Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Piala dunia '82 dan landreform

Piala dunia '82 dan landreform sama-sama punya sikap negatif. keduanya punya sifat yang negatif: menahan gedoran lawan sambil mengintai kelemahan lawan. pelaksanaan landreform punya kelemahan.

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNGGUH mati, kawan satu ini membuat bingung orang. Ia mengajukan teka-teki aneh: apakah persamaan antara perebutan Piala Dunia sepakbola untuk tahun 1982 ini dan landreform? Siapa tidak garuk-garuk kepala mencari hubungan antara dua hal yang begitu berbeda itu. Menurut jenius kampungan ini (dan semua jenius memang kampungan), ada satu watak pertandingan-pertandingan 'Mundial 1982' di Spanyol sekarang. Yakni menangnya pola 'bermain bola negatif'. Contohnya: Bagaimana mungkin kesebelasan Jerman Barat, yang harus main sabun untuk bisa lolos ke putaran kedua, setelah kalah dari kesebelasan tingkat sedang Aljazair, dan hanya marnpu mencapai semi-final karena perbedaan selisih gol, kenapa kesebelasan macam itu bisa memiliki peluang sangat besar untuk jadi juara? Italia juga bermain negatif, dan itu dilakukannya dengan Cattenaccio, Ia cenderung mencari kelemahan lawan, lantas mempertaruhkan serangan balik sebagai kelebihan. Demikianlah, siapa pun yang jadi juara 'Mundial 1982' tidak akan mampu mengangkat keharuman sepakbola sebagai seni. Piala Dunia menurun kualitasnya, menjadi industri pertukangan. Yang berlaku adalah sikap negatif: menahan gedoran lawan sambil mengintai kelemahan lawan. Nah, siapa bilang itu tidak sama dengan keadaan landreforrn? Pihak tuan-tanah yang memiliki lahan pertanian luas (apakah itu perorangan, 'keluarga besar' maupun perusahaan raksasa multi-nasional), tidak pernah 'menyerang' dengan sikap positif, mengajukan gagasan-gagasan berharga untuk menjamin keadilan penguasaan tanah sebagai unit produksi. Yang diambil adalah sikap negatif: tunggu saja gedoran kekuatan politik yang menghendaki penataan kembali pola pemilikan dan penguasaan tanah. Nanti toh akan ada kelemahannya. Kalau landreform dilakukan secara sentralistis, banyak 'kemenangan' dicapai tuan-tanah melalui lubang-lubang peraturan dan cara kerja yang dianut birokrasi pemerintahan yang melaksanakan landreforn itu sendiri. Kalau didesentralisasikan, dengan jalan diserahkan kepada lembaga tingkat desa seperti LMD, 'wakil-wakil rakyat' di tingkat desa itu akan dibeli dan diteror. Bukankah lalu mudah sekali dikandaskan cita-cita mulia membagi kembali tanah pertanian, dan dicapai kemenangan di pihak tuan-tanah? Begitulah yang dikatakan kawan sang jenius kampungan: baik perebutan Piala Dunia 1982, maupun perebutan tanah lahan pertanian sepanjang masa, selalu dimenangkan oleh 'tim negatif'. Lalu, apa gunanya dibuka kotakpos baru 'khusus untuk urusan agraria'? Entahlah, yang jelas tidak banyak yang dapat diperbuat para pejabat dibidang agraria, kalaupun masih ingin berbuat sesuatu bagi kepentingan masyarakat. Perangkat peraturan tentang tanah belum memungkinkan, karena UU Pokok Agraria dan UU Pokok Bagi Hasil belum 'diberi gigi' institusional dan hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus