk menjamin keadilan
penguasaan tanah sebagai unit produksi. Yang diambil adalah
sikap negatif: tunggu saja gedoran kekuatan politik yang
menghendaki penataan kembali pola pemilikan dan penguasaan
tanah. Nanti toh akan ada kelemahannya.
Kalau landreform dilakukan secara sentralistis, banyak
'kemenangan' dicapai tuan-tanah melalui lubang-lubang peraturan
dan cara kerja yang dianut birokrasi pemerintahan yang
melaksanakan landreforn itu sendiri. Kalau didesentralisasikan,
dengan jalan diserahkan kepada lembaga tingkat desa seperti
LMD, 'wakil-wakil rakyat' di tingkat desa itu akan dibeli dan
diteror.
Bukankah lalu mudah sekali dikandaskan cita-cita mulia membagi
kembali tanah pertanian, dan dicapai kemenangan di pihak
tuan-tanah?
Begitulah yang dikatakan kawan sang jenius kampungan: baik
perebutan Piala Dunia 1982, maupun perebutan tanah lahan
pertanian sepanjang masa, selalu dimenangkan oleh 'tim negatif'.
Lalu, apa gunanya dibuka kotakpos baru 'khusus untuk urusan
agraria'? Entahlah, yang jelas tidak banyak yang dapat diperbuat
para pejabat dibidang agraria, kalaupun masih ingin berbuat
sesuatu bagi kepentingan masyarakat. Perangkat peraturan tentang
tanah belum memungkinkan, karena UU Pokok Agraria dan UU Pokok
Bagi Hasil belum 'diberi gigi' institusional dan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini