TAK seperti di masa Orde Baru, kini masyarakat tampaknya sangat memperhatikan Mahkamah Agung (MA). Pada waktu yang lalu, urusan pencalonan hakim agung, apalagi kandidat Ketua MA, selalu dimonopoli pemerintah. Kalaupun DPR menyeleksi para calon petinggi hukum itu, perannya sebatas ''menstempel" kehendak pemerintah.
Namun, sekarang, proses pencalonan untuk mengisi kekosongan delapan kursi hakim agung tak lagi sekadar menjadi urusan pemerintah ataupun MA. Masyarakat, baik melalui DPR maupun lewat berbagai organisasi hukum, ikut mengajukan nama calon hakim agung.
Bahkan, empat organisasi masyarakat membentuk kelompok kerja untuk memantau mutu calon hakim agung. Itu semua baru menyangkut pencalonan hakim agung, yang akan digodok DPR untuk kemudian diajukan ke presiden. Apalagi nanti, menjelang tahap bursa calon Ketua MA, pada 1 Agustus 2000. Ketika itu, Ketua MA Marsekal Pertama (Purnawirawan) Sarwata pensiun karena usianya genap 65 tahun.
Boleh jadi semua kerepotan itu mencuat lantaran masyarakat menganggap tiada jalan untuk membenahi keburukan MA selain mengisi posisi hakim agung dengan personel yang bermutu dan berintegritas tinggi. ''Namanya juga hakim agung. Tentu sosoknya dinilai tertinggi. Istilah dunianya, harus betul-betul orang yang suci," kata Patrialis Akbar dari Fraksi Reformasi di DPR.
Kebutuhan untuk segera merombak citra Mahkamah Agung, yang diidentikkan dengan kebobrokan Orde Baru, memang tak bisa ditawar-tawar. Apalagi, menurut hasil penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW), hanya lima dari 36 hakim agung terhitung bersih. Artinya, sebanyak 31 hakim agung atau sekitar 85 persen dianggap tak bersih alias terlibas jual-beli perkara. ''Kalau di MA saja banyak bromocorah, bagaimana rakyat bisa memperoleh keadilan?" kata Teten Masduki, koordinator harian ICW.
Tak pelak lagi, kesimpulan ICW membuat kalangan hakim agung bagaikan kebakaran jenggot. ''Pernyataan Teten terlalu emosional. Kami bisa memperkarakan Teten dengan tuduhan penghinaan," ujar Henry P. Panggabean, salah satu dari 43 orang hakim agung yang sekarang ada.
Toh, kekesalan Hakim Agung Henry belum seberapa dibandingkan dengan kekecewaan masyarakat begitu mengetahui daftar nama 24 calon hakim agung yang diajukan MA ke DPR. Soalnya, semua calon itu berstatus hakim karir atau berasal dari lingkungan peradilan. Di situ ada nama Marsekal Muda Pranowo, yang kini menjadi Sekretaris Jenderal MA, dan wakilnya, Sorta Edwin Simanjuntak. Lantas, ada nama Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Gde Soedharta, Nyonya Chairani A. Wani, dan Eddy Djunaedi.
Tak ada satu pun nama hakim non-karir dalam daftar itu, termasuk nama Benjamin Mangkoedilaga, yang dijagokan Presiden Abdurrahman Wahid untuk menjadi Ketua MA. Dengan demikian, agaknya, Mahkamah Agung ingin mempertahankan status quo alias tak menghendaki perubahan berarti.
Tentu saja komposisi hakim karir itu tak memuaskan sebagian masyarakat. ''Mestinya MA tak memonopoli pencalonan hakim agung dengan hakim karir. Kalau mau mutu hakim agung yang bagus, proses birokrasi yang menaikkan ketua pengadilan tinggi menjadi hakim agung tak bisa lagi dipertahankan," kata pengacara Amir Syamsuddin.
Lagi pula, calon seperti Pranowo ataupun Sorta diduga tak akan mampu memperbaiki citra MA, setidaknya selama lembaga penentu utama hukum dan keadilan itu masih dipimpin Sarwata. Selama ini, posisi keduanya di sekretariat jenderal memang lebih bersifat sebagai corong Ketua MA. Demikian pula calon lainnya, di antaranya Gde Soedharta, yang pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Banyak pencari keadilan yang mengeluhkan integritas Gde Soedharta.
Sejatinya, bila MA mau direformasi, sebagaimana pernah diutarakan ahli hukum dari Universitas Washington, Amerika Serikat, Prof. Daniel S. Lev, semua hakim agung dipensiunkan untuk diganti dengan hakim agung baru. ''Kalau cuma sepuluh hakim agung berasal dari hakim non-karir, itu pun belum berarti. Sebab, mereka akan berbaur dengan hakim agung yang lama, sehingga masyarakat kembali meragukan mutu MA," kata Amir Syamsuddin.
Untuk itulah kini pemerintah juga menyiapkan daftar tandingan yang memuat beberapa nama calon hakim agung dari jalur hakim non-karir. Dalam daftar itu disebut-sebut adanya nama Benjamin, ahli hukum tata negara Bagir Manan dan Moh. Mahfud, serta pengacara T. Mulya Lubis. Beberapa fraksi di DPR pun dikabarkan telah mencalonkan beberapa nama, termasuk Benjamin. Sementara itu, Golkar mengunggulkan mantan Menteri Kehakiman Muladi, yang akan digolkan sebagai Ketua MA.
Sayangnya, nama ahli hukum seperti Mardjono Reksodiputro, Charles Himawan, ataupun Priyatna Abdulrasyid belum terdengar dicalonkan. Padahal, semakin banyak kandidat hakim agung tentu akan semakin baik. Untuk menyaring semua itu, menurut Patrialis Akbar dan Amir Syamsuddin, seharusnya DPR menguji mutu dan integritas para calon lewat dengar pendapat dengan publik.
Happy S., Dwi Aryanto, dan Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini