Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Si Tengil yang Perkasa

Rekor tinju Naseem Hamed dan kekayaannya masih gemilang hingga partai terakhir. Tapi ia belum bertemu lawan sebanding.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertunjukan itu bagai cerita 1001 malam saja. Dengan "karpet terbang", Naseem Hamed turun dari balkon menuju ring. Bukan itu saja. Celana motif kulit macan tutul, salto sebelum bertanding, dan sekian kegenitan lainnya adalah merek petinju Inggris keturunan Yaman ini. Lantas, di ring, dengan lantang ia menggemakan nama Allah dan mengucap kalimat syahadat. Sebagian penonton di London, awal Maret lalu, yang mayoritas berkulit putih, menirukannya. Apa boleh buat, dalam beberapa saat, agama terkesan jadi komoditas bisnis. Untunglah, tonjokan Naseem tak kalah galak ketimbang lagaknya. Vuyani Bungu, petinju Afrika Selatan, dibuatnya terkapar pada ronde keempat dalam pertandingan kelas bulu versi World Boxing Organization (WBO) itu. Padahal, Bungu, yang tak terkalahkan selama delapan tahun terakhir, juga belum pernah terpukul jatuh sepanjang karirnya. Dengan kemenangannya yang terakhir, Naseem seakan menegaskan aksi-aksinya yang terkesan tengil bukanlah pepesan kosong. Dan rekor Naseem memang mengesankan. Dari 34 kali bertanding yang semuanya ia menangkan, 30 di antaranya diraih dengan memukul KO lawan. Rekor amatirnya pun hebat, yaitu 62 kali menang dan hanya 5 kali keok. Bagi publik Inggris, popularitas Naseem, yang menjuluki dirinya Prince ini, tak kalah dibandingkan dengan Lennox Lewis, juara dunia sejati untuk kelas berat. Bahkan, lingkaran pergaulan Naz—panggilan akrabnya—lebih luas. Naz biasa terlihat bersama selebriti dunia macam Michael Jackson, Sylvester Stallone, ataupun Will Smith. Sukses Naz bukan hanya milik Inggris, tapi juga menjadi kebanggaan warga keturunan Arab lainnya. Di Yaman, enam seri prangko yang memuat wajahnya adalah bukti nyata bahwa Naz adalah pahlawan nasional. Naz lahir 26 tahun lalu di Wincobank, kawasan keras di Kota Sheffield, Inggris. Ia merupakan anak keenam dari sembilan bersaudara dari pasangan Salem dan Caria Hamed. Keluarga imigran asal Yaman ini termasuk keluarga Asia pertama yang bertempat tinggal di kawasan itu. Sejak masih bocah, Naz terbiasa bertarung di jalanan. Biang pertengkaran biasanya adalah ejekan bersifat rasialis yang ditujukan kepada Naz dan saudara-saudaranya. Bahkan, lemparan batu ke jendela toko kelontong keluarga Hameed. Melihat anak-anaknya sering dijadikan sasaran pengeroyokan, Salem prihatin. Ia lalu membawa anak laki-laki di keluarga itu ke sasana tinju untuk belajar membela diri. Dua kakak laki-laki Naz, Riath dan Nabeel, juga pernah tercatat sebagai petinju amatir yang lumayan. Namun, berbeda dengan Naz, mereka tidak cukup "gila" untuk berlatih spartan tiap hari. Riath kini jadi manajer Naz, sementara Nabeel mengurusi klub penggemar adiknya. Saat Naz remaja, ejekan bersifat rasialis mulai berkurang. Namun, ketika namanya mulai berkibar, komentar miring seperti itu kembali terdengar. Dengan kondisi yang menyebalkan ini, tak aneh bila Naz yang kental aksen Yorkshire-nya ini masih belum sepenuhnya merasa sebagai orang Inggris. Dalam percakapan, ia sering menggunakan kata "saya" dan "mereka" ketimbang "kita" saat berbicara tentang warga Inggris. Naz, yang memulai karir pro-nya pada 1992, punya alasan kenapa ia berlaku lajak bila sedang di atas ring maupun disorot kamera. "Pertama, orang akan menganggap saya legenda hidup. Kedua, orang akan sebal dan menunggu kapan si bedebah kecil ini tumbang," ujar Naz. Buntutnya, baik penggemar maupun pembencinya tertarik untuk datang dan menyaksikannya beradu pukulan. Inilah kecerdikan Naz mempromosikan diri. Bukti nyata adalah angka 17 juta poundsterling yang dikeruknya tahun lalu, yang sekaligus mengantarkannya sebagai atlet berpenghasilan terbesar di Inggris. Namun, kehebohan di ring tak akan ditemui dalam kehidupan sehari-hari sang "Pangeran". Suami Eleasha dan ayah Sami—bayi berumur enam bulan—ini justru dikenal sebagai sosok yang ramah. Ia tak pernah melupakan jasa Brendan Ingle, pelatih pertamanya. Naz, yang pernah tercatat sebagai juara versi IBF, WBC, dan WBA, juga loyal pada WBO sekalipun badan tinju ini kurang bergengsi. Sebab, WBO yang pertama kali membukakan pintu untuknya. Duit dan ketenaran kini sudah membaluri Naz. Yang perlu dibuktikan ke depan adalah keandalannya melawan petinju tangguh macam Erik Morales, pemegang sabuk juara WBC, ataupun petinju papan atas di badan tinju dunia yang sama, Marco Antonio Barrera. Bila Naz mampu mengatasi tantangan semacam ini, ia naik ke ring dengan menunggang unta pun mungkin tak masalah. Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus