Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekarang masyarakat makin terbiasa menyaksikan demonstrasi, kecil atau besar. Tapi kalau yang berdemo adalah ribuan orang yang termasuk bagian dari pemerintahan, itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Lazimnya orang di luar pemerintahanlah yang unjuk rasa, melakukan tekanan politik dengan mengerahkan massa. Senin pekan lalu, ribuan anggota organisasi bernama Parade Nusantara atau Persatuan Kepala Desa dan Perangkat Desa datang ke Jakarta, melakukan aksi protes ke Menteri Dalam Negeri dan ke Mahkamah Agung.
Yang juga luar biasa adalah tuntutannya. Salah satu dari yang dituntut ialah supaya para kepala desa tidak dilarang menjadi pengurus partai politik. Mereka berpandang-an bahwa hak berpolitik sebagai warga negara tidak b-oleh dikurangi hanya karena mereka menjabat pemimpin desa. Barangkali mereka berpendirian bahwa tidak perlu ada ke-khawatiran timbul risiko konflik kepentingan de-ngan tugas dan tanggung jawab yang mereka emban. Sekarang, larangan kepala desa jadi pengurus partai politik dicantum-kan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Parade Nusantara juga memperjuangkan kembali hak-nya yang direnggut dengan mengajukan gugatan judicial review—peradilan yang meninjau sah-tidaknya suatu peraturan perundang-undangan—atas PP 72/2005 ke Mahkamah Agung. Larangan jadi pengurus partai politik bagi pejabat pemerintahan desa tidak ada dalam undang-undang, baik tentang partai politik maupun tentang pemerintahan daerah. Kepala desa dipilih rakyat, bukan pegawai negeri sipil atau militer. Jadi, mengapa tidak boleh mengurus partai politik? Membatasi atau mengurangi hak warga negara hanya sah jika diperintahkan melalui undang-undang, bukan sekadar dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
Para kepala desa mungkin mengikuti teladan dari atas. Tidak dilarangnya secara legal para pejabat negara menjadi pemimpin partai politik, termasuk presiden dan wakil presiden, memang jadi contoh penyebab para kepala desa menuntut hak serupa. Dulu Presiden Megawati merangkap jadi Ketua Umum PDI Perjuangan. Sekarang Wakil Pre-siden Jusuf Kalla adalah Ketua Umum Partai Golkar. Sebelumnya, contoh sudah diberikan oleh Presiden Soeharto yang menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar, yang kekuasa-annya menentukan dalam organisasi politik Golkar di zaman Orde Baru itu.
Kepala negara saja boleh, mengapa kepala desa tidak? Namun, Menteri Dalam Negeri tetap menolak tuntutan men-cabut larangan kepala desa jadi pengurus partai politik. Dari segi tujuan, penolakan itu sudah tepat. Memang, se-baiknya kepala desa memusatkan perhatian pada tugasnya selaku pamong desa. Sebagai pengurus kepentingan bersama, netralitas kepala desa harus dijaga. Kepentingan sempit partai bisa mengganggu kepentingan umum yang lebih luas. Kalaupun toleransi sebagai anggota partai biasa masih bisa diberikan, kesetiaan pada partai harus diakhiri pada saat kesetiaan pada kepentingan desa dimulai.
Tidak semua hal bisa diatur lengkap dalam undang-undang. Dalam sistem hukum kita juga diakui adanya hukum tidak tertulis, berbentuk adat maupun kebiasaan, atau konsensus yang sengaja dibuat. Baik-buruknya sesuatu tidak cuma ditinjau dari adanya larangan tertulis atau tidak, tapi hendaknya dipertimbangkan akibatnya—kerugian maupun manfaatnya—bagi kepentingan umum.
Yang tidak dikehendaki ialah terpecahnya tanggung ja-wab dan terbaginya beban kepentingan. Karena itu, w-ajar jika kepala desa—diikuti semua pejabat negara yang lain—dilarang atau melarang diri menjadi pengurus partai politik yang jelas punya kepentingan tersendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo