"PELUIT lomba telah berbunyi," pekik salah satu tulisannya, pekan lalu. lidak syak lagi, suasana riak di jajaran redaksi telah menulari halaman-halaman Warta Ekonomi sendiri. Kini, angin bulan Juni mengembuskan napas segar pada majalah yang agaknya diilhami oleh mingguan Business Week dari Amerika. Wajahnya memang tak terusik. Garis-garis biru tetap mengesankan ia tidak sembrono. Sedangkan rubrik "Data dan Angka", lengkap dengan grafik dan statistik yang mengukur denyut ekonomi Indonesia, mulai hadir setiap minggu. Baru berusia setahun, majalah yang berusaha mengukur kecenderungan ekonomi Indonesia dan luar negeri telah meninggalkan formatnya yang lama. "Kami beralih menjadi mingguan karena masyarakat semakin lama semakin besar kebutuhannya akan informasi dan berita ekonomi," demikian penjelasan pemimpin redaksinya, Djafar Assegaff. Kebijaksanaan ini, menurut yang empunya cerita, bukanlah muncul mendadak sontak. Menurut Assegaff, sejak awal Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Warta Ekonomi adalah untuk majalah mingguan. "Karena itu, kami tak perlu izin lagi," kata pria yang juga Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu. Bila baru sekarang ambisi itu menjadi kenyataan," karena dulu kami belum kuat. Waktu itu, kami masih dalam tahap penjajakan dan kekurangan tenaga." Maka, perubahan ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi redaksinya. "Tampil empat kali dalam satu bulan jelas meningkatkan citra Warta Ekonomi. Sebagai mingguan, kami tidak akan kehilangan kedalaman atau garapan," tuturnya. "Kami ingin tampil sebagai majalah yang terpandang di bidang bisnis dan ekonomi." Toh tantangan baru tak berarti dana baru. Menurut Assegaff, modal awal sebesar Rp 700 juta -- hasil patungan pengusaha Fadel Muhammad yang dikenal sebagai Direktur Utama dari Bukaka Grup (sekitar 35%), Erlangga Ibrahim dan Amir Siregar (18%), Assegaff dan kawan-kawan (27%), serta para wartawannya (20%) -- sudah cukup. "Peralatan kami tetap sama seperti yang selama ini dipakai," katanya. "Begitu pula biaya produksi kami: tetap Rp 20 juta setiap kali terbit." Tentu tak sebanding dengan penghasilan per bulan yang, konon, bisa mencapai Rp 200 juta. Berdasarkan perhitungan Assegaff, hasil penjualan majalah sudah bisa menutupi ongkos produksinya "Dari oplah rfata-rata 25 ribu sampai 30 ribu dan penghasilan Rp 40 juta per minggu kami bisa mendapatkan Rp 160 juta per bulan," ujarnya. "Kalau toh pendapatan jatuh menjadi Rp 30 juta per minggu, penghasilan kami tetap leblh besar ketimbang ketika masih dwi-mingguan. Dengan menggunakan aritmetika sekolah dasar ini, tak sulit menghitung laba yang diperolehnya dari iklan. Kalau dulu Warta Ekonomi meraup Rp 60 juta per bulan, maka kini penghasilannya tentu dua kali lipat lebih besar. Tak terlalu jelek, mengingat jumlah iklan majalah ini baru mencakup 12 halaman warna dan 7 halaman hitam putih. Sementara itu, iklan panjang seperti suplemen -- yang mereka masukkan dalam rubrik khusus "Wacana" -- baru muncul sesekali saja. Dugaan lainnya juga cukup optimistis. "Belum ada yang menyaingi Warta Ekonomi," ujarnya. "Majalah lain, Swasembada misalnya, leblh bersifat features dengan menampilkan keberhasilan para pedagang. Begitu pula dengan Eksekutif. Majalah berita ekonomi yang murni ekonomi, baru kami." Beberapa pengamat menilai kiat Warta Ekonomi sebagai langkah yang jitu. Menurut pakar komunikasi Dr. Edward Depari, sekarang orang berlomba menerbitkan majalah dan harian ekonomi. "Pengusaha-pengusaha penerbitan media cetak melihat realitas pasar," katanya. "Persaingan akan sengit. Sebab, walaupun permintaannya masih besar, pangsa pasarnya terbatas pada pembeli di kota-kota besar dan dari golongan menengah ke atas." Maka, langkah-langkah yang diambil Warta Ekonomi tampak hati-hati. Keputusan menjadi mingguan diambil setelah, diam-diam, redaksinya melakukan uji coba selama tiga bulan. "Slow but steady, itulah filsafat kami," kata Assegaff. Ia juga menjanjikan pertumbuhan yang seimbang di antara jajaran karyawannya. "Saat ini, ada 40 orang di redaksi dan 60 orang nonredaksi," tambahnya. "Dalam waktu dekat, kekuatan ini akan ditambah 20 dengan tenaga periset dan pracetak." Masalahnya, apakah Warta Ekonomi -- kini 90 halaman dengan kertas yang lebih molek mampu mempertahankan bahkan memperluas pangsa pasarnya. "Majalah mingguan banyak masalahnya," Edward Depari memperingatkan. "Di samping harus siap menghadapi saingan, ia harus mempunyai ciri dan warna tersendiri. Temanya perlu dipersempit agar pembahasannya bisa lebih mendalam. Beritanya diharapkan bukan cuma mudah dicerna, tapi juga bisa memberi nasihat. Dan yang paling penting, majalah tersebut harus dapat menciptakan issue." Lantas apa yang terjadi bila hadir mingguan ekonomi yang baru, siapa tahu? "Kami tidak takut bersaing," jawab Assegaff. "Sebab kalau kami takut, tentunya kami akan menjadi mingguan kira-kira sebulan sebelum majalah itu diterbitkan." Pemimpin redaksi ini lebih khawatir masalah anggaran. "Kami harus mikir duit," katanya. "Fadel mungkin akan menyediakan dana, tapi kami harus tetap rasional." Di saat kaum konglomerat mulai gemar memasuki dunia bisnis media cetak dan televisi, suara Assegaff boleh jadi terdengar sumbang. Sungguh berbeda dengan teriakan puluhan pramuniaga manis yang berkeliling menjajakan majalahnya, "Wartek, Om, mingguan ...." Yudhi Soerjoatmodjo dan Riza Sofiat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini