Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Fatwa dan kebocoran (konon)

Fatwa majelis ulama indonesia, tentang natal bagi muslimin (yang mengharamkan mengikuti upacara natal bagi umat islam), dicabut kembali, sebetulnya fatwa tersebut hanya disiarkan untuk kalangan intern. (ag)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang sedikit kabur sekitar fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam. Fatwa itu, disiarkan sementara pers minggu lalu, berasal dari buletin Majlis Ulama edisi April dan ditandatangani KHM Syukri Ghozali dan Drs. H. Mas'udi, sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Yang menarik: hanya satu hari setelah penyiaran itu, dimuat pula 'surat pencabutannya -- kali ini dari pimpinan pucuk, yakni Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko sebagai ketua umum dan sekretaris umum MUI. Dalam surat keputusan itu praktis difatwakan pula soal yang sama tapi dengan tekanan berbeda. "Pada dasarnya," disebut sebagai diktum kedua dari empat diktum, " menghadiri perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan . . . " Yang juga menarik: bunyi "fatwa" terakhir itu sejalan benar dengan isi pidato Menteri Agama Alamsyah sebelumnya -- dalam acara 'Kegiatan Bersama Antar Umat Beragama' di Jambi, 6 Maret. Tapi yang barangkali paling menarik Prof. Hamka kemudian, secara pribadi, menulis di salah satu harian yang memuat berita fatwa itu, Kompas. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI tersebut "tidaklah mempengaruhi sedikit juga kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh." Apa maksudnya sebenarnya? Apa yang terjadi? Betulkah yang terjadi sekedar kurangnya koordinasi? Ataukah surat pencabutan itu, sebelumnya, dikeluarkan karena ada "tekanan "? Tak ada satu sumber pun yang bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara tuntas. Tapi ada penjelasan tentang sebuah "kebocoran". Semua tokoh MUI menyatakan, fatwa itu sebenarnya hanya untuk "kalangan dalam": para pengurus MU di daerah-daerah. Dan memang dikirimkan kepada mereka dengan surat nomor sekian-sekian tertanggal 27 Maret --jadi sudah lama -- untuk menjadi pedoman para ulama itu. Tapi mengapa dimuat di buletin, yang bisa dibaca tidak hanya oleh para pengurus MU, kalau begitu? "Itu untuk informasi intern saja," jawab KH Hasan Basri, salah seorang ketua MUI. Agak aneh barangkali -- namun buletin itu memang dicetak hanya sekitar 300 eksemplar. Menurut Kiai Syukri, fatwa Komisi itu sebetulnya dulu dibuat (7 Maret) untuk "bahan menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam." Jadi seharusnya memang "tidak perlu bocor keluar." Tapi bagi Burhani Tjokrohandoko, yang juga Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji departemen tersebut, "kebocoran" itu sebenarnya dipandang dari segi belum disahkannya fatwa itu oleh Sidang Pleno. Baru oleh Dewan Pengurus Harian. Menurut Kiai Syukri, yang hadir dari Pengurus Harian itu tak kurang dari 0% -- lebih dari 50 orang. Burhani sendiri berhalangan datang waktu itu, tapi Hamka hadir. Hanya ketua umum itu memang belum membubuhkan tanda tangan. Toh keputusan itu sudah sah rupanya (berdasar wewenang Komisi Fatwa) untuk dibawa ke Menteri Agama. Sebab, kata para pimpinan MUI, keputusan tersebut memang dibikin atas desakan umat -- antara lain yang menulis berbagai surat ke Departemen Agama, menanyakan masalah perayaan Natal yang diselenggarakan orang-orang Islam. Lalu ada surat dari Departemen Agama, meminta agar dikeluarkan fatwa tentang itu. Bahkan menurut Hamka, pernah ada pembicaraan antara Buya dan Menteri Agama sehubungan dengan hal tersebut. Kiai Syukri menuturkan, bahwa di Kantor MUI (sebelum pindah -- dari Masjid Al Azhar ke Masjid Istiqlal, 11 Mei kemarin) terdapat sekitar 30 surat yang meminta MUI mengeluarkan pedoman. Tetap Ditakutkan Itu memang bisa mengingatkan pada kasus seperti perayaan Natal untuk gelandangan, yang pernah diprakarsai Pendeta Lumy di Senayan dulu. Atau, seperti disebut dalam pertimbangan fatwa sendiri, kasus-kasus "kekurang mengertian" umat Islam sendiri di daerah-daerah. Pokoknya segala hal yang menyangkut soal 'kristenisasi', yang rupanya tetap ditakutkan. Hanya saja, fatwa MUI kali ini ditanggapi sebagai sesuatu yang kaku dan merepotkan. Bayangkan: para pejabat yang Islam, misalnya, dengan fatwa tersebut bisa tak dibenarkan datang ke perayaan Natal. luga ketua RT, misalnya. "Maklum, yang bikin memang para ulama yang dalam soal hukum letterlijk saja," kata Kiai Hasan Basri membenarkan kekakuan itu. Dan itulah sebabnya surat pencabutan itu bermanfaat, katanya. Fungsinya, dalam soal fatwanya sendiri, "menerangkan yang mujmal, " yang masih umum. Yakni: apa yang dimaksud "mengikuti upacara Natal" dalam fatwa tadi. O, ternyata: mengikuti peribadatan. Bukan sekedar hadir. Jadi tak ada yang bertentangan, tak ada yang dicabut, kata Hamka, sambil tertawa. Apa pun yang sesungguhnya terjadi, Departemen. Agama memang akan mengadakan pertemuan dengan Badan Musyawarah Antar Umat Beragama di Jakarta 25 Mei. Pembicaraannya yang terpenting memang soal "perayaan apa saja yang dapat dihadiri pemeluk agama lain," seperti dituturkan Menteri Alamsyah kepada pers.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus