Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari baru bergeser sedikit dari atas kepala. Teriknya masih terasa membakar kulit. Namun sengatan surya tidak- menghentikan ayunan kaki Teguh Wartana, 23 tahun, dan Ade Permana, 18 tahun. Kedua pemuda itu terus- berlari menyusuri ruas-ruas jalan di kawasan Bintara, Bekasi, Rabu pekan lalu.
Jogging tengah hari bolong itu adalah kegiatan rutin Teguh dan Ade dalam sebulan terakhir. Mereka sedang menempa fisik dan stamina untuk menghadapi hajat penting dalam karier mereka sebagai petarung. ”Kami akan mewakili- Indonesia di kejuaraan internasional muaythai,” kata Teguh.
Teguh dan Ade adalah atlet kickboxing- yang sudah berkali-kali mengikuti- kejuara-an di Jawa Barat. Mereka berdua bergabung dalam sasana Boss Kickboxing-, Bandung. Selain kickboxing, keduanya juga akrab dengan jurus-jurus silat, wushu, maupun tinju. ”Kickboxing menuntut kami untuk menguasai berbagai ilmu bela diri,” ujar Ade.
Atlet kickboxing memang relatif gampang beralih ke muaythai. Sebab, ke-duanya mirip. Menggunakan ring seba-gai arena pertandingan, menggunakan sarung tinju (gloves), dan bisa melayang-kan tendangan ke tubuh lawan. Pembedanya ada pada beberapa teknik pukulan. Dalam muaythai, misalnya, petarung dapat menggunakan sikut dan lutut untuk menyerang lawan. Teknik itu tak dikenal dalam kickboxing.
Olahraga bela diri muaythai berasal dari Thailand. Orang awam lebih menge-nalnya dengan sebutan Thai boxing. Namun, di kalangan pecandu olahraga keras—seperti tinju atau kickboxing-—nama muaythai bukan sesuatu yang asing-. Apalagi cabang olahraga ini sudah dipertandingkan di arena Asian Games 2004 dan SEA Games 2005.
Sayangnya, di kedua pesta olahraga itu, Indonesia belum bisa ikut ambil bagi-an di cabang muaythai. Selain karena tak memiliki atlet, Indonesia juga belum memiliki induk organisasi cabang olah-ra-ga tersebut. ”Tapi sebentar lagi kita akan ambil bagian,” kata Roger Lim. Dia ada-lah Wakil Ketua Umum Asosiasi Mu-ay- Indonesia (AMI) yang baru didirikan.
Sekretaris Jenderal AMI, Julie Andrean, mengatakan saat ini asosiasi sudah mendaftarkan AMI untuk menjadi anggota Komite Olahraga Nasional Indo-nesia (KONI). Asosiasi yang diresmikan dua pekan lalu itu mengangkat Kepala Harian Badan Narkotika Nasional, Komisaris Jenderal I Made Mangku Pastika, sebagai ketua umum.
”Kami juga tengah merintis kepe-ngu-rusan daerah di Batam, Bali, dan Yogya-karta,” kata Julie. Bahkan asosiasi- ber-ancang-ancang mengirim atlet ke kejuaraan dunia di Thailand akhir Mei ini. ”Ini kejuaraan internasional pertama yang diikuti atlet muaythai Indonesia,” ujar Julie.
Muaythai sering dianggap olahraga keras dan terkesan sadistis. Hampir se-ti-ap duel diakhiri dengan darah yang me-n-gucur di wajah petarung. Teknik se-rangan menggunakan sikut dan lutut- mem-buat petarung mudah terluka-. Serang-an dengan cara inilah yang mem-bedakan muaythai dengan olahraga lainnya.
Kerasnya muaythai bisa dipahami dengan melihat akar tradisi seni bela diri itu. Muaythai diciptakan dalam situasi perang. Gerakan-gerakan yang dibentuk bukan sekadar untuk membela diri, tapi lebih ofensif: membunuh lawan. Ayunan tangan harus setajam pedang, kibasan sikut serupa kapak, enta-kan kaki dan lutut tak ubahnya seper-ti hunjaman tombak.
Dalam budaya bangsa Siam, muaythai- berfungsi sebagai upaya membela harga diri dibanding sekadar olahraga prestasi. Sampai 1930-an, fungsi ini masih sangat kental. Aturan pertandingannya- pun begitu longgar. Tidak ada batas waktu untuk mengakhiri sebuah pertarungan. Duel baru berhenti setelah salah satu petarung terkapar dan tidak bisa bangkit lagi.
Seiring berjalannya waktu, muaythai- mulai berkembang ke arah olahraga prestasi. Perkembangan ini tak lepas dari pengaruh kerajaan yang melihat potensi muaythai untuk mendongkrak nama negeri Thailand di mata internasional. Atas dukungan pemerintah, pada 1988 terbentuklah Federasi Amateur Muaythai of Asia (FAMA) dan Fede-rasi Internasional Muaythai Amateur (IFMA) pada 1990.
Dengan terbentuknya dua federasi tersebut, aturan pertandingan muaythai pun mengalami pembakuan. Di antaranya pertarungan berlangsung lima ronde dan menggunakan sarung tangan. Bahkan, setelah cabang ini mendunia, muaythai mengenal dua versi peraturan, yaitu versi Thailand dan Eropa.
Dalam versi Thailand, petarung dibebaskan memukul seluruh bagian tubuh lawan dengan menggunakan kepalan, sikut, kaki, maupun lutut. Sedang-kan versi Eropa melarang petarung memukul- kemaluan lawan. Serangan ke kepala menggunakan sikut dan lutut juga tidak diizinkan. Begitu juga memukul punggung lawan dengan sikut. Bahkan sekarang pertandingan muaythai dibedakan dalam kelompok profesional dan amatir yang meliputi tiga kategori: putra, putri, dan yunior.
Perbedaan antara pertarungan profesional dan amatir dapat dilihat dari penggunaan pelindung tubuh yang dikenakan petarung. Dalam duel profesional, petarung hanya menggunakan sarung tinju dan pelindung kemaluan. Sedangkan untuk amatir, kepala, badan, kemaluan, dan kaki (dari lutut sampai tumit) semua tertutup pelindung.
Hari belum surup. Teguh dan Ade terus mengasah kemampuannya meng-ayunkan tinju dan sikut. Lutut pun berkali-kali dientakkan, menusuk titik sasaran. Mereka terlihat serius, seperti- tak ingin kehilangan kesempatan me-ngibarkan Merah Putih pertama kali di arena muaythai bulan depan.
Untuk menghadapi kejuaraan internasional, waktu dua bulan sebenarnya tidaklah cukup benar untuk mempersiapkan seorang petarung muaythai. Namun, Teguh dan Ade tampak optimistis mampu bersaing dengan petarung-petarung dari negara lain.
Begitu pula tiga rekan mereka: Dido Agusma, Wasit Alawi, dan petarung putri Eneng Hamidah. Kemampuan kickboxing yang sudah mereka kuasai bertahun-tahun dianggap bisa dijadikan modal. ”Jadi, saya tinggal melengkapi beberapa teknik muaythai yang tak ada dalam kickboxing,” kata Ade.
Rasa percaya diri atlet Indonesia yang terlihat begitu tinggi tak lepas dari pe-ranan pelatih Dody Karya. Nama ayah dua anak ini kondang di kalangan petarung sebagai atlet muaythai andal. Ia tidak hanya mengetahui seluk-beluk olahraga itu secara rinci, tapi juga memiliki pengalaman bertarung yang panjang. ”Saya sudah mengikuti lebih dari 280 pertandingan resmi,” kata Dody.
Sebelum menekuni muaythai, Dody malang melintang di dunia kickboxing-. Ia tertarik mempelajari olahraga tradisional Negeri Gajah Putih itu setelah melihat penampilan para petarung Thailand ketika bekerja di Jepang tahun 1990. ”Saya terpesona. Pertarung-an seperti itulah yang saya inginkan,” ujarnya.
Berbekal tekad, Dody pun terbang ke Thailand. Ia langsung menuju Pattaya- un-tuk bergabung dengan salah satu kamp muaythai di kota itu. Selama pro-ses- menimba ilmu di Negeri Gajah Putih, ia terpaksa berpura-pura bisu dan tuli.
Soalnya, para pelatih Thailand memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka sangat senang menurunkan jurus-jurus muaythai kepada kaum muda Siam, na-mun tidak untuk orang asing, apalagi orang Melayu seperti Dody. ”De-ngan berpura-pura bisu-tuli, saya bisa bergerak bebas,” katanya.
Dody merasa tak puas cuma menyerap- ilmu dari kamp di Pattaya. Ia kemudian berkelana ke seluruh penjuru Thailand-, memburu ilmu di kota-kota lain. Ber-sa-maan dengan pengelanaannya, ia men-jajal berbagai teknik muaythai yang sudah dikuasai di berbagai gelanggang. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Puluhan gelar juara telah ia kumpulkan di sana.
Belum adanya asosiasi muaythai di Indonesia membuat Dody sulit mengibar-kan Merah Putih di arena bela diri ini. Kini ia berharap kehadiran AMI bisa memberi peluang kepada para petarung Tanah Air untuk berlaga dan mengharumkan nama Indonesia di arena muaythai internasional.
Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo