TIM Antisuap (TAS) pimpinan Acub Zainal agaknya bisa dikatakan meraih sukses besar seandainya nanti ia berhasil menghimpunkan bukti yang dapat dipakai buat memperkarakan siapa saja yang terlibat sogok-menyogok dalam dunia sepak bola. Tapi, menegakkan hukum untuk urusan yang satu ini tampaknya lebih pelik ketimbang meningkatkan prestasi kesebelasan Indonesia yang juga tak kunjung bangkit itu. Pada dasarnya, memang tim yang dibentuk Maret lalu - beranggotakan 9 orang - ini tak berambisi meringkus dan menyeret penyuap serta penerima sogok ke muka hakim. Minang Warman, S.H., satu-satunya pengacara yang menjadi anggota tim itu, berkata kepada TEMPO, "Langkah yang kami lakukan terbatas, hanya untuk membantu polisi." Untuk menggebrak orang-orang yang terlibat skandal suap, jalan yang bisa ditempuh polisi memang tak segampang dulu. "Sekarang?" kata Minang, "jika harus menahan dan memeriksa seseorang, polisi terbentur pada KUHAP." Inilah salah satu perbedaan yang boleh jadi menguntungkan kaum penjudi dewasa ini, dibandingkan dengan masa terbongkarnya "Skandal Senayan" lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Pada "Skandal Senayan" itu orang-orang yang terlibat diangkut dan diperiksa di tempat tahanan militer, Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Ini memang berada di luar prosedur hukum yang seharusnya. Tentang prosedur yang ditempuh ini, orang pada masa itu mungkin tak terlalu hirau? terutama karena peristiwa tadi mencemarkan dunia sepak bola Indonesia, yang tengah punya kesebelasan cukup terpandang di Asia. Indonesia pun terlambat menyediakan undang-undang yang langsung dapat dipakai buat membawa kasus suap ke meja hijau. Undang-Undang Antisuap baru disahkan 27 Oktober 1980 silam. Buat pertama kalinya, UU ini dipakai untuk menyeret empat tersangka ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Lampung. Dalam kasus itu, Hong Gwan Hong alias Ahong, diajukan sebagai terdakwa yang memberikan uang suap kepada tertuduh lainnya - didakwa menerima suap - yakni Budi Santoso, Bujang Nasril dan Moh Asyik, pemain kesebelasan Jaka Utama, Tanjungkarang, Januari 1982. Undang-Undang Antisuap - UU No. 11/ 1980 - mengancam pemberi suap dengan hukuman penjara 5 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 15 juta. Yang menerima sogokan diancam hukuman 3 tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp 15 juta. Dalam perkara di Pengadilan Negeri Tanjungkarang itu diajukan sebuah pita rekaman dan selembar fotokopi rekening telepon sebagai bukti. Tetapi hakim memandang, bukti seperti itu sama sekali tidak kuat. Di muka hakim, Budi, Bujang, dan Asyik mengakui bahwa mereka masing-masing memang pernah menerima uang Rp 100.000 dari Ahong. Uang itu, menurut pengakuan mereka, dipakai untuk biaya perjalanan ke Yogyakarta dan Magelang. Pengakuan Ahong pun demikian. Lantas, dapatkah perbuatan itu digolongkan sebagai tindak pidana penyuapan? Tidak, begitu keputusan pengadilan. Budi, Bujang, dan Asyik, serta Ahong bebas dari tuntutan. Biaya perkara ini pun kemudian harus ditanggung negara. Pemeriksaan oleh pengadilan yang dialami Ahong dan tiga pemain Jaka Utama ini berbeda jauh dengan yang dialami para pemain, tiga wasit, dan tiga orang penjudi - pemberi suap - yang terlibat dalam "Skandal Senayan". Mereka diperiksa oleh polisi militer. Konon berkas pemeriksaan itu tak pernah sampai ke tangan polisi. Tindakan yang diambil cuma sanksi organisatoris dengan memecat para pemain dan wasit yang terlibat dalam peristiwa itu. Ketika kasus suap meningkat lagi sekitar tahun 1978, penyelesaian perkara di muka hakim pun tak pernah dilakukan. Walaupun dalam pemeriksaan pemain-pemain yang terlibat itu mengakui kesalahannya, hukuman yang dijatuhkan hanyalah pemecatan ataupun skorsing. "Setelah melihat penderitaan pemain akibat pemecatan itu," kata Kosasih Purwanegara, pimpinan PSSI sebelum periode Bardosono, "biasanya nama mereka direhabilitir dan diizinkan bermain lagi." Kosasih berkata, yang paling berat menanggung hukuman adalah para pemain. "Padahal, mereka hanya pion belaka," katanya. Dia berpendapat, jika soal suap-menyuap dilihat secara jernih, para cukong yang berjudi dan memberi suap itulah yang pertama-tama harus jadi sasaran. Konon sesudah terbongkarnya kasus suap pada Merdeka Gamei, Kuala Lumpur, 1978, yang melibatkan pemain PSSI, muncul pemikiran untuk menggunakan peraturan mengenai perjudian buat menangani masalah ini. Pemikiran ini kemudian berlanjut dengan suatu pertemuan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 1980, khusus membahas masalah suap. Baru setelah itu, muncul UU Antisuap yang dipakai hingga sekarang. "Suap", kata Kosasih, "jangan dilihat dari segi sepak bola saja. Ia menyangkut watak bangsa." Ketua PSSI Kardono meminta bantuan Jaksa Agung Ismail Saleh dan Kapotri Anton Soedjarwo buat menyelesaikan masalah suap ini. TAS pun sudah memanggil dan mendengarkan keterangan beberapa orang, termasuk Kaslan Rosidi, bekas bos Cahaya Kita, yang sudah dibubarkan. Tapi Kaslan sendiri tampaknya kecewa oleh cara kerja TAS, yang menceritakan kepada orang-orang yang dipanggil itu bahwa nama mereka diperoleh dari Kaslan. Agaknya, mencari bukti-bukti yang kemudian akan diteruskan ke polisi dan jaksa, bagi TAS, barangkali tidak semudah mendengarkan keterangan dari satu mulut dan mulut yang lain. Walau begitu, bekas penjaga gawang dan ketua umum PSSI, Maulwie Saelan, berpendapat bahwa TAS harus bekerja cepat. "Meskipun informasi masih sumir, serahkan saja ke polisi," katanya. Dan kendati Acub Zainal bertekad untuk "tidak pandang bulu" dalam urusan ini, hasil TAS mungkin tak mudah diperkirakan. Rantai suap-menyuap boleh jadi sudah terlalu panjang, seperti yang dikatakan Barmen, pimpinan klub Assyabaab, Surabaya, "Saya berani bertaruh, tak ada yang bersih dalam soal ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini