ORANG Inggeris sebelum PD ke-I gemar bagi-bagi bola dunia
menurut seleranya. Timur Dekat itu terdiri dari
Turki-Suriah-Libanon-Yunani-Bulgaria. Timur Tengah itu terdiri
dari Arabia-Irak-Iran-dan Afghanistan. Kacau, bukan? Tapi itu
belum seberapa. Orang AS malahan tak tahu berbuat apa. Artikel
Roderic H. Davidson yang dimuat di majalah Foreign Affairs
Juli 1960 berjudul Where is the Middle East?. Artikel G. Etsel
Pearcy yang dimuat di buletin Deparlu AS tahun 1959 berjudul
The Middle East, An Indefilable Region tak berketentuan
batas-batasnya.
Tapi, panitia seminar internasional tentang "Hubungan
Indonesia-Timur Tengah" yang berlangsung di Jakarta dari 12 - 16
Januari 1976 tidak bermaksud mempersoalkan letak geografis. Ini
soal tetek-bengek. Yang dipersoalkan adalah bagaimana bisa
berdagang, bagaimana bisa petrodolar yang begitu banyak digeser
ke mari, tanam di sini. Begitulah kalau mau bicara ringkas, dan
penuh pamrih.
Apa maksud ini tidak terlampau berbau bisnis? Sama sekali tidak.
Berbisnis-bisnis zaman sekarang ini bukanlah aib, melainkan
jempol adanya. Tak lain dari Menlu Adam Malik sendiri di bulan
September 1974 berkata kepada wartawan Fikri dari TEMPO:
Tarohlah Pelita ke-2 butuh 5 milyar. Tarohlah dari minyak $ 2
milyar. Dari mana sisanya? Dari IGGI $ 1 milyar, dari
negeri-negeri Sosialis $ 1 milyar, Timteng $ 1 milyar. Jelas,
bukan? Itu sebabnya ada seminar. Apabila antara 26 - 28 Maret
1973 ada seminar Indonesia -- Jepang, mengapa pula tidak
Indonesia - Timteng? Rejeki ada di delapan penjuru angin.
Terlampau besarkah harapan 1 milyar itu? Tidak, ujar
koordinator seminar drs. H.M. Sonhaji. Memang betullah ujar itu
kalau diingat-ingat betapa Kuwait Investment Board merupakan
investor tunggal terbesar di pasar bursa London. Betapa
penghasilan Abu Dzabi dari minyak $ 3204 juta di tahun 1975 dan
meninggi jadi $ 9500 juta di tahun 1976. Padahal penduduknya
cuma 500 ribu, separo dari penduduk Jakarta Selatan. Betapa ada
bank swasta di sana yang sanggup beri pinjaman $ 300 juta asal
saja pemerintahnya mau menjamin. Apalah artinya $ 1 milyar itu?
Iran saja sudah sedia $ 200 juta, ditambah Saudi Arabia $ 100
juta, ditambah Abu Dzabi $ 200 juta buat bangun proyek. Pendek
kata. semuanya itu perkara gampang asal saja ada pinjam istilah
Moh. Nasir selaku pembicara seminar -- political will dari kedua
belah pihak.
Tunggu sebentar. Jangan sekali-kali dikira, seminar itu melulu
bicara petrodolar. Sungguh mati tidak! Apalagi yang hadir
bukanlah semata-mata cukong. Ada Dr. Riadh Aziz Hady dari
Fakultas Hukum dan Politik Universitas Baghdad. Tidak ada
bau-baunya, bukan? Ada Prof. Dr. Fahir H. Armaoglu dari
Fakultas Ilmu Politik Universitas Ankara. Bukankah lazimnya
propesor itu tidak kenal duit? Saudi Arabia tidak kirim menteri
minyak Zaki Yamani, melainkan seorang Ulama berjubah putih
bersih. Padahal, menteri yang masyhur itu keturunan Makasar,
kakeknya bahkan masih hidup di sana. Dari Indonesia juga begitu.
Bertumpuk-tumpuk kertas kerja yang tidak sepatah katapun
menyebut kata "dolar". Bukankah hubungan yang sudah terbuhul
selama ini semata-mata karena Agama, bukan pabrik ataupun bank.
Kalau memang ada, tentu lebih afdol.
Resminya seminar ini seminar swasta, namun Pemerintah Indonesia
berdiri persis di belakang punggungnya. Kalau biasanya swasta
yang berpartisipasi dengan Pemerintah, kali Pemerintah yang
berpartisipasi dengan swasta. Apakah gerangan yang layak
dihasilkan seminar? Dolar yang berkoper-koper? Walau perlu, tapi
tidak usah tergesa-gesa begitu. Kita ini orang Timur yang halus
lagi perasa.
Baiknya dibentuk Islamic Centre. Ditilik dari namanya saja sudah
jelas. Biliknya dibentuk Lembaga Penyelidikan Indonesia-Timur
Tengah, supaya segala sesuatu jangan main duga dan kira-kira.
Baiknya ada, tanpa mengecilkan arti penting kedubes kita, Badan
Penerangan Indonesia-Timur Tengah. Sebab, salah faham dan salah
simpul masih ada. Yang orang sana pikir kita ini makan ular,
padahal yang kita gigit adalah belut. Yang orang sini pikir
mereka itu bisanya cuma menepuk pantat kuda, padahal mereka
mampu menginjak batang leher para bankir Eropa Barat. Dan
baiknya, seperti usul peserta seminar drs. Amir Rajab Batubara,
dibikin semacam biro penampungan tenaga. Bukankah Timur Tengah
butuh tenaga ahli dan setengah ahli? Dari pada mereka itu
termenung-menung tak tahu berbuat apa di sini, sampai tengkuk
rasanya kaku, sampai tua, mengapa tidak kita dorong ke sana?
Tanggung antri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini