Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN pentas wayang kulit yang digelar di pekarangan dan kebun pelukis Djoko Pekik seluas tiga hektare itu. Melainkan jazz. Di pelosok Desa Sembungan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, tersebut, Sabtu sore dua pekan lalu, disebar tiga panggung yang diberi nama Siter, Slompret, dan Tambur. Dan di situlah para musisi jazz Yogya unjuk gigi.
Inilah Ngayogjazz. Kekhasan pentas ini adalah keinginannya untuk membaur dengan masyarakat kebanyakan, termasuk nomor-nomor yang dibawakan para musisi, meskipun tetap dengan denyut jazz.
Itulah yang terjadi misalnya di panggung Siter, ketika para musisi yang tergabung dalam Komunitas Jazz Jogja tampil. Mereka bermain-main dengan lagu-lagu populer Jawa yang dibawakan secara berbeda.
Chick Yen membukanya dengan The Pink Panther Theme, komposisi musik karya Henry Mancini, yang terkenal lewat film kartun The Pink Panther, lalu disambung dengan Yen Ing Tawang Ono Lintang, langgam Jawa ciptaan Anjar Any, dalam gaya rancak. Erwin Zubiyan Quintet memainkan Sewon City Blues dan Cublak Cublak Suweng secara baru. Adapun Kenny & Mr Dance menyuguhkan Menthok-menthok dan Lir Ilir dalam gaya jazz kontemporer.
Lagu-lagu itu sudah direkam dalam Sesarengan, album kedua komunitas tersebut, yang diluncurkan di acara ini. “Ternyata ide anak-anak mengaransemen lagu Jawa secara baru itu luar biasa,” kata Djaduk Ferianto, penggagas dan Pengageng Hangabehi Ngayogjazz.
Acara Ngayogjazz ini memang mirip pasar malam. Di sela-sela permainan mereka itu menyeruak bunyi cempreng speaker penjual es krim yang berjalan di antara penonton. Aroma basah tanah bercampur dengan asap sate yang dijual seorang ibu di sekitar arena panggung.
Permainan para musisi di panggung Siter itu menandai pembukaan Ngayogjazz, pertunjukan yang seharusnya diselenggarakan November tahun lalu tapi diundurkan karena bencana Merapi. Acara bertema “Mangan Ora Mangan Ngejazz” itu berlangsung sejak sore hingga tengah malam.
Pesta jazz ini memang berbeda dengan pentas serupa yang biasa digelar di gedung pertunjukan, hotel, atau gedung olahraga, yang hanya bisa dinikmati orang yang memiliki kelebihan uang. Ngayogjazz mencoba melawan arus dengan menawarkan suasana kampung, kebun jati, rumpun bambu, dan Sungai Bedog yang sejuk. “Lingkungannya unik dan tak biasa,” kata Rizali Indrakesuma, vokalis dan gitaris Chaseiro, yang sebelumnya tak dapat membayangkan macam apa panggung jazz di kampung.
Penontonnya bukan hanya muda-mudi berbaju modis dan bermobil mewah, tapi juga penduduk desa bersandal jepit, anak-anak bercelana kolor, dan ibu-ibu tua berkebaya. Kereta kelinci mondar-mandir mengantar ratusan pengunjung dari area parkir ke arena pertunjukan.
“Saya enggak tahu jazz. Tapi saya mau lihat angguk,” kata Jopawiro, 75 tahun, nenek enam cucu, warga Desa Sembungan. Acara ini memang menghadirkan pula kesenian tradisional angguk dan karawitan yang dimainkan anak-anak.
Djaduk menyebut acara ini sebagai jazz yang tanpa batas, asyik, spontan, interaktif, dan ekspresif. Untuk mencapai keasyikan itu, ia mengundang Komunitas Jazz Jogja, Komunitas Jazz Ngisor Ringin dari Semarang, serta sederet musisi jazz ternama, seperti ESQI:EF (Syaharani dan kawan-kawan), Tohpati Bertiga (Tohpati, Indro Hardjodikoro, Bowie), Glen Fredly, Simak Dialog (Tohpati dan Riza Arshad), dan Chaseiro (Candra Darusman, Helmie Indrakesuma, Aswin Sastrowardoyo, Edie Hudiro, Irwan Indrakesuma, Rizali Indrakesuma, Omen Sonisontani), Iga Mawarni, dan Gugun Blues Shelter.
Candra Darusman mengaku terkejut oleh pentas jazz model ini. “Inovasi ini berhasil. Saya salut. Rasanya ini hanya bisa terjadi di Yogyakarta,” katanya. Malam itu Chaseiro menampilkan sepuluh lagu. Selain membawakan lagu karya kelompok itu, seperti Pemuda, Nada-nada Gembira, dan Dunia di Batas Senja, mereka memainkan dua lagu lawas, Route 66 dan The Girl From Ipanema.
Permainan jazz di kampung itu mengingatkan Tohpati pada awal kelahiran jazz di dunia. Jazz berkembang di awal abad ke-20 di kalangan kaum kulit hitam miskin di Amerika Serikat dan dimainkan di luar kebiasaan musik elite di dalam gedung. “Jadi ini berangkat dari akar lagi,” ujarnya.
Masyarakat Yogyakarta, menurut Tohpati, sudah terbiasa dengan pola jazz. Hal itu terlihat dalam permainan musik tradisionalnya yang kerap dibawakan secara spontan tanpa latihan. “Jazz kan juga seperti itu,” katanya.
Melalui ajang itu, tampaknya Djaduk ingin membuktikan bahwa musik jazz terbuka untuk semua orang. Sebelumnya, dia pernah menggelar acara serupa, seperti Jazz Gunung, yang diselenggarakan di Gunung Bromo. Dia juga menggelar Ngayogjazz sebelumnya di tempat yang jauh dari keramaian kota, seperti di Taman Gabusan, Bantul, pada 2009, dan di Desa Tembi, Bantul, pada 2008.
Sepertinya, virus jazz yang dilontarkan Ngayogjazz sedikit demi sedikit merasuki selera musik masyarakat desa. Sevi Kusuma, ibu seorang anak yang tinggal di Godean, Sleman, jauh-jauh hadir ingin menonton jazz. “Biasanya kan di hotel atau kafe. Saya jadi penasaran ingin melihatnya. Lagian ada Iga Mawarni,” ujarnya.
Sayangnya, hujan deras sempat mengganggu perhelatan itu. Panggung Tambur di halaman rumah Djoko Pekik, yang hanya dinaungi rumpun pohon bambu, akhirnya harus menganggur setelah penampilan Muci Choir. Tapi Komunitas Jazz Jogja di panggung Siter tetap berjalan, meski penontonnya harus memakai jas hujan, payung, atau selembar daun pisang.
Komunitas Jazz Jogja terbentuk pada 2000. Pada mulanya bernama Jogja Jazz Club dengan beberapa musisi jazz senior, seperti Agung Prasetyo, Tuti Ardi, Bagus Jatmiko, dan Yosias, mereka sering berkumpul dan bermain bersama di kafe-kafe. “Belakangan Jogja Jazz Club tidak dipakai, rancu dengan kelompok pemilik mobil Honda Jazz,” kata Danny Eriawan, aktivis di komunitas itu.
Selain tampil di kafe, mereka sering berkonser di arena terbuka di pinggir jalan. Mereka lalu menamainya Jazz on the Street, tapi beberapa musisi menyebutnya Jazz Sobo Ndalan. Setelah itu, aktivitas mereka tersendat. Baru pada 2007, atas prakarsa Djaduk, komunitas itu diberi kesempatan main di De Click Cafe di kawasan Kotabaru. Setahun kemudian berhenti lagi karena ada renovasi bangunan. Pada Desember 2009, mereka mendapat tempat baru di Bentara Budaya Yogyakarta dalam acara Jazz Mben Senin.
Komunitas Jazz Ngisor Ringin memiliki cerita serupa. Organisasi terbuka itu dipersatukan oleh ketertarikan yang sama pada jazz. Mereka juga sering tampil dalam Jazz Ngisor Ringin di kawasan Tanah Putih, Semarang, sejak 2005. Nama itu dipakai karena panggungnya ada di bawah pohon beringin. “Teman-teman di Yogya lebih beruntung, punya kesempatan tampil lebih banyak,” kata Reza, manajer komunitas ini.
L.N. Idayanie, Anang Zakaria, Heru C.N., Bernada Rurit
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo