ADA yang sedikit kabur sekitar fatwa Majlis Ulama Indonesia
(MUI) yang mengharamkan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam.
Fatwa itu, disiarkan sementara pers minggu lalu, berasal dari
buletin Majlis Ulama edisi April dan ditandatangani KHM Syukri
Ghozali dan Drs. H. Mas'udi, sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi
Fatwa MUI.
Yang menarik: hanya satu hari setelah penyiaran itu, dimuat pula
'surat pencabutannya -- kali ini dari pimpinan pucuk, yakni
Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko sebagai ketua umum
dan sekretaris umum MUI. Dalam surat keputusan itu praktis
difatwakan pula soal yang sama tapi dengan tekanan berbeda.
"Pada dasarnya," disebut sebagai diktum kedua dari empat diktum,
" menghadiri perayaan antaragama adalah wajar, terkecuali yang
bersifat peribadatan . . . "
Yang juga menarik: bunyi "fatwa" terakhir itu sejalan benar
dengan isi pidato Menteri Agama Alamsyah sebelumnya -- dalam
acara 'Kegiatan Bersama Antar Umat Beragama' di Jambi, 6 Maret.
Tapi yang barangkali paling menarik Prof. Hamka kemudian, secara
pribadi, menulis di salah satu harian yang memuat berita fatwa
itu, Kompas. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI
tersebut "tidaklah mempengaruhi sedikit juga kesahan
(nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan
menyeluruh."
Apa maksudnya sebenarnya? Apa yang terjadi?
Betulkah yang terjadi sekedar kurangnya koordinasi? Ataukah
surat pencabutan itu, sebelumnya, dikeluarkan karena ada
"tekanan "?
Tak ada satu sumber pun yang bersedia menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas secara tuntas.
Tapi ada penjelasan tentang sebuah "kebocoran". Semua tokoh MUI
menyatakan, fatwa itu sebenarnya hanya untuk "kalangan dalam":
para pengurus MU di daerah-daerah. Dan memang dikirimkan kepada
mereka dengan surat nomor sekian-sekian tertanggal 27 Maret
--jadi sudah lama -- untuk menjadi pedoman para ulama itu. Tapi
mengapa dimuat di buletin, yang bisa dibaca tidak hanya oleh
para pengurus MU, kalau begitu?
"Itu untuk informasi intern saja," jawab KH Hasan Basri, salah
seorang ketua MUI. Agak aneh barangkali -- namun buletin itu
memang dicetak hanya sekitar 300 eksemplar.
Menurut Kiai Syukri, fatwa Komisi itu sebetulnya dulu dibuat (7
Maret) untuk "bahan menentukan langkah bagi Departemen Agama
dalam hal umat Islam." Jadi seharusnya memang "tidak perlu bocor
keluar." Tapi bagi Burhani Tjokrohandoko, yang juga Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji departemen tersebut, "kebocoran" itu
sebenarnya dipandang dari segi belum disahkannya fatwa itu oleh
Sidang Pleno. Baru oleh Dewan Pengurus Harian.
Menurut Kiai Syukri, yang hadir dari Pengurus Harian itu tak
kurang dari 0% -- lebih dari 50 orang. Burhani sendiri
berhalangan datang waktu itu, tapi Hamka hadir. Hanya ketua umum
itu memang belum membubuhkan tanda tangan. Toh keputusan itu
sudah sah rupanya (berdasar wewenang Komisi Fatwa) untuk dibawa
ke Menteri Agama.
Sebab, kata para pimpinan MUI, keputusan tersebut memang dibikin
atas desakan umat -- antara lain yang menulis berbagai surat ke
Departemen Agama, menanyakan masalah perayaan Natal yang
diselenggarakan orang-orang Islam. Lalu ada surat dari
Departemen Agama, meminta agar dikeluarkan fatwa tentang itu.
Bahkan menurut Hamka, pernah ada pembicaraan antara Buya dan
Menteri Agama sehubungan dengan hal tersebut. Kiai Syukri
menuturkan, bahwa di Kantor MUI (sebelum pindah -- dari Masjid
Al Azhar ke Masjid Istiqlal, 11 Mei kemarin) terdapat sekitar 30
surat yang meminta MUI mengeluarkan pedoman.
Tetap Ditakutkan
Itu memang bisa mengingatkan pada kasus seperti perayaan Natal
untuk gelandangan, yang pernah diprakarsai Pendeta Lumy di
Senayan dulu. Atau, seperti disebut dalam pertimbangan fatwa
sendiri, kasus-kasus "kekurang mengertian" umat Islam sendiri di
daerah-daerah. Pokoknya segala hal yang menyangkut soal
'kristenisasi', yang rupanya tetap ditakutkan.
Hanya saja, fatwa MUI kali ini ditanggapi sebagai sesuatu yang
kaku dan merepotkan.
Bayangkan: para pejabat yang Islam, misalnya, dengan fatwa
tersebut bisa tak dibenarkan datang ke perayaan Natal. luga
ketua RT, misalnya. "Maklum, yang bikin memang para ulama yang
dalam soal hukum letterlijk saja," kata Kiai Hasan Basri
membenarkan kekakuan itu. Dan itulah sebabnya surat pencabutan
itu bermanfaat, katanya.
Fungsinya, dalam soal fatwanya sendiri, "menerangkan yang
mujmal, " yang masih umum. Yakni: apa yang dimaksud "mengikuti
upacara Natal" dalam fatwa tadi. O, ternyata: mengikuti
peribadatan. Bukan sekedar hadir. Jadi tak ada yang
bertentangan, tak ada yang dicabut, kata Hamka, sambil tertawa.
Apa pun yang sesungguhnya terjadi, Departemen. Agama memang akan
mengadakan pertemuan dengan Badan Musyawarah Antar Umat
Beragama di Jakarta 25 Mei. Pembicaraannya yang terpenting
memang soal "perayaan apa saja yang dapat dihadiri pemeluk agama
lain," seperti dituturkan Menteri Alamsyah kepada pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini