LA BARKA,
Novel Nh. Dini, Penerbit: Dunia Pustaka Jaya, 205
halaman, Jakarta, 1975.
***
RUMAH batu putih di tengah kebun cemara dan zautin itu
disebut La Barka. Letaknya di desa Trans, di pantai Perancis
Selatan. Pada suatu hari musim panas, datanglah ke sana Rina. Ia
membawa anaknya yang masih kecil. Ia wanita Indonesia, asal
Jawa, bersuamikan seorang insinyur Perancis. Ia ingin berlibur
di rumah yang didiami Monique, sahabatnya itu. Perkawinannya tak
berbahagia. Rina sedang dalam persiapan perceraian, sementara
hatinya sudah tertambat oleh laki-laki lain....
Siapa yang telah membaca Pada Sebuah Kapal, novel Dini sebelum
ini, dengan segera akan mengenali sesuatu yang berulang. Rina
dalam La Barka nampak seperti wajah lain dari Sri dalam Sebuah
Kapal. Suaminya yang insinyur Perancis juga wajah lain dari
suami Sri, diplomat Vincent. Seperti namaya Sri, Rina mencerca
suaminya ini. "Dua tahun aku berbahagia. Pada tahun ketiga,
anak yang lahir, yang sebetulnya malahan menjadi pengikat halus
antara suami dan isteri, justru selalu menjadi alasan bagi
suamiku untuk mencetuskan kemarahan dan ketidaksenangan
hatinya". Suaminya tak tahan tangis bayi. Kalimat-kalimatnya
menyakitkan hati. Hubungan badan mereka terbatas dan menyebabkan
Rina hanya merasa jadi alat. "Ataukah itu semua hanya bersifat
alasan yang dibikin-bikin? Dicari-cari untuk menutupi sesuatu
yang sesungguhnya?", tanya Rina melihat sikap suaminya. Tapi
seperti halnya Sri -- Rina nampaknya tak berusaha melihat
kemungkinan cacat di pihaknya sendiri. Ketika kemudian ternyata
bahwa tokoh laki-laki lain yang dicintainya (kali ini wartawan,
bukan pelaut) meninggalkannya, oleh Rina juga tak terfikir,
mungkin ada sesuatu yang kurang pada dirinya -- atau pada
perhubungan mereka. "Aku juga memiliki harga diri yang dengan
perasaan hancur pun masih dapat kupertahankan", katanya,
membantah setiap alasan yang bisa dipakai oleh sang kekasih.
Sulitnya, harga diri biasanya kursnya ditentukan secara sefihak.
Mungkin kesefihakan inilah yang menyebabkan tokoh Rina tak
begitu simpatik. Ia nampaknya menarik garis-batas antara "aku"
dengan "dia" orang lain, siapa saja secara tegas sekali. Dan
wilayah terbesar adalah buat sang "aku".
Tentu saja tak semua tokoh novel harus ditampilkan simpatik oleh
penulisnya. Tapi setidaknya ia harus tidak menjemukan. Rina,
sebaliknya, agak mencapekkan untuk diikuti terus-menerus.
Merangsang
Sebab yang terutama menyebabkan novel ini tak begitu memikat
ialah karena kesefihakan Rina ternyata telah membuat cerita tak
bergerak, luwes dan merangsang. Tokoh-tokoh banyak. Ada
Monique, isteri Daniel. Ada Francine, isteri Rene. Ada Yvone,
yang hidup bersama Guy, lelaki yang disebutnya sebagai "suami".
Ada Christine, janda dari sebuah perceraian. Ada Sophie, wanita
muda yang bebas dengan banyak lelaki. Mereka saling bertemu
atau tinggal dalam La Barka. Mereka punya banyak persamaan:
berputar, terantuk-antuk, pada lembaga perkawinan. Mereka
berteman, bercakap panjang, bercinta atau cemburu-mencemburui.
Tapi baik persamaan situasi, persahabatan, maupun konflik.
ternyata tidak punya tindak-lanjut dalam perkembangan novel ini.
Plot-nya statis. Dini hanya menjadikan perempuan-perempuan itu
satu himpunan, di suatu tempat, di suatu waktu, dengan
potongan-potongan biografi yang terpisah-pisah. Setidaknya
tokohnya Rina, tak berhasil jadi tokoh yang memadukan
perempuan-perempuan itu melalui satu sinthesis dalam posisinya
sebagai pengamat peserta dan pelaku. Tokoh ini terlalu sibuk
dengan dirinya. Rina misalnya menyatakan diri sebagai sahabat
Monique, tapi ia tak terasa punya perasaan yang cukup kepada
temannya itu. Tokoh Monique tak berdiri sendiri, tak memikat.
Direbutnya kekasih Rina oleh Sophie juga cuma disebut menjelang
akhir cerita, dan bagaikan sayup-sayup terdengar dari kejauhan:
tak ada benturan yang melahirkan suatu perkembangan baru bagi
cerita. Bahkan tak ada pemikiran kembali. Tak ada penyesalan.
Rina tampak begitu yakin pada penilaiannya sendiri, hingga novel
berakhir.
Tapi ia tak berhasil meyakinkan kita, sebagaimana banyak orang
yang memiliki kepercayaan tanpa pergulatan. Ia misalnya
menampilkan diri sebagai ibu yang baik, namun tak terasa ada
pertanyaan dalam dirinya tentang kehilangan apa bagi anaknya
bila si ibu bercerai dari si bapak. Anak itu bahkan terasa hadir
baginya bukan sebagai pribadi yang berdiri sendiri. Rina bukan
saja tak pernah menyebut nama si anak sepanjang cerita ini,
(melainkan selalu dengan "anakku"), tapi anak itu juga seolah
bagaikan sekedar bayang-bayang ibunya. Padahal, sekecil apapun
bocah cinta yang tulen akan membikinnya "hadir" tersendiri.
Tapi itulah kesefihakan Rina. Sebagaimana ia mengecam suaminya,
kecuali dalam hal menepati janji mengirim uang. Sebagaimana ia
menyenangi La Barka, namun bisa menyesali Monique -- si empunya
rumah -- yang gemar memasak, karena Rina ikut menanggung
ongkos dapur.
Otomat
Yang agak meyakinkan mungkin cuma pendirian Rina ini: "Dari
pengalaman kutahu, perkawinan bagiku tidak lagi merupakan tanda
percintaan yang disatukan". Setelah perceraian, "aku akan hidup
bersama dengan seorang laki-laki tetapi tidak untuk kawin lagi".
Kalimat-kalimat itu agak meyakinkan, sebab itulah bagian riwayat
Rina. Dan begitulah ia melihat krisis perkawinan di antara
kenalan-kenalannya. Cuma khas tokoh ini pula untuk tidak
bertanya: adakah lembaga perkawinan itulah yang tak tepat, bila
sepasang laki-wanita kemudian hidup bagai "dua otomat yang
tanpa berpikir maupun berkehendak"? Hidup bersama di luar
perkawinan pun bisa begitu akhirnya. Mungkin waktu yang salah.
Mungkin pula kesatu-fihakan manusia juga yang salah, hingga ia
cuma mau menerima, tak memberi. Seperti Rina.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini