Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa depan terlihat lebih cerah di mata Teddy Yacob. Jika tak ada aral, akhir tahun ini taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang ini bakal diwisuda menjadi pelaut.
Optimisme pemuda 21 tahun asal Nusa Tenggara Timur itu kian menebal lantaran di depannya kini terbentang sejumlah perusahaan pelayaran yang siap mempekerjakannya dengan gaji lebih dari lumayan. Salah satunya per-usahaan tempat Teddy melakukan kerja praktek. Di situ ia ditawari menjadi mualim kapal tingkat III dengan gaji awal Rp 12 juta!
Kendati menggiurkan, Teddy tak lang-sung mengiyakan tawaran itu. Ada tawaran lain dari sejumlah perusahaan pelayaran asing tempat para seniornya bekerja. ”Di situ, gajinya bisa tiga sampai lima kali lipat lebih besar,” katanya.
Teddy bersyukur bisa bersekolah di PIP Semarang, yang lulusannya tak cuma terdaftar di International Mari-time Organization, tapi juga dikenal- mempunyai jaringan luas. Ribuan alumninya tak ada yang menganggur. ”Mereka bekerja di berbagai kapal, pelabuhan, bea-cukai, pangkalan angkatan laut, BUMN dan swasta,” kata Sudarisman, juru bicara Politeknik.
Sejak didirikan pada 1951, sekolah ”pelaut” di bawah Departemen Perhu-bungan itu dikenal menerapkan di-siplin ketat dengan sistem gugur. Para tarunanya mendapat ikatan dinas. Mere-ka otomatis menjadi pegawai negeri begitu lulus. Kalau tidak, mereka tetap men-dapat jaminan bakal langsung bekerja setelah lulus.
Lantaran gratis, sekolah pelat merah ini sangat diminati lulusan SMA. Saban tahun Politeknik itu langganan banjir hampir 2.000 calon mahasiswa. Karena kapasitasnya terbatas hanya untuk 240 orang, masuk sekolah itu bukan perkara mudah. Mereka harus mengikuti ujian khusus dan seleksi ketat.
Sekarang sekolah itu berubah. Uang sekolah tak lagi gratis. Ada pungutan sembilan juta rupiah di awal masuk dan Rp 500 ribu tiap bulan. ”Dana itu untuk makan, pakaian taruna, buku, dan asrama, karena anggaran dari negara tak cukup,” kata R.A.J. Susilo, Kepala Keuangan Politeknik.
Harapan cepat mendapat pekerjaan juga menjadi alasan Yati Nurhayati, 19 tahun, untuk memilih Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, Tangerang. Kendati ia harus merogoh duit jutaan. ”Soalnya ini bukan sekolah kebanyakan, tapi sekolah langka,” katanya kepada Joniansyah dari Tempo. Taruna angkatan 2003 ini mengambil jurusan listrik penerbangan.
Sekolah penerbang juga bernaung di bawah Departemen Perhubungan. Didirikan pada 1952, sekolah ini mula-nya bernama Akademi Penerbangan Indonesia. Pada 1975, berubah menjadi Pendidikan dan Latihan Penerbangan Curug, dan menjadi STPI pada tahun 2000. Sekolah itu memiliki jurusan pilot, teknik, keselamatan dan manajemen penerbang.
Dulu, pemerintah menyokong penuh anggaran sekolah. Para taruna dikontrak ikatan dinas, diberi uang saku dan dijamin setelah kelulusannya langsung bekerja. Bahkan Direktur Jenderal Perhubungan Udara kala itu bekerja sama dengan pemerintah daerah merekrut lulusan STPI.
Belakangan, pemerintah tak lagi menyokong penuh sekolah dinas itu. Padahal, sekitar Rp 12-14 miliar dana yang dikeluarkan tiap tahun tak cukup untuk- menutup ongkos operasional sekolah. Hampir 40 persen dana habis untuk -ongkos pemeliharaan 61 pesawat, membeli suku cadang dan bahan bakar- pesawat latih. Sisanya untuk ongkos sekolah, membayar gaji dosen dan honor- para instruktur. ”Mau tak mau, mahasiswa kini ditarik dana pendidikan,” kata Pembantu III STPI, Aloysius Prawoto.
Akibat dana cekak, sejak 2002 sekolah itu tak lagi menerima calon pilot. ”Duitnya tak cukup. Ongkos mencetak seorang pilot butuh Rp 400 juta,” kata Prawoto. Kini, sekolah itu hanya menyelenggarakan pendidikan jurusan teknik penerbang, navigasi, listrik, pengaturan lalu lintas, dan manajemen penerbang.
Masalah dana cekak juga dialami Aka-demi Teknik dan Keselamatan Penerbangan di Surabaya. Sekolah ini juga milik Dephub, tapi khusus untuk diploma satu sampai tiga bagi profesi teknik dan keselamatan penerbangan. Demi menyiasati minimnya fasilitas praktek, mereka bekerja sama dengan Institut Teknologi Surabaya. Untuk pelatihan, mereka meneken perjanjian dengan sejumlah maskapai penerbangan semacam Merpati dan Garuda.
Sekolah-sekolah itu sebentar lagi ber-salin rupa. Begitulah hasil evaluasi tim penataan pendidikan kedinasan De-partemen Perhubungan yang dike-tuai Dedi Darmawan, Kepala Badan Pen-didikan dan Pelatihan. Dedi harus menyiap-kan konsep perubahan kelemba-gaan sekolah kedinasan di bawah Depar-temen Perhubungan agar sesuai- dengan- ketentuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
Beleid itu mengharuskan sekolah kedinasan menjadi wahana pendidikan profesi yang menyiapkan keahlian pegawai dan calon pegawai departemen yang bersangkutan. Program ini dilakukan setelah program sarjana. Jadi, tak lagi menerima lulusan SMA.
Dengan ketentuan itu, Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR Heri Akhmadi berpendapat, lembaga pendidikan kedinasan sudah waktunya dialihkan menjadi penyelenggara pendidikan pascasar-jana.
Repotnya, saat ini banyak sekolah kedinasan yang masih terfokus pada penyelenggaraan program diploma dan sarjana. Padahal, dalam waktu dekat rancangan peraturan pemerintah soal pendidikan kedinasan ini akan segera diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Usulan penataan sekolah kedinasan ini sebetulnya bukan barang baru. Tiga tahun lalu, ketika UU Sistem Pendidik-an Nasional diberlakukan, kalangan DPR sudah minta pemerintah melikuidasi saja sekolah kedinasan yang jumlahnya hampir 140 buah ini.
Salah satu yang jadi masalah, tak lain, soal anggaran. Selama ini, anggaran pen-didikan kedinasan menyerap lebih besar duit negara yang seharusnya dialokasikan untuk anggaran pendidikan. Pada 2003, misalnya, jumlah anggaran pendidikan kedinasan mencapai Rp 39,9 tri-liun. Bandingkan dengan anggaran pendidikan yang cuma Rp 9,4 triliun.
Pada 2006, meski berkurang, anggar-an pendidikan kedinasan masih menca-pai Rp 11 triliun. Hampir sepertiga dari total anggaran pendidikan Rp 36,7 tri-liun. Soal ini menjadi perkara ramai dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Februari lalu.
Menteri Pendidikan sendiri tak bisa ikut campur urusan anggaran pen-didikan- kedinasan. Soal itu dibahas masing-masing departemen dengan komisi terkait melalui pos mata anggaran pe-ningkatan kapasitas sumber daya dan aparatur negara.
Dana yang keluar itu dipakai untuk mengongkosi pendidikan gratis para pegawai atau calon pegawai dengan ikatan dinas. Malangnya, para lulusan sekolah dinas ini tak selalu mengabdikan ilmunya untuk pemerintah, kadang kala lantaran kebutuhan pegawai sudah tercukupi. Ada pula lulusan sekolah kedinasan yang akhirnya bekerja di sektor- swasta, bahkan di luar negeri. ”pa ini bukan pemborosan?” ujar Heri.
Bila melihat kualitas lulusannya, Heri berpendapat tak jauh berbeda dengan- lulusan perguruan tinggi umum. Ia menunjuk contoh kebutuhan ahli pemerintahan. Saat ini banyak perguru-an tinggi milik pemerintah maupun swasta menyediakan lulusan jurusan ilmu pemerintahan. ”Kenapa bukan itu saja diambil?” Heri bertanya.
Contoh lain adalah banyaknya lulusan jurusan akuntansi dari berbagai perguruan tinggi, negeri maupun swasta. Heri berpendapat, mereka tak kalah hebat ketimbang lulusan STAN, sekolah dinas milik Departemen Keuangan.
Juru bicara Departemen Dalam Nege-ri, Tarwanto, tak sependapat dengan- Heri. Menurut dia, lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tak sama dengan lulusan perguruan tinggi. Dari segi keterampilan manajemen, kata-nya, lulusan IPDN lebih unggul. ”Mereka yang lulus pun tak pernah menolak penempatan,” kata Nyoman Sumaryadi, Pembantu Rektor III IPDN I.
Dedi Darmawan mengakui urusan kompetensi masih perlu dibahas lagi. Soal-nya, beberapa pelajaran teknik pelayaran dan penerbangan tak bisa didapatkan di sekolah umum. Butuh sekolah khusus dan itu bagian dari upaya mendidik masyarakat. ”Kami diskusikan soal ini bersama tim dari Depdiknas, termasuk soal kurikulum, pola pendidikan, hingga sistem kelembagaan,” ujarnya.
Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo- mengatakan, pemerintah memberi waktu lima tahun bagi sekolah-sekolah kedinasan untuk bersalin rupa dan menyesuaikan diri dengan ketentuan. ”Jika ternyata memang layak, bisa menjadi perguruan tinggi negeri,” kata Bambang.
Pilihan lain adalah menjadi perguruan tinggi swasta, seperti yang diusulkan Heri Akhmadi. Contohnya, Sekolah Tinggi Telekomunikasi Bandung yang didirikan pada 1991, yang sebelumnya sebagai sekolah dengan ikatan dinas PT Telkom. Belakangan, ikatan dinas dihapus dan sekolah itu murni menjadi lembaga pendidikan mandiri. Saban tahun menerima seribu mahasiswa dan menggelar program diploma tiga sampai doktoral.
Widiarsi Agustina, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Sohirin (Semarang), Rana Akbari Firiawan (Jatinangor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo