Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ahlan wa sahlan, ya timur tengah

Seminar intenasional tentang hubungan indonesia-tim-teng, diadakan di jakarta dari tgl 12-16 jan'76 dalam seminar tidak dibahas mengenai dolar. sebaiknya dibentuk lembaga penyelidikan indonesia-tim-teng.

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Inggeris sebelum PD ke-I gemar bagi-bagi bola dunia menurut seleranya. Timur Dekat itu terdiri dari Turki-Suriah-Libanon-Yunani-Bulgaria. Timur Tengah itu terdiri dari Arabia-Irak-Iran-dan Afghanistan. Kacau, bukan? Tapi itu belum seberapa. Orang AS malahan tak tahu berbuat apa. Artikel Roderic H. Davidson yang dimuat di majalah Foreign Affairs Juli 1960 berjudul Where is the Middle East?. Artikel G. Etsel Pearcy yang dimuat di buletin Deparlu AS tahun 1959 berjudul The Middle East, An Indefilable Region tak berketentuan batas-batasnya. Tapi, panitia seminar internasional tentang "Hubungan Indonesia-Timur Tengah" yang berlangsung di Jakarta dari 12 - 16 Januari 1976 tidak bermaksud mempersoalkan letak geografis. Ini soal tetek-bengek. Yang dipersoalkan adalah bagaimana bisa berdagang, bagaimana bisa petrodolar yang begitu banyak digeser ke mari, tanam di sini. Begitulah kalau mau bicara ringkas, dan penuh pamrih. Apa maksud ini tidak terlampau berbau bisnis? Sama sekali tidak. Berbisnis-bisnis zaman sekarang ini bukanlah aib, melainkan jempol adanya. Tak lain dari Menlu Adam Malik sendiri di bulan September 1974 berkata kepada wartawan Fikri dari TEMPO: Tarohlah Pelita ke-2 butuh 5 milyar. Tarohlah dari minyak $ 2 milyar. Dari mana sisanya? Dari IGGI $ 1 milyar, dari negeri-negeri Sosialis $ 1 milyar, Timteng $ 1 milyar. Jelas, bukan? Itu sebabnya ada seminar. Apabila antara 26 - 28 Maret 1973 ada seminar Indonesia -- Jepang, mengapa pula tidak Indonesia - Timteng? Rejeki ada di delapan penjuru angin. Terlampau besarkah harapan 1 milyar itu? Tidak, ujar koordinator seminar drs. H.M. Sonhaji. Memang betullah ujar itu kalau diingat-ingat betapa Kuwait Investment Board merupakan investor tunggal terbesar di pasar bursa London. Betapa penghasilan Abu Dzabi dari minyak $ 3204 juta di tahun 1975 dan meninggi jadi $ 9500 juta di tahun 1976. Padahal penduduknya cuma 500 ribu, separo dari penduduk Jakarta Selatan. Betapa ada bank swasta di sana yang sanggup beri pinjaman $ 300 juta asal saja pemerintahnya mau menjamin. Apalah artinya $ 1 milyar itu? Iran saja sudah sedia $ 200 juta, ditambah Saudi Arabia $ 100 juta, ditambah Abu Dzabi $ 200 juta buat bangun proyek. Pendek kata. semuanya itu perkara gampang asal saja ada pinjam istilah Moh. Nasir selaku pembicara seminar -- political will dari kedua belah pihak. Tunggu sebentar. Jangan sekali-kali dikira, seminar itu melulu bicara petrodolar. Sungguh mati tidak! Apalagi yang hadir bukanlah semata-mata cukong. Ada Dr. Riadh Aziz Hady dari Fakultas Hukum dan Politik Universitas Baghdad. Tidak ada bau-baunya, bukan? Ada Prof. Dr. Fahir H. Armaoglu dari Fakultas Ilmu Politik Universitas Ankara. Bukankah lazimnya propesor itu tidak kenal duit? Saudi Arabia tidak kirim menteri minyak Zaki Yamani, melainkan seorang Ulama berjubah putih bersih. Padahal, menteri yang masyhur itu keturunan Makasar, kakeknya bahkan masih hidup di sana. Dari Indonesia juga begitu. Bertumpuk-tumpuk kertas kerja yang tidak sepatah katapun menyebut kata "dolar". Bukankah hubungan yang sudah terbuhul selama ini semata-mata karena Agama, bukan pabrik ataupun bank. Kalau memang ada, tentu lebih afdol. Resminya seminar ini seminar swasta, namun Pemerintah Indonesia berdiri persis di belakang punggungnya. Kalau biasanya swasta yang berpartisipasi dengan Pemerintah, kali Pemerintah yang berpartisipasi dengan swasta. Apakah gerangan yang layak dihasilkan seminar? Dolar yang berkoper-koper? Walau perlu, tapi tidak usah tergesa-gesa begitu. Kita ini orang Timur yang halus lagi perasa. Baiknya dibentuk Islamic Centre. Ditilik dari namanya saja sudah jelas. Biliknya dibentuk Lembaga Penyelidikan Indonesia-Timur Tengah, supaya segala sesuatu jangan main duga dan kira-kira. Baiknya ada, tanpa mengecilkan arti penting kedubes kita, Badan Penerangan Indonesia-Timur Tengah. Sebab, salah faham dan salah simpul masih ada. Yang orang sana pikir kita ini makan ular, padahal yang kita gigit adalah belut. Yang orang sini pikir mereka itu bisanya cuma menepuk pantat kuda, padahal mereka mampu menginjak batang leher para bankir Eropa Barat. Dan baiknya, seperti usul peserta seminar drs. Amir Rajab Batubara, dibikin semacam biro penampungan tenaga. Bukankah Timur Tengah butuh tenaga ahli dan setengah ahli? Dari pada mereka itu termenung-menung tak tahu berbuat apa di sini, sampai tengkuk rasanya kaku, sampai tua, mengapa tidak kita dorong ke sana? Tanggung antri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus