TOPIK penelitiannya begitu menarik dan penting: Sayang Anak. Di
kuping mereka yang belum mendalami permasalahannya, mungkin
kedengarannya sebagai topik aneh atau topik yang dicari-cari
saja. Malah ada yang menganggapnya lucu sebab berasosiasi dengan
alunan suara seorang penjual kitab suci. Konon, ada penjual
kitab suci di Medan yang dengan irama khas berulang-ulang
berucap "sayang anaaak, sayang anaaak" guna menarik perhatian
orang terhadap bacaan yang begitu berharga membina iman anak
tersayang.
-- Apakah manfaatnya diteliti soal sayang anak? Bukankah itu
universal? Bukankah berakar pada naluri, seperti yang juga
terdapat pada binatang?
Mendengar ucapan demikian, sang peneliti serta merta menangkis
secara meyakinkan.
--Itu tidak benar. Terkadang manusia perlu bercermin pada
binatang. Manusia berhasil menjinakkan spesiesnya tapi ada
kalanya kalah luhur dibanding binatang. Manusia dibebani
pilihan-pilihan dan yang dikatakan modernisasi belum tentu
mengantarkan mereka kepada pilihan yang lebih bijaksana.
Misalnya, susu ibu yang didesak susu kaleng. Yang lebih keji
lagi, kebudayaan manusia mengenal cara menelantarkan bayi dan
malah membunuh bayi. Tapi itu soal lain. Kami ingin meneliti
faktor-faktor sosial, ekonomis dan psikologis mengapa orang
sayang atau tidak sayang pada anak.
Di dalam daftar pertanyaan yang mengesankan setebal 19 halaman
kuarto itu dengan lihai digali persoalan seputar anak.
Mengapa ibu sayang kepada anak. Jelaskan . . . Umur berapakah
anak itu paling disayangi . . . Dalam bentuk apa dia disayangi.
Jelaskan . . . Pada umur berapa anak memberi kebahagiaan
terbesar bagi orang tua . . . Kalau cuma mempunyai satu anak
apakah diinginkan laki-laki atau perempuan. Jelaskan alasannya .
. .
Jauh di lubuk hatinya dia bangga terhadap dirinya sendiri, dan
sebabnya mudah dipahami. Pertama, dana penelitiannya dari luar
negeri dan itu sungguh-sungguh menaikkan gengsi. Artinya, laku
di luar negeri. Kedua, sudah beberapa kali konsultan luar negeri
nongol di ruang kerjanya (bersama kawan-kawan) di fakultas dan
gengsi ditempeli konsultan tidak ternilai harganya.
Tetangga-tetangga juga sudah memaklumi dengan rasa kagum bahwa
dia punya tamu dari luar negeri. Ketiga, atasan dan
rekan-rekannya sesama dosen tidak menimb ulkan persoalan
apa-apa, masing-masing menuruti aturan permainan sebagai
penasihat dan anggota Proyek Penelitian Sayang Anak. Pembagian
rezeki, seperti biasanya, tidak menimbulkan masalah.
Semuanya mulus. Gangguan kecil mudah diatasi, misalnya seorang
pamong di kota minta uang kopi yang cukup tinggi ketika
daerahnya diteliti. Pamong yang berpengalaman itu berpegang
teguh kepada asas pemerataan dan itu bisa dipecahkan secara
ketimuran.
Semua pekerjaan menganalisa data berjalan sesuai jadwal berkat
kelincahan konsultan. Nyata benar bedanya. Ketika sang peneliti
menerima tabulasi hasil komputer setebal delapan senti, air
matanya hampir keluar karena luapan perasaan bangga. Gengsinya
naik lagi sebagai orang pertama yang memiliki benda ajaib
berlubanglubang itu - tabel-tabel hasil komputer.
Nah, tabel sudah ratusan, tinggal menulis laporan dalam bahasa
Indonesia. Lalu dirangkaikannya tabel-tabel, 137 banyaknya.
(Pada tahap lanjut ini terpaksa dia kerjakan sendiri karena
rekan-rekan hanya mampu menggotong-royongkan sampai pengumpulan
data saja). Seperti biasanya, tabel-tabel-tabel itu disuruhnya
bicara. Dia tinggal menambahkan kalimat: "Menurut tabel di atas
ternyata . . . Menurut tabel di bawah jelaslah bahwa . . .
Tabel berikut ini menunjukkan...."
Dalam pertemuan kali ini, astagafirullah, suasana menjadi lain
sama sekali. Sang konsultan nampaknya terkejut dan sukar
menyembunyikan perasaannya. Mungkin karena semuanya harus
diselesaikan sesuai jadwal.
-- Bukan tabel yang bercerita. Seharusnya saudara yang bercerita
lalu disisipkan tabel ke dalam cerita saudara. Begitu caranya
menulis laporan ilmiah yang baik. Dan harus ada tema. Bukan
tumpukan tabel dan keterangan.
Sang peneliti berkeringat dingin. Sudah dua kali karangan itu
dibongkar, dan sekarang si konsultan asing malah berani
menyalahkan bahasa Indonesianya.
Pada kelompok luas tanah antara 0,25 - 0,5 ha, menunjukkan
tingkat kesayangan yang tinggi kepada anak seperti orang Timur
pada umumnya yang jelas mempunyai perasaan halus . . . Lamanya
kebiasaan menyusui yang tradisional daripada wanita-wanita di
Jawa terhadap anak-anaknya antara satu sampai dua tahun. Di mana
rata-rata untuk Jawa Barat memang lebih pendek daripada di Jawa
Tengah . . . Bagi responden yang tidak mempunyai pekerjaan
tetap, umumnya berbeda hubungannya dengan anak . . .
Dia mendongkol sekali. Karena nila setitik, pikirnya. Cuma soal
bahasa. Bukankah telah begitu banyak dia mengikuti latihan,
kursus, seminar, lokakarya, temukarya dan sarasehan? Tidak
terkecuali kursus bahasa Inggris, kursus komputer, lokakarya
manajemen, lokakarya ledakan penduduk, lokakarya komunikasi,
lokakarya sayang anak, lokakarya multi-variate, seminar
perencanaan regional, seminar administrasi pembangunan dan
temukarya pembangunan perkotaan.
Yang belum cuma lokakarya mengarang bahasa Indonesia, tapi siapa
yang mau melokakaryakannya? Siapa sih yang mempedulikan cara
menulis di negeri ini? Ini pun hanya karena orang asing itu
saja, keluhnya dalam hati. Dan sekarang Proyek Penelitian Sayang
Anak menjadi berantakan. Huh, cuma soal penulisan.
Sang konsultan menyarankan diupah seorang editor untuk
memecahkan masalah penulisan itu. Tapi di mana dicari editor? Di
kota ini dengan mudah bisa dicari guru bahasa Inggris, bahasa
Belanda, bahasa Prancis, bahasa Esperanto penerjemah
profesional, guru bimbingan test, tapi ke mana cari editor?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini