Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sombrero Untuk Kemenangan Wongso

Wongsosuseno, juara obf, menang angka atas penantangnya gerardo ferrat asal mexico. ferrat mendapat bayaran as$ 6.000, sedang wongsosuseno as$ 2.500. se belum pertandingan ferrat memberi sombrero. (or)

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMBUTNYA gondrong, rapi. Juga cambang dan kumisnya lebat. Wajahnya ganteng, simpatik, dan suka tersenyum. Tubuhnya tak begitu besar, tapi atletis. Ia dengan cepat mengingatkan orang pada wajah seorang bintang film daripada petinju. Dialah: Gerardo Ferrat, 28 tahun, petinju prof asal Mexico yang menduduki urutan ke-9 dalam daftar pentang juara dunia tinju kelas Welter Ringan, gelar mana kini dipegang oleh petinju Muangthai, Sansak Muangsurin. Berlainan dengan kebiasaan petinju prof yang lain, Ferrat pun tak suka sesumbar dalam menghadapi lawan. Ketika ditanya oleh wartawan olahraga Jakarta dalam pertemuan pers di Hotel Sabang, pekan lalu, apakah ia akan menjatuhkan Juara OBF, Wongsosuseno, 29 tahun dengan KO, Ferrat menjawab: "Saya bertanding tidak khusus untuk itu. Pukulan KO itu lebih banyak tergantung dari situasi pertandingan". Sombrero Naik ring di Istora Senayan, Kamis 15 Januari malam lampau Ferrat dalam awal penampilan tak ayal mengundang simpati publik. Memakai jubah tinju hitam ia tak lupa mengenakan sombrero berwarna sama untuk kemudian dihadiahkannya kepada Wongsosuseno. Sebaliknya, ia pun mendapat bingkisan dari manager lawannya, Setyadi Laksono. Tapi, sikap Ferrat yang menawan itu ternyata bukan jaminan dari prestasinya -- 52 kali bertanding, 42 kali manang (31 di antaranya KO), 2 kali seri, dan 8 kali kalah. Sebab lawannya. Wongso -- 28 kali bertanding, 26 kali menang, dan 2 kali kalah (lawan Freddy Ramchie dan Chanakiat) -- cukup ulet, meskipun kalah gesit. Mengumpulkan angka untuk ronde pertama, dalam babak berikutnya Ferrat mengalami kenyataan yang setimpal. Wongso mulai merangsek wajahnya dengan pukulan. Silih berganti memegang kendali pertandingan -- Ferrat untuk ronde 1, 4, 5, dan 9 Wongso dalam ronde 2, 3, 7, dan 10. Dua ronde berakhir seri -- apa yang disuguhkan kedua petinju itu tak ada yang terlalu memukau. Ferrat, 63,8 kg yang semula diharapkan penonton akan menampilkan seni tinju yang apik sesuai dengan prestasinya. Tapi ternyata ketrampilannya tak begitu terpaut jauh dari Wongso. Kelebihannya cuma terletak pada kelincahan kedua kakinya dan cara memasukkan pukulan ke dalam pertahanan lawan yang rapat. Akan Wongso. 62,2 kg masih tetap mengandalkan pukulan tangan kirinya yang ampuh. ertolak dari penilaian permainan yang imbang itu, hakim Rainier Manoch (48-46), dan Kid Darlin (49-47) tak pelak lagi memberikan kelebihan angka buat Wongsosuseno. Sementara Jorghi menilai seri (49-49). "Seharusnya pertandingan tadi berakhir seri", ucap Abdel Rojas, manager Gerardo Ferrat seusai pertarungan. "Itu penilaian saya". Dan penilaian itu memang sesuai dengan pendapat sementara penonton. Tapi sayang, penilaian Rojas dan Jorghi ternyata tak mampu menolong diri Ferrat. Sebab putusan terakhir terletak di tangan juri. Meski kemenangan Wongsosuseno dengan bayaran 2.500 dollar AS atas Gerardo Ferrat (6.000 dollar AS) dalam angka tipis, tapi keberhasilannya itu telah mengangkat wajah tinju prof Indonesia ke tempat terhormat. Sedang untuk dirinya sendiri, jalan buat menantang juara dunia tinju versi World Boxing Council, Muangsurin pun kian licin. "Mungkin pertandingan non-title antara Wongso dan Muangsurin akan diadakan Maret depan", ucap Sekretaris Komisi Tinju Indonesia (IBC). Rainier Manoch. Terlarang Partai lain dari seri pertandingan yang diselenggarakan IBC, yang boleh dikatakan menarik adalah antara Rudy Siregar lawan Alberto Cruz dari Pilipina. Rudy yang dipecundangi oleh Cruz, tahun lalu pada malam yang sama berhasil menuntut balas. Meski penampilan Rudy Siregar yang kini diasuh oleh Nyonya Her Darmadi, tidak lagi serancak permainannya dengan Kid Bellel, 4 tahun lampau tapi ia jelas lebih baik dari pemunculannya pertengahan 1975 silam. Kekurangan yang masih tampak pada dirinya adalah dalam cara melontarkan jab kiri. Pukulannya tetap tak berobah dari dulu: pukulan dengan punggung tangan. Suatu cara terlarang dalam pertandingan. Anehnya, wasit Schneider tidak pernah melakukan teguran mengenai cara yang dilakukan Rudy itu. Lepas dari sukses dan kekurangan-kekurangan petinju prof Indonesia, IBC patut segera untuk mawas diri atas kelemahan tersebut. Sebab hal itu akan merupakan promosi buruk di mata lawan. Paling tidak bagi mereka yang dirugikan, tentunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus