Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perhelatan seni rupa Biennale Jogja 2021
Menampilkan karya dengan beragam tema, dari kekerasan Papua hingga gerakan perempuan.
Biennale kali ini memberikan tempat lebih besar untuk para seniman dari Indonesia Timur.
SELONGSONG peluru menyerupai penis menggelambir, menembus celana dalam perempuan Papua. Kebrutalan tentara kian tergambar melalui proyektil berkalung kancut dan bra, tertambat pada dinding ruangan yang gelap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakaian dalam perempuan berserakan di lantai mengelilingi senjata. Gambar ibu dan bayi telanjang melengkapi benda-benda itu. Kesan kekerasan diperkuat gambar hitam-putih puluhan polisi berseragam yang membawa pentungan sedang mengepung seorang warga Papua yang tertelungkup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekejaman terhadap warga Papua juga terlihat pada bedil yang digantung di bawah karya yang terinspirasi patung karwar khas Biak dan topeng kematian Asmat. Ada juga peta pendudukan kolonial Belanda dan penyerobotan kebun pala di Fakfak.
Karya seni instalasi berjudul Koreri Projection itu ciptaan Udeido, kelompok seni yang beranggotakan lima seniman asal Papua. Panitia Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 menempatkan karya itu di lantai 1 Jogja National Museum sebagai pintu gerbang bagi pengunjung untuk menikmati 34 karya seniman dalam pameran yang berlangsung pada 6 Oktober-14 November 2021 ini.
Selain ditampilkan di Jogja National Museum, karya seniman dipajang di Museum dan Tanah Liat serta Indie Art House. Di Taman Budaya Yogyakarta, panitia memajang pameran arsip Biennale selama satu dekade.
Biennale memberikan panggung lebih besar untuk seniman Indonesia timur. “Karya seniman Papua yang merekonstruksi kekerasan rasial jadi highlight,” kata kurator Biennale, Ayos Purwoaji, Jumat, 15 Oktober lalu.
Tengoklah mural berjudul Terbungkam berukuran 7 x 12 meter sebagai fasad di dinding halaman Jogja National Museum. Karya Yanto Gombo, anggota Udeido, itu menggambarkan wajah seorang kepala suku yang dikelilingi warga Papua yang tewas. Ada juga penduduk Papua yang sedang mengungsi di tenda dan ada pula yang kedua lubang hidungnya ditarik. Semua warga Papua yang mengalami kekerasan militer dan diskriminasi rasial itu diwarnai bayang-bayang berkelir dominan hijau, seragam tentara.
Terbungkam karya anggota kelompok seniman Papua Udeido, Yanto Gombo dala, pameran seni rupa Biennale Jogja XVI Equator, 15 Oktober 2021. TEMPO/Shinta Maharani
Karya itu mengingatkan orang pada insiden yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Teriakan berbau rasis, seperti “monyet”, dilontarkan kepada orang Papua.
Anggota kelompok seni Udeido, Ignatius Dicky Takndare, mengatakan karya instalasi yang dibuat secara kolektif itu berbicara tentang rasisme, kekerasan militer terhadap masyarakat sipil Papua, perebutan lahan, spiritualitas, dan harapan akan kedamaian.
Karya Betty Aidli, satu-satunya perempuan anggota Udeido, misalnya, memotret dominasi maskulinitas dan militer di daerah konflik. Operasi militer di daerah konflik melahirkan kekerasan, misalnya pemerkosaan perempuan oleh tentara. “Karya kami bentuk solidaritas untuk semua perempuan korban kekerasan seksual di wilayah konflik,” tutur Betty.
Karya perupa Papua menjadi atensi selain karya seniman dari kawasan Indonesia timur lain, seperti Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Perhelatan seni rupa dua tahunan itu memusatkan perhatian pada pertemuan Indonesia dengan Oseania pascakolonial. Oseania dipilih karena memiliki kesamaan kultural dan masalah sosial-politik. Karya seni komunitas seni Indonesia timur, dari Flores hingga Papua, bertemu dengan karya seniman keturunan Fiji, Tonga, dan Kaledonia Baru.
Rasialisme dan kolonialisme di Oseania, kepulauan di Samudra Pasifik, terlihat pada mural dan video karya seniman Kaledonia Baru, Nicolas Mole, di lantai 3. Video berdurasi 28 detik itu berupa patung orang kulit putih yang menginjak dan mengikat tubuh orang kulit hitam. Mole menambahkan tulisan bergerak “liberte”, “egalite”, dan “fraternite” yang pecah menjadi puing-puing.
Kaledonia Baru adalah negara bekas jajahan Prancis. Pada masa Revolusi Prancis, “Liberté, Egalité, Fraternité” digunakan sebagai moto yang berarti kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Lewat karya itu, Mole menggambarkan pilihan referendum warga Kaledonia Baru pada 12 Desember 2021. Referendum ketiga itu bagian dari proses panjang dekolonisasi 30 tahun pendudukan Prancis. Referendum tersebut menunjukkan sejarah kolonialisme Prancis yang tiada akhir.
Dekolonisasi tentu saja terhubung dengan tema Biennale, yakni “Roots < > Routes” atau keaslian dan lokalitas dalam dunia yang makin global. Karya-karya seniman membicarakan rasialisme, migrasi, krisis ekologi, punahnya mitologi, dan solidaritas gerakan perempuan.
Isu perempuan kali ini kembali menguat, seperti dalam karya seniman Biennale dua tahun lalu. Perspektif perempuan yang mewarnai karya seni Biennale tak lepas dari pengaruh Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika.
Alia memberikan porsi besar untuk seniman perempuan, termasuk dengan menempatkan kurator perempuan, Elia Nurvista, selain Ayos Purwoaji. Direktur Biennale juga perempuan, Gintani Nur Apresia Swastika. Separuh seniman yang terlibat adalah seniman perempuan. “Otokritik karena seni rupa lebih sering menampilkan seniman laki-laki,” ucap Alia.
Karya bertema perempuan bahkan ditempatkan secara khusus di Museum dan Tanah Liat yang diberi tajuk “Hacking Domesticity”. Ruangan untuk memajang karya itu disebut bilik Korea-Konnect ASEAN. Kuratornya Alia Swastika dan Jongeun Lim. Keduanya melihat pentingnya mempertemukan seniman perempuan di ASEAN dan Korea Selatan.
Ada tujuh seniman yang berpameran, yakni dari Indonesia, Kamboja, Thailand, dan Korea Selatan. Karya mereka memotret kekerasan seksual di dunia hiburan, kekerasan seksual di wilayah domestik atau rumah tangga, dan gerakan perempuan menjaga lingkungan.
Seniman Kamboja yang lahir di kamp pengungsian di perbatasan Thailand, Sao Sreymao, membuat karya yang memadukan foto dan lukisan. Karya itu berupa gambar perempuan dengan bayang-bayang berwarna kelabu. Dia mengeksplorasi perempuan yang bekerja di perkotaan dan mengalami perundungan seksual. Sao banyak bertemu dengan korban kekerasan seksual yang bekerja sebagai pemandu karaoke, pramusaji, dan pegawai kasino.
Menurut Alia, ada kesamaan masalah ketimpangan gender di Asia Tenggara dan Korea Selatan. Kekuatan maskulinitas terasa di industri hiburan di Korea Selatan, misalnya dalam drama Korea. Maraknya operasi plastik untuk membentuk tubuh dan citra perempuan yang ideal juga menggambarkan penindasan.
Melalui karya-karya itu, seniman ingin menunjukkan solidaritas bersama bahwa perempuan menjadi bagian penting dari gerakan menolak kekerasan dan menjaga lingkungan.
Karya anggota kelompok Taring Padi, Fitriani Dwi Kurniasihdalam pameran seni rupa Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, 15 Oktober 2021. TEMPO/Shinta Maharani
Tengoklah karya-karya seniman anggota kelompok Taring Padi, Fitriani Dwi Kurniasih. Sekilas tidak ada isu baru dari karya ini, klise. Seperti lazimnya karya Taring Padi sebelumnya, karya ini menggambarkan perjuangan ibu-ibu petani yang menolak proyek pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Taring Padi sudah sering memamerkan karya dengan isu sejenis. Tapi Fitriani menyatakan karya itu digarap lebih mendalam dengan kacamata atau perspektif perempuan.
Dia menciptakan empat karya, di antaranya tenda bergambar ibu-ibu petani Kendeng, gerabah kendi berbentuk tangan mengepal, serta kain bergambar para ibu petani Kendeng yang kakinya dicor.
Fitriani menggarap karya itu sejak akhir 2020 di masa pandemi Covid-19. Sebelum memajang karya, dia intens bertemu dengan para ibu petani Kendeng dan tinggal di Kendeng selama sepekan. “Karya ini bagian dari solidaritas perempuan untuk menjaga bumi,” tuturnya.
Ada satu karya seni monumental ciptaan seniman Taiwan, Rahic Talif, yang memotret kerusakan lingkungan. Seniman pribumi keturunan suku Amis di Taiwan ini memajang sampah laut berupa dua gundukan sandal dan botol plastik berbentuk bola yang melayang di langit-langit ruangan.
Dia juga menyertakan foto-foto sandal yang dilengkapi narasi lokasi penemuan sandal. Suasana pantai yang ditembus sinar matahari dari bola lampu juga tergambar dalam ruangan itu. Sayangnya, karya ini ditempatkan di belakang Jogja National Museum yang ditutup kain hitam dan tak banyak diketahui pengunjung.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo