UNTUK kelima kalinya Tim Antisuap (TAS) yang baru berumur dua minggu itu bersidang lagi di markas besar PSSl, Senayan, hari Senin pekan ini. Tetapi ini adalah sidangnya yang paling singkat. Hanya 30 menit. Sedianya hari itu Tim akan mengkonfrontir keterangan dua orang pemain Makassar Utama (yang mengaku mau disuap) dengan seorang penyuap. Tapi orang yang dinanti-nanti ternyata tak muncul juga. Sepucuk surat yang sampai ke meja sidang Tim menyebutkan orang yang paling dibutuhkan itu, Sun Kie alias Jimmy Sukisman, sakit. Dia tak bisa datang. Padahal, hari itu Jimmy diharapkan membubuhkan tanda tangannya pada berkas-berkas laporan yang sudah disusun dan ditandatangani kedua pemain Makassar Utama, Hafid Ali dan Syamsudin Umar. Dua pemain kuat yang mengaku mau disogok Jimmy. Herman yang menjadi perantara Jimmy juga sudah meneken pernyataannya. Tentang diri Jimmy, tim yang diketuai Acub Zainal itu kelihatannya sudah mengambil kata mati. Bendahara Caprina itu, menurut Acub, berdasarkan keterangan yang dikumpulkan, "bisa disimpulkan tersangkut suap-menyuap." Acub, yang juga Ketua Liga Utama, menyatakan bahwa PSSI dalam dua tiga hari setelah sidang itu akan mengumumkan tindakan organisatoris terhadap Jimmy. "Sedangkan berkas-berkas laporan mengenai Jimmy akan diserahkan kepada pihak kepolisian. Penyelesaian selanjutnya terserah kepada mereka," katanya mantap kepada wartawan yang belakangan ini lebih sibuk meliput Tim Antisuap daripada pertandingan "8 besar" Liga yang sudah dimulai 31 Maret. Pergelutan melawan suap ini dimulai ketika Kaslan Rosidi, bos Cahaya Kita berkoar mengenai merajalelanya suap dalam kompetisi Liga. Dan bersamaan waktunya dia membubarkan klubnya itu awal Maret. Tidak jelas apa yang menjadi motif "pembongkaran" yang dilakukan Kaslan. Menurut pengakuannya, "Saya ingin menyelamatkan persepakbolaan Indonesia yang saya cintai." Tetapi banyak yang menyangsikan kebenaran kata-katanya yang mentereng itu. Ada yang curlga mengapa Kaslan tidak membongkar sejak awal, tetapi justru pada saat putaran kompetisi Liga 1983/84 akan berakhir. Ketika klubnya, yang sering kalah dengan angka-angka fantastis itu, tersingkir. Warna Agung pernah melindas klubnya itu 13-1. Suparjo Pontjowinoto, bekas Ketua Harian PSSI, menganggap "bola suap" yang dilambungkan Kaslan itu hanya cerita kosong belaka. "Buktinya, sampai sekarang ia belum menyerahkan nama-nama yang katanya terlibat, apalagi bukti-buktinya," ucapnya. Suparjo saat ini menjabat ketua "Komisi Tujuh" Liga Utama yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul antarklub Liga. Sekalipun ada pihak yang memandang Kaslan dengan bibir mencibir, nyatanya sesumbar yang dilemparkannya mengenai suap itu bagaikan bola empuk yang disambut Andi Darussalam Tabusalla, manajer tim Makassar Utama dari Ujungpandang. Andi menyebutkan bahwa timnya dikalahkan Caprina 0-1 di Denpasar karena permainan suap. Kisah dari Andi ini semula diniatkan sebagai backgrond untuk para wartawan mengenai bagaimana Caprina bisa masuk "4 besar" wilayah Timur. Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba dibocorkan sebuah harian di Jakarta. Herlina Kasim, pemimpin Caprina, naik darah karena tuduhan itu. Lantas dia berniat mengajukan Pos Kota yang menyiarkan berita itu ke pengadilan. Kaslan pun bersorak-sorak menimpali tuduhan itu dan menyatakan bersedia menjadi saksi bahwa Caprina memang telah "main" sehingga bisa mengalahkan Makassar Utama dalam pertandingan yang berlangsung 14 Maret itu. Mendengar campur tangan Kaslan itu, Herlina balik membalas bahwa Kaslan "sebaiknya mengurus diri sendiri dan jangan ikut campur." Beberapa sumber di Liga menyebutkan Kaslan Rosidi, orang yang pernah bercita-cita menjadi guru itu, pernah tidak begitu gentlemen dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya. Misalnya wajib setor Rp 200.000 untuk tiap pertandingan. Dia juga pernah dihadang pemain Cahaya Kita asal Ciamis, karena urusan uang yang belum beres. Kaslan tentu membantah gambaran buruknya itu. Tetapi entah apa yang menimpa nasib pemilik koran yang kini sudah tidak terbit itu dia kini kurang begitu populer dl kalangan orang bola. Termasuk Tim Antisuap yang menurut dia mau mencelakakan dirinya. Menurut ceritanya, dia sudah menyerahkan nama-nama pemain, wasit, dan cukong yang terlibat. "Tetapi apa yang terjadi? Tim memberitahu kepada wasit yang dipanggil bahwa saya yang menyebutkan nama mereka kepada Tim. Ini namanya mengadu orang. Berarti Tim mau menyingkirkan saya, entah dengan cara apa. Atau biar saya dibunuh orang-orang yang saya laporkan!" katanya sengit. Menurut pengakuannya, sudah 30 pemain, wasit, dan ofisial yang sudah dilaporkannya kepada Tim. PSSI kelihatannya bersungguh-sunguh untuk menumpas suap-menyuap ini. Ini tampak dari kerja sama yang dijanjikan Kapolri dan Kejagung kepada Ketua Umum PSSI, Kardono, belum lama ini. Jalinan kerja sama yang kelihatannya cukup berotot itu diharapkan dapat memukul secara tuntas masalah suap-menyuap ini. Paling tidak meredakan kembali suasana saling tuduh dan curiga yang tumbuh di kalangan pemain, manajer, dan wasit. "Kami di sini saling menduga. Saling mengira. Untung, saya sebagai manajer bisa memadamkan kemelut," ujar Danurwindo, pelatih merangkap manajer Arseto. Kaslan memang sempat menuduh empat pemain klub yang berpangkalan di Solo itu terlibat suap. Tanpa menyebut nama-namanya. Ada yang beranggapan, pembentukan Tim Antisuap sekarang ini kurang tepat. Terutama pengungkapan masalah itu ke media massa. "Citra sepak bola di mata masyarakat akan berbeda dibandingkan dengan sebelum suap diungkapkan di berbagai media," ujar Saelan. Menurut bekas ketua umum PSSI itu, pemberitaan yang santer sekarang ini akan membangkitkan kecurigaan masyarakat terhadap suatu kesebelasan yang kalah. Mereka akan dengan mudah memvonis klub yang kalah karena suap. Meskipun kesebelasan itu bermain bersih, katanya. Saelan, bekas penjaga gawang nasional itu, tahu persis apa yang terjadi dengan "Skandal Senayan" tahun 1962. Ini adalah skandal suap yang paling besar dan dapat dipergoki untuk pertama kalinya. Waktu itu, 18 dari pemain yang dipersiapkan satu setengah tahun untuk Asian Games IV di Jakarta terlibat suap. "Persoalannya ketika itu tidak diungkapkan kepada pers. Tetapi diselesaikan secara intern. Supaya jalannya pemeriksaan lancar," cerita Saelan (Lihat: Box). Penanganan suap pada awal tahun 1960-an kelihatannya lebih banyak dipusatkan pada upaya membersihkan diri sendiri oleh klub yang bersangkutan. Tahun 1961, Ramang, yang dijuluki "macan bola" diskors seumur hidup oleh klub tempat dia bernaung, PSM (Makassar). "Waktu itu, ada orang yang sentimen dengan saya. Lalu melapor kepada pengurus. Pengurus begitu saja menghukum saya," katanya. Dia berani bersumpah, katanya, tidak menerima sogok, kecuali hadiah dari orang yang mungkin menang bertaruh. Menurut cerita Ramang, hukuman itu ganjil. Peristiwanya, PSM mengalahkan Persija 5-2. "Saya sendiri ikut memasukkan bola. Karena sakit hati, saya memutuskan tidak mau main sepak bola lagi meskipun skorsingnya dicabut," cerita Ramang. Penanganan terhadap "Skandal Senayan" rupanya menjadi pelajaran yang pahit bagi para pemain, wasit, dan penyuap. Sebab, sesudah itu sepak bola boleh dikatakan berlangsung dengan tenang. Baru pala tahun 1977 kasus penyuapan terbongkar lagi. Dalam pertandingan PraPiala Dunia yang berlangsung Maret 1977 di Singapura, pemain berbakat Iswadi Idris dikabarkan kena suap bandar dari Hong Kong. Waktu itu, Indonesia bisa lulus ke babak berikut kalau bisa menumbangkan Muangthai sedikitnya 4-0. Muangthai sendiri praktis sudah tersisih. Pardede, yang waktu itu sebagai chef de mission, menurut cerita, "berani bayar berapa saja, asal pulang tak membawa malu." Kemudian diaturlah siasat. Sutjipto Suntoro, bekas pemain nasional, membujuk tulang punggung Muangthai, Niwat, yang kebetulan memang dia kenal. Waktu itu Niwat sudah menyatakan setuju mengalah. Dan memberikan tim Indonesia peluang menjebol gawang Muangthai pada 15 menit pertama. Tetapi nyatanya Indonesia malah takluk 2-3. Yang menarik waktu itu, kabarnya, Iswadi suatu saat sudah melewati Niwat. Tapi, begitu berhadapan dengan penjaga gawang, Iswadi toh tak berhasil membuat gol. Konon, bukan cuma Niwat yang terbujuk, tapi beberapa pemain Indonesia sebaliknya juga kena "bujuk". Ketika Ali Sadikin baru setahun menduduki jabatan Ketua Umum PSSI, terbongkar pula kasus suap di Merdeka Games, Kuala Lumpur, 1978. "Saya bertindak sendiri secara aktif waktu itu. Tidak pakai model tim segala," kata Ali Sadikin. Meskipun penyuapan berlangsung di luar negeri, katanya, dia toh berhasil membongkarnya. Caranya, menurut Bang Ali, dia panggil semua pemain. Dan mereka mengaku. Dari pengakuan-pengakuan ini kemudian dia berhasil mengetahui "cukong-cukong Cina" yang menyuap. Tetapi, katanya, karena waktu itu belum ada dasar hukum untuk menindak tukang suap itu, akhirnya mereka bebas. Dalam zaman kepengurusan Ali Sadikin ini lahir UU No. 11/1980 yang memberikan ancaman hukuman, baik bagi penyuap maupun yang kena suap. Iswadi Idris dan Ronny Pasla, yang kena hukuman skorsing ketika itu, akhirnya direhabilitasikan. Pimpinan PSSI waktu itu menganggap tidak adil menghukum orang yang kena sogok, sementara penyuapnya bebas berkeliaran. Galatama ternyata menjadi tempat persemaian yang empuk untuk suap. Ancaman yang disodorkan UU antisuap ternyata dianggap bola lalu saja. Baru tiga bulan kompetisi Liga berputar, kasus suap pecah di tubuh Perkesa 78. Bekas pangdam dan gubernur Irian Jaya, Acub Zainal, yang menjadi pemimpin klub Galatama itu, kontan melancarkan pemecatan. Acub, yang turun tangan sendiri melakukan pemeriksaan, berhasil membongkar Javeth Sibi menerima uang suap Rp 1,5 juta dari bandar judi Jeffry Suganda Gunawan. Uang tadi dibagi-bagikan kepada empat tcmannya. Javeth diskors PSSI selama setahun. Sedangkan empat temannya kena peringatan keras. Tiga bulan kemudian, Warna Agung dilamur suap pula. Begitu mendengar Jeffry Suganda ngerjain pemainnya, Bos Benny Mulyono langsung memanggil orang yang dituduh penyuap itu ke kantornya. Setelah dihajar Benny, Jeffry akhirnya mengaku, Endang Tirtana dan Marsely Tambayong dia janjikan Rp 2,5 juta asal mengatur permainan draw 3-3 melawan Niac Mitra. PSSI bertindak lagi. Marsely diskors 2 tahun dan Endang Tirtana 1 tahun. Dan ternyata permainan suap tidak hanya melulu menyangkut pertandingan kompetisi Liga. Menurut Mohamad Barmen, ketua klub amatir Assyabaab dari Surabaya, ketika anak-anak asuhannya bertanding melawan Suryanaga, dia mendapat keterangan bahwa empat pemainnya kena suap. Seorang pemain dijanjikan satu Vespa PX yang harganya sekitar Rp 1,3 juta. "Dalam pertandingan perserikatan, mereka sudah berani bayar sebegitu tingginya untuk seorang pemain. Bayangkan berapa besar untuk pemain Galatama." kata Barmen. Sekarang, menurut Barmen, mencari pemain jujur sudah susah. Dan kalau pun ada yang bersih, mereka bagaikan hidup dikelilingi api. Kalau tak ikut arus, akan dimusuhi teman-temannya seklub. Mentalitas jahat tidak hanya menjangkiti pemain. Juga wasit dan pengurus. Karena itu, dia menantang: "Siapa yang sekarang berani memberi saya tiga nama pemain, tiga wasit, dan tiga pengurus Galatama yang jujur. Saya tantang Anda, punya nggak daftar orang jujur itu," katanya menantang koresponden TEMPO di Surabaya, Muchlis Dj. Tolomundu. "Bola kita sekarang sudah seperti Mafia. Benar-benar kotor," katanya pula. "Apa Anda kira wasit itu ada yang bersih. Hakim garis pun rata-rata kena suap. Malahan dengan wasit biasanya para bandar itu pakai kuitansi segala," katanya blak-blakan. Permainan wasit ini juga kabarnya yang membuat T.D. Pardede mempercepat pembubaran Pardedetex, Februari lalu. "Masak untuk membikin wasit supaya jujur memimpin pertandingan, saya harus menyuap wasit yang bersangkutan. Ini keterlaluan," keluh Pardede. Bekas pelatih Pardedetex, Sarman Panggabean, menceritakan bahwa wasit sering mendapat "oleh-oleh" dari tuan rumah. Besarnya paling rendah Rp 500.000 untuk sekali pertandingan. Bahkan suatu kali seorang wasit dari Jakarta memperoleh uang "oleh-oleh" itu dari dua pihak. Di Medan pekerjaan begini disebutkan "main nokang", dialek Hokkian yang berarti mendapat pukulan dari dua penjuru. Barmen, orang yang tak asing dalam persepakbolaan di tingkat Jawa Timur dan nasional itu, juga kenal betul bagaimana suap dimainkan. Caranya bisa langsung antara pemain dan bandar. Bisa juga lewat orang lain. Yang tak terduga, menurut ceritanya, ternyata beberapa istri pemain terlibat juga dalam usaha suap-menyuap ini. Suap macam ini terkenal dengan nama "suap lewat dapur". Dunia para bandar judi, seperti yang digambarkan Barmen, adalah dunia yang hampir musykil. "Mereka punya jaringan seperti sel-sel bisnis," katanya. Jangan harap orang bisa berkenalan dengan bandar. Paling banter dia cuma bisa berkenalan dengan makelarnya saja. "Makelar ini tingkatnya paling bawah. Jumlah mereka untuk satu bandar bisa mencapai 40 orang. Di atas makelar ini ada penghubung. Untuk tiap bandar ada kira-kira dua puluh penghubung. Di atas penghubung ada asisten. Jumlah mereka beberapa saja. Dan mereka adalah orang-orang kepercayaan bandar," ujarnya. Di Lapangan Tambaksari - Stadion 10 November, Surabaya - makelar dan penghubung selalu berkumpul di tribune terbuka bagian selatan. "Pokoknya, mereka akan adu kuat di belakang gawang selatan itu," tuturnya. Tetapi bandar besar tidak nongkrong di situ. Di Surabaya, mnurut Barmen, minimal ada lima bandar besar dan lima bandar menengah. "Mereka menguasai semua pertandingan Galatama. Sedang yang menengah, selain ikut taruhan dalam Galatama, juga ikut dalam pertandingan perserikatan atau antarklub perkantoran. Sudah tak ada pertandingan bola yang lolos dari judi para bandar itu," katanya. Untuk pertandingan antarklub Galatama di Surabaya, Barmen memperhitungkan uang yang beredar dari dua bandar mencapai Rp 150 juta. Mereka juga bertaruh untuk pertandingan di luar kota, seperti Medan. Semua transaksi, katanya, dilakukan melalui telepon dan teleks. Dari uang sejumlah itu, 20% biasanya jatuh ke tangan pemain, pelatih, dan wasit. Dalam negara hukum seperti Indonesia, memang tak mungkin menemukan orang yang mengaku bandar. Namun, sebagai petaruh, tak banyak yang mau mengelak. "Sejak dulu saya memang petaruh," kata Lo Bie Tek, terang-terangan. Direktur pemasaran PT Agung (anda Mas, penyalur Honda, teman dekat Kaslan Rosidi, mengaku bahwa sekali bertaruh ia memasang taruhan Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Dia mengaku menang bertaruh ketika Niac Mitra mengalahkan Caprina 2-0 di Bali. Menyuap? "Mana mungkin saya kuat menyuap kalau taruhannya hanya setengah juta," celoteh Bie Tek. Taruhan para penyuap, katanya, bisa sampai Rp 20 juta. Ketika cita-cita Galatama dicetuskan tahun 1976 dalam masa kepengurusan Bardosono, barangkali tak ada orang yang berpikir bahwa gelanggang kompetisi akan menjadi gula yang manis untuk penyuap. Penyakit yang sebenarnya juga berjangkit di berbagai negara, seperti Italia, hingga Paulo Rossi sempat berurusan dengan pengadilan. Orang waktu itu berangan-angan mengenai sebuah tim yang mendapat dukungan keuangan dari sebuah perusahaan. Dan pertandingan akan mendatangkan uang. Ternyata, setelah berumur lima tahun, tak ada satu klub pun yang bisa melawan defisit. Niac Mitra, yang sekalipun punya penonton kuat di Surabaya, menurut pelatih merangkap manajer, Basri, tahun 1983 diperkirakan tekor Rp 150 juta. Pardedetex sekitar Rp 200 juta. Herlina Kasim, yang memimpin Caprina, memperhitungkan klubnya defisit paling sedikit Rp 120 juta setahun. Semua menyebutkan bahwa kerugian itu sudah mereka perhitungkan dan mereka memang tidak mengharapkan keuntungan. "Untuk hobi yang tak bisa dibayar," begitu kata hampir semua pemilik klub yang dihubungi. "Mengaku rugi saja Wenas sungkan. Soalnya, nanti dikira tak ikhlas memajukan sepak bola," begitu ungkapan perasaan Wenas sebagaimana yang disampaikan Basri. Mungkin para pemilik klub terjun pula dalam dunia pertaruhan untuk mempertahankan defisit sekecil-kecilnya? "Kalau para pemilik klub dan ofisial ikut main suap, ya, percuma saja ada Galatama," begitu kata Ali Sadikin, orang yang ikut melahirkan sepak bola semiprofesional itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini