BENUA Afrika tiba-tiba melejit di pergulatan sepak bola dunia. Wakil-wakil mereka, Kamerun dan Mesir, ternyata tampil memukau. Tim Kamerun, yang dijuluki "Singa Liar dari Afrika", membuat sejarah dengan mengalahkan juara bertahan Argentina ( 1-0) pada pertandingan pembukaan. Lalu, tim asuhan pelatih asal Soviet Valeri Nepomniachi ini menundukkan Rumania dengan 2-1 pada pertandingan kedua, yang memastikan Kamerun lolos ke putaran kedua. Meski Kamerun kalah -- lebih tepat disebut mengalah dari Uni Soviet dengan skor telak 0-4 pada pertandingan terakhir grup B Senin malam kemarin (Selasa dini hari), toh ia menjuarai grup B. "Keberhasilan Kamerun adalah kemenangan bagi seluruh bangsa Afrika," kata Jean Manga Onguene, bekas pemain terbaik Afrika yang kini menjadi asisten pelatih Nepomniachi. Bahkan menurut Valery Nepomniachi, keberhasilan tim asuhannya bukanlah kejutan mendadak. Ia sudah meramalkan hal itu jauh-jauh hari, yakni ketika mengetahui hasil undian grup, awal Desember 1989. "Dan saya yakin Kamerun bakal maju ke perempat final," ujar Nepomniachi kepada TEMPO. Nepomniachi, yang pernah menjadi asisten dan murid Valeri Lobanovsky -- pelatih tim Soviet -- mulai menangani "Singa Afrika" sejak awal tahun lalu. Sebelumnya, Kamerun yang pernah menjadi juara Afrika dua kali ini (1984 dan 1988) ditangani pelatih asal Prancis, Claude Leroy. Tujuh pemain inti mereka bermain pada klub-klub profesional di divisi satu Prancis dan Spanyol. Di tim yang sekarang ini bercampur pemain amatir dan profesional dengan usia yang juga beragam. Misalnya bintang lapangan Kamerun kali ini, Roger Milla, sudah berusia 38 tahun. Dua gol yang diciptakannya ke gawang Rumania menjadi bukti bahwa ia masih patut diperhitungkan. "Sebenarnya saya sudah ingin meninggalkan bola sejak 1984, tapi hati saya berat. Dan sekarang saya bisa membawa tim saya lolos ke babak kedua," ujar Milla, yang sudah memperkuat Kamerun pada Piala Dunia 1982 di Spanyol. Pada usia 16 tahun, Milla bergabung di klub amatir Leopard Douala. Lalu pindah ke klub Tonnere Yaounde, masih di negaranya. Setelah itu dia mengembara ke Prancis. Kenangan yang tak pernah dilupakannya ialah sewaktu timnya gagal maju ke babak kedua di Piala Dunia 1982 Spanyol. Kamerun selalu bermain seri dalam grup yang saat itu terdiri dari Peru, Polandia, dan Italia. Kamerun tersingkir karena kalah dengan Italia dalam selisih gol. "Sayangnya, gol yang saya buat sewaktu melawan Peru dianulir oleh wasit," ujar Milla. Mesir, wakil Afrika lainnya, sekarang ini justru "gemar" bermain seri. Namun, karena yang dihadapi tim kuat -- Belanda (1-1) dan Irlandia (0-0) -- Mesir pun dibicarakan orang. "Bagi Mesir, bermain seri sudah merupakan suatu kemenangan. Apalagi yang kami hadapi tim yang sudah mempunyai nama besar," ujar Mahmoud El Gohary, pelatih kepala tim Mesir. "Hasil ini membuat kepercayaan diri pemain makin kuat untuk melawan Inggris," tambahnya. Persaingan di grup F -- tempat Mesir berada -- makin seru karena keempat tim punya nilai yang sama. Jika lolos ke babak kedua, itulah prestasi besar buat Mesir setelah lebih dari 50 tahun mereka gagal masuk putaran final. Terakhir mereka mengikuti Piala Dunia 1934 di Italia. Setelah itu, prestasinya naik turun. Pernah juara Piala Afrika 1957 dan 1959, serta runner up pada 1962. Setelah itu melorot lagi. Di awal 1980-an didatangkan pelatih asal Inggris, Don Rovie dan Mike Everitt. Mesir pun kembali disegani di Afrika. Pada 1986, di bawah pelatih Mike Smith, kesebelasan Mesir mampu merebut kembali Piala Afrika. Dua tahun kemudian Mike Smith mundur dan digantikan Mahmoud El Gohary, pensiunan kolonel angkatan darat Mesir. Berkat polesan Mahmoud inilah Mesir berhasil berangkat ke Italia. Menurut Mahmoud El Gohary, satu filosofi penting yang dianutnya adalah, "Kami lebih mementingkan tim yang kompak dibandingkan bintang lapangan. Dari tim yang kompak itu akan muncul bintang lapangan." Dengan berprestasinya dua wakil Afrika ini, ada kemungkinan jatah Benua Hitam itu bertambah di Piala Dunia yang akan datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini