KULITNYA sudah kisut. Bekas penggemarnya tak mengenalnya lagi.
Itulah Marijo, bekas juara nasional loncat tinggi tahun 1950-an.
Di Solo, dalam Reuni Atletik Tiga Zaman (5-7 September), Marijo
kembali merampas perhatian, walau mengenakan baju lusuh. "Teman
saya dulu sudah hebat-hebat sekarang," komentarnya. "Saya ini ya
begitu-begitu saja. Ya, nasib." Sebagai pegawai sipil di Korem
072 Pamungkas, Yogyakarta, Marijo -- menurut Sekretaris Panitia
Reuni J. Mariono -- hidup di bawah 'garis kemiskinan'.
Marijo, 53 tahun, ayah dari empat putri, membanding dunia
atletik zamannya dengan sekarang. "Fasilitas latihan kini lebih
baik," katanya. "Modal utama kami dulu adalah semangat."
Prestasi terbaik Marijo, di tahun 1956, adalah 194 cm. Rekornya
kemudian dipertajam oleh Okamona menjadi 196 cm. Setelah
bertahan 16 tahun, itu diperbaiki oleh Suwignyo menjadi 198 cm.
Kini rekor Indonesia itu tetap atas namanya.
Mulai terjun ke atletik tahun 1940 Marijo pernah mewakili
Indonesia dalam Asian Games II di Manila (1954) dan Olympiade
XVI di Melbourne (1956). Di dalam negeri sudah tak terhitung
kejuaraan yang diikutinya.
Mohamad Saleh, bekas atlet tolak peluru, loncat tinggi dan
lompat jauh, menyesalkan bahwa akhir-akhir ini atletik mulai tak
populer di kalangan generasi muda. Mengapa? "Seorang yang sukses
di cabang atletik tak pernah mendapat kaveling seperti pemain
bulutangkis," kata Saleh, 50 tahun. "Juga tak pernah dibayar
tinggi dan dapat bonus seperti pemain sepakbola jika memasukkan
gol."
Sekjen KONI, M.F. Siregar, pernah mensinyalir minat guru
olahraga mengajarkan atletik pun makin berkurang. "Umumnya guru
olahraga sekarang lebih tertarik mengajar renang dan sepakbola,"
cerita Siregar. "Selain banyak muridnya yang suka, juga dapat
honor."
Mayjen (Pol) Drs. Hartawan, Kadapol X/Jawa Timur mengenang
atletik di zaman dulu populer karena cabang olahraga ini wajib
di sekolah. "Padahal waktu itu gizi tak ada yang menghitung,
pelatih khusus tak ada, fasilitas pun nol," kata Hartawan, 54
tahun, bekas atlet loncat tinggi. Ia pernah mewakili Jawa Timur
dalam PON I di Solo, 1948.
Masa jaya atletik di Indonesia ialah pada periode 1962-1966.
Waktu itu Mohamad Sarengat, kini dokter pribadi Wakil Presiden
Adam Malik, merupakan pelari Indonesia yang tercepat di Asia.
Rekornya 10,4 detik -- dibuat dalam Asian Games IV di Jakarta,
1962 -- sekarang masih tercatat sebagai prestasi nasional.
Agus Sumadi, 49 tahun, atlet veteran dari Yogyakarta, mengatakan
prestasi Sarengat itu "harus ditumbangkan". Reuni ini "hendaknya
dimanfaatkan untuk mendobrak kemacetan prestasi."
Cara pendobrakan? Hendarsin, 54 tahun, berpendapat atletik perlu
digiatkan lagi di sekolah, dan masuk kurikulum. Nurbambang, 63
tahun, mengusulkan supaya diadakan piagam prestasi bagi
olahragawan atletik. Atletik dianjurkannya pula supaya menjadi
suatu syarat seleksi bagi calon siswa SPG, PGA, AKABRI dan FKIK
(d/h STO).
F.G.E. Rorimpandey, 63 tahun, melihat faktor pelatih dan wasit.
"Perlu mereka berkualitas nasional dan internasional lebih
banyak," ujarnya. Harapan ini sebetulnya mulai dipenuhi oleh
Ketua PASI, Bob Hasan. Bersamaan dengan reuni itu didatangkannya
pelatih Frank Beckman dari Jerman Barat untuk menatar ke
daerah-daerah.
Dari Solo tak cuma ada kritik dan anjuran. Para atlet tua juga
membuka kisah lama -- termasuk kisah cinta. Ada juga yang
terkesima melihat foto sendiri di ruang pameran. Ada juga yang
mengigatkan mereka pada teman lama. "Oh ini si Bob, musuhku
dulu." Atau "waduh, lihat tuh saya waktu dulu. Gagah, ya."
Di lintasan hari, walau ngos-ngosan, mereka tetap bersemangat,
dan tak peduli celetukan penontor yang sebaya anak atau cucu
mereka. "Kacamatanya dilepas dulu, mbah," teriak mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini