SYAMSUL Anwar berharap menjuarai turnamen Sarung Tinju Emas
(STE) kelima kalinya. Ia ternyata rubuh pekan lalu di wisma
atlet, bukan di ring. Sehari sebelum final ia terserang diarhee
- buang air besar dan muntah sebanyak 15 kali. "Heran saya kok
muntah pepaya. Padahal saya tak memakannya," ujarnya.
Guna-guna? Syamsul menduga begitu. Ketika ia dan pelatih Frans
von Bronchkorst main bilyar seorang penggemarnya menyuguhkan teh
pada mereka. Tawaran itu tak ditampiknya. Tak lama kemudian
perutnya terasa melilit. Lalu muntah-muntah. Dokter menyuruh
Syamsul diopname di rumah sakit. Tapi ia menolak. Saya kecewa
sekali tak bisa naik ring," lanjut Syamsul.
Sekitar 5.000 penonton yang memadati gedung olahraga Saburai,
Tanjungkarang pada malam final STE, 9 Mei, tampak juga kecewa.
Spesialis KO lainnya, Adi Suwandana dari Sasana Garuda Agung,
Bali, naik ring tanpa lawan. "Hooo," ejek penonton sewaktu
panitia mengumumkan pembatalan pertandingan partai kelas welter
ringan itu. Syamsul yang malam itu seharusnya berada di ring
tampak duduk bersama penonton lainnya, dan tak membuka mulut.
Suwandana juga kesal. "Menang WO (walk-over) itu paling malu,"
katanya. "Mau senyum pun tak bisa " Syamsul pun malu rupanya,
hingga tak muncul dalam upacara pemberian medali. Ia diwakili
oleh rekannya dari Sasana Benteng AMI/ASMI Jakarta.
Dari 11 partai yang dipertandingkan hanya sembilan partai yang
berlangsung. Di kelas menengah dan berat ternyata tak ada
peserta yang memenuhi syarat sama sekali. Mengapa? "Kami ingin
mengembalikan kemurnian STE sebagai arena prestasi," kata Sekjen
Yertina Tranggono SH.
Untuk dapat mengikuti STE seorang petinju harus pernah mendapat
medali di arena kejuaraan nasional, PON, STE, atau turnamen di
luar negeri. Itulah sebabnya dari 103 petinju yang datang ke
Tanjungkarang hanya 47 yang lolos kualifikasi. "Sedang itu pun,
yang saya lihat fit cuma Frans Batuwael dan Winarto," komentar
bekas juara STE (1978 dan 1979) Ferry Moaniaga.
Pelatih nasional Benny Tandiono mengakui bahwa petinju STE yang
turun kali ini masih lamban. "Soalnya penampilan puncak mereka
diarahkan untuk PON dan SEA Games," katanya. PON X akan
berlangsung September di Jakarta, sedang SEA Games di Manila
dalam Desember.
Bagi petinju yang tak lolos kualifikasi Ketua Penyelenggara STE
VI Dhamita Harry menyediakan partai ekstra. Tapi cuma diikuti
oleh 26 petinju. Sisanya jadi penonton tok. "Saya tahu keputusan
ini mengecewakan banyak petinju," kata Dhamita.
Citra STE, menurut Tranggono, jadi "rusak" sejak turnamennya di
Jayapura (1979) dan Medan (1980). Pada kedua penyelenggaraan ini
STE memang berubah menjadi gelanggang tinju "pasar malam" --
tanpa pembatasan peserta.
Padahal STE bukan arena pembibitan, tapi prestasi. Di STE
seorang petinju bertanding empat ronde. Sedang dalam kejuaraan
biasa tiga ronde saja.
STE VI baru hanya berhasil mengembalikan citra di kalangan atlet
peserta. Belum sampai ke kalangan wasit dan hakim tinju. Wasit
Pieter Gedoan, misalnya, dikritik karena dinilai cenderung
menguntungkan petinju tuan rumah Winarto ketika melawan finalis
Rahman Boga dari Sasana Rencong Aceh. "Saya kecewa terhadap
pimpinan perlombaan," kata manajer tim Maluku Yan Nanuleta. Ia
menjagoi Rahman sebagai pemenang.
Dari STE VI terpilih Petinju Terbaik Charles Yerisetouw dari
Irian Jaya. Petinju Harapan Frans Batuwael dari Jawa Barat, dan
Petinju Favorit Winarto. STE VII (1982) ditetapkan
diselenggarakan di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini