Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah tidak boleh terlambat menangani urus-an pupuk. Tindakan rikat tak bisa ditunda-tunda lagi. Kelangkaan pupuk sudah terjadi di beberapa provinsi, bahkan sejak awal tahun ini. Kesulitan petani bakal semakin berat mengingat musim tanam segera tiba.
Yang terberat bagi petani adalah soal harga yang melonjak- dua kali lipat lebih, dari harga subsidi Rp 54 ribu per sak (50 kilogram). Semakin dekat musim tanam, kebutuhan semakin besar tapi pasokan minus, harga makin melangit. Ini sudah terjadi di Trenggalek dan Bojonegoro.
Di dua kabupaten Jawa Timur itu, petani tak punya pilih-an selain membeli dengan harga mahal. Ternyata di bebe-rapa tempat pupuk malah lenyap dari kios pengecer. Di Jember, petani harus berakrobat. Mereka menggunakan garam sebagai pengganti pupuk—langkah darurat yang me-rusak kesuburan tanah dalam jangka panjang.
Orang mengira produksi kurang. Data dari Jawa Timur me-nguatkan perkiraan itu. Pada Maret lalu, Jawa Timur butuh 55 ribu ton, dan ternyata pasokan hanya 26 ribu ton. Tapi angka produksi dan kebutuhan pupuk urea nasional berkata lain. Menurut catatan Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, total produksi 6,7–6,8 juta ton per tahun. Adapun kebutuhan sekitar 4,2 juta ton. Ada surplus 2,5–2,6 juta ton. Ke mana larinya surplus?
Ada tiga kemungkinan. Pertama, surplus tak mampir ke pe-tani karena pengecer tidak menjual semua pupuknya ke petani. Sebagian pupuk diduga mengalir ke perkebun-an besar, tambak, dan industri. Penyebabnya jelas. Tiga tahun terakhir harga tebus pupuk bersubsidi tetap Rp 980 per kilo-gram. Distributor menjual ke pengecer Rp 1.020 per kilogram, sedang-kan pengecer menjual kepada kelompok tani Rp 1.050, yang sekaligus menjadi harga eceran tertinggi. Ke-untungan menjual ke luar kelompok tani mendatangkan keuntungan berlipat-lipat.
Pengecer yang nakal juga bisa menjual pupuk bersubsidi-nya ke eksportir yang menjualnya diam-diam ke luar nege-ri—tentu, dengan harga jual yang jauh lebih tinggi.
Kedua, mungkin ada gangguan sehingga target produksi pabrik pupuk tidak tercapai. Gangguan itu, misalnya, terhentinya pasokan gas Pertamina—bahan baku pupuk—ke PT Pupuk Kujang dan PT Iskandar Muda (dua dari empat pa-brik yang ada selain PT Petrokimia Gresik dan Pupuk Ka-limantan Timur). Dan ketiga, ada kemungkinan telah ter-jadi penimbunan oleh spekulan. Ini, antara lain, dipicu oleh rencana pemerintah menaikkan harga pupuk urea.
Tiga kemungkinan itulah yang harus segera ditangani. Ba-nyak cara tersedia. Dengan kebijakannya, pemerintah bisa meminta empat pabrik pupuk yang ada, yang notabene badan usaha milik negara, mengutamakan kepentingan da-lam negeri. Pertamina perlu dipastikan menjamin pasokan gas untuk pabrik pupuk selalu cukup. Spekulan bisa dihantam dengan melacak jalur distribusi.
Ada baiknya juga pembagian zona distribusi pupuk, me-nurut lokasi empat pabrik besar yang ada, ditinjau kembali. Bisa jadi, kekakuan dalam penerapan zona distribusi ini membuat pupuk langka di satu tempat tapi berlimpah di tempat lain.
Disarankan juga agar pemerintah membatalkan rencana kenaikan harga pupuk. Alasannya jelas. Harga beli gabah oleh pemerintah hanya Rp 1.750 per kilogram—ini pun tak sepenuhnya diterima petani, dengan berbagai alasan. Subsidi Rp 3,1 triliun tahun ini untuk membuat harga pupuk tak naik sangat pantas diberikan kepada petani, kelo-mpok masyarakat yang ekonominya pas-pasan. Petani lebih pantas dibantu dibandingkan pemilik kendaraan bermotor yang bensinnya masih disubsidi oleh negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo