"GOCEK Borg,... Tahan Decky ... Tahan Chin Aun ... Tembak
Dede." Silih berganti nama beken itu (semuanya pria) diteriakkan
penonton di stadion utama Senayan, Jakarta. Mereka yang
diteriaki acuh tak acuh. Semua itu terjadi pekan lalu dalam
pertandingan sepakbola putri. Para pemain Women Football
Association of Singapore (WFAS), Ladies Football Association of
Malaysia (LFAM), dan Buana Putri (BP) ... dari Indonesia turun
ke lapangan.
Julukan itu dipungut publik dari nama top, seperti Bjorn Borg
(kampiun tenis Wimbledon), Decky Kewoi (benteng pertahanan bond
Persipura), Soh Chin Aun (poros halang tim Malaysia), dan Dede
Sulaiman (pemain depan klub Indonesia Muda). Yang dijuluki Borg
adalah Rachel Gomez (Malaysia). Lantaran dirinya mengenakan
ikat kepala ala Borg. Decky untuk Dorce Upuya (Indonesia) dan
Chin Aun buat Jacqueline Chan (Singapura) berdasarkan permainan
sapu bersih mereka di benteng masing-masing.
Tak semua penonton, terutama kaum ibu, dapat menerima sepakbola
wanita. Ny. Rahayu, 45 tahun, yang menonto di VIP Barat, memberi
komentar "Oh, begitu rupanya emansipasi yang dicari gadis remaja
masa kini."
Menteri Muda Urusan Peranan Wanita, Ny. Lasiyah Sutanto, juga
diketahui termasuk orang yang belum dapat menerima kehadiran
sepakbola wanita. Untuk acara pembukaan pertandingan bola negara
ini ia diundang panitia tapi tak hadir.
Komentar pemain? "Kalau soal pakaian, bandingkan sendiri, mana
yang lebih sopan pakaian renang atau senam dengan sepakbola,"
kata Ida Siregar dari BP. "Body charge di cabang karate, pencak
silat, atau judo, juga ada."
Kenapa memilih sepakbola? Menurut versi BP, di cabang olahraga
lain mereka tak maju-maju. "Hampir semua pemain Buana Putri
begitu," kata Katrina, 29 tahun, bekas penggemar atletik.
Sesudah 11 tahun menggocek bola, ia mengaku tetap feminin.
"Buktinya, saya sudah melahirkan dua anak," ujar Katrina yang
bersuamikan Muhardi, pelatih BP.
Dorce, sebelum terjun ke dunia sepakbola, sempat meraih medali
perunggu dalam kejuaraan Pencak Silat Nasional di Jakarta, 1979.
Dan dialah Muthia Dathau, pemeran utama film Sirkuit Kemelut dan
Sepasang Merpati. "Menurut saya," ujar Muthia, "main sepakbola
jauh lebih baik dari gulat wanita."
DPRD Tasikmalaya pernah bersidang untuk membicarakan boleh atau
tidaknya pertandingan sepakbola putri di kotanya. Mereka tak
lenyap. Ada delapan klub sepakbola putri yang menonjol. Yaitu BP
(Jakarta), Putri Priangan (Bandung), Putri Mataram (Yogyakarta),
Putri Saburai (Tanjung Karang), Putri Srikandi (Semarang), Putri
Setia aan Putri Sakti (Surabaya), dan Putri Pardedetex (Medan).
Di Malaysia, "baru tiga tahun lalu masyarakat dapat menerima
kehadiran sepakbola wanita," kata Shamdin Yusuf, pelatih LFAM.
"Kini, kami tiap tahun memperebutkan piala kerajaan yang diberi
nama Tim Syarifab Rabiah Cup."
Pandangan orangtua terhadap putrinya yang memilih cabang
sepakbola, di Malaysia, juga sudah berubah. "Ibu saya memang
tidak menggalakkannya. Tapi membenarkan," kata Siti Zainuniah
Akib dari LFAM. Ia sekarang siswa tingkat VI sekolah lanjutan
(setingkat kelas III SMA) di Kuala Lumpur, dan akan berhenti
main sepakbola bila berumah-tangga nanti.
Di Singapura, sepakbola wanita dirintis sejak 1967, walau baru
bisa diterima masyarakat untuk jadi tontonan tiga tahun lalu.
Tapi WFAS sudah jadi juara III dalam Turnamen Sepakbola Putri
Asia di Taipeh, 1977. Di kawasan ini yang maju adalah Taiwan dan
Muangthai.
Dalam turnamen segitiga di Jakarta, WFAS dan LFAM gagal
menyingkirkan BP. "Wasit tidak adil," kata M.K. Mydeem, ofisial
WFAS. Pertandingan yang dipimpin wasit Djafar Umar (Indonesia)
memang terasa berat sebelah.
Bermain seri lawan Malaysia (2-2) dan menang dari Singapura
(2-1), BP menjadi juara segitiga itu dalam memeriahkan hari
ulang tahun ke-30 Korps Cacat Veteran Republik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini