PETA kekuatan dunia renang berubah. Dalam kejuaraan dunia renang yang berakhir Minggu pekan lalu di Perth, Australia, tim Cina mengejutkan dengan menempati urutan kedua, setelah Amerika Serikat. Biasanya, AS, Jerman Timur, dan Jerman Barat silih berganti menempati urutan pertama dan seterusnya. Lagi pula, dalam soal superstar kolam renang, dunia tadinya cuma mengenal nama Matt Biondi dan Janet Evans (AS), Kristin Otto dan Michael Gross (Jerman). Di Perth, Cina mengukuhkan diri sebagai negara superpower baru di kolam renang dengan delapan medali emas, sementara AS meraih 17 emas. Dalam deretan mahabintang, Cina mampu memunculkan perenang putri Lin Li dan peloncat indah Gao Min yang merebut masing-masing dua emas. Lalu, tentu saja, Sun Shuwei, peloncat indah yang menumbangkan rekor jago AS Greg Louganis dalam 10 meter platform. Tampaknya, di masa depan Cina akan menjadi raksasa loncat indah. Apalagi peloncat indah Cina sekarang ini umurnya masih belasan tahun. Sun Shuwei, misalnya, masih 14 tahun. Fu Mingxia, yang merebut emas pertama Cina untuk nomor menara, baru 12 tahun. Di Olimpiade Seoul dan Goodwill Games 1990, Mingxia juga meraih medali emas. Yang agak senior hanya Gao Min, kini 19 tahun. Dan Lin Li, perenang putri asal Nantong, di Provinsi Jiangsu, sudah 20 tahun. Kalau Cina hebat, tak mengherankan. Pembinaan di usia dini, sistem pelatihan yang sangat berat, serta disiplin atletnya yang tinggi merupakan jawaban atas sukses itu. Gao Min berlatih sejak usia empat tahun ketika masuk sekolah olahraga pada musim libur di Zigong, Provinsi Sichuan. Pada usia itu ia sudah mulai dilatih oleh Yang Qiang, pelatih loncat sekolah tadi. Yang Qiang sampai sekarang adalah pelatih Gao Min. Masa remaja Gao pun habis di kolam renang. Yang Qiang akan membangunkannya jam enam pagi, lalu menggiring Gao ke kolam. Bagian paling sulit dari tugas Yang Qiang adalah menghilangkan rasa takut anak "ingusan" itu untuk terjun dan melakukan berbagai manuver dari atas papan loncat. Yang Qiang dikenal keras. Ketika Gao salah, dan salah lagi melakukan manuver, pelatih ini mengambil sapu lidi dan memukul tangan Gao Min. Tetapi, kalau waktu latihan usai, Yang Qiang kemudian mengambil gitarnya dan menyanyikan lagu-lagu merdu. Di kala malam menjelang pertandingan, untuk menenteramkan hati Gao Min, Yang Qiang biasanya menceritakan kisah-kisah menarik, sampai Gao Min tertidur pulas. Lalu, di pagi hari, ketika Gao lagi-lagi salah, Yang Qiang akan berteriak, "Kemari, coba lakukan sit-up 30 kali." Lin Li, yang di Olimpiade Seoul masih menempati urutan ketujuh dalam dua nomor pertandingan, juga berlatih sangat keras pada usia enam tahun. Untuk mencapai kolam renang, anak buruh rendah di Nantong ini harus naik bis selama 40 menit. Fisiknya yang kuat dan wajahnya yang mirip laki-laki -- pada masa kecil ia sering baku hantam dengan anak laki-laki -- membuat prestasi Lin Li cepat melambung. Pada usia sembilan tahun, Lin Li sudah menjuarai pertandingan yunior provinsi. Suksesnya ini memberinya beasiswa untuk masuk di sekolah olahraga di Nan- jing. Tadinya, para pelatihnya pesimistis akan Lin Li karena tinggi badannya tak menunjang. Pada usia 10 tahun, Lin Li baru mencapai tinggi 140 cm. Namun, Lin Li tak menyerah, dan terus berlatih keras. Dan pada Pekan Olahraga Cina di Guangzhou, 1987, Lin Li yang sudah berusia 17 tahun menumbangkan perenang-perenang nasional Cina yang dipersiapkan untuk berbagai kejuaraan. Namun, di Olimpiade Seoul 1988, nasibnya kurang bagus. Dalam dua nomor pertandingan, Lin Li hanya berada di peringkat ketujuh. Dan pulang dari Seoul, ia berlatih lebih "gila-gilaan". Dua tahun setelah itu, pada Kejuaraan Pan-Pacific, Lin Li merebut dua medali emas. Prestasi Cina di kolam renang memang maju pesat. Menurut statistik 1989, ada 10 perenang Cina yang sekarang ini berada dalam "25 Besar Dunia" setelah bertanding di 18 events bergengsi di dunia. Di Asia, Cina sudah sangat jauh meninggalkan Jepang, sebagai negara terkuat kedua di Asia. Di Asian Games Beijing, Cina merebut hampir semua dari 40 emas yang disediakan. Kalau dibandingkan prestasi Indonesia, sungguh sangat jauh dari Cina. Di Perth, perenang Indonesia Wirmandi Sugriat, yang tampil di final ekshibisi 50 meter gaya dada, hanya mampu menjadi juru kunci dari tujuh peserta. Regu estafet 4 X 50 meter putri Indonesia yang masuk final hanya menempati urutan kelima, sementara regu putranya malah di tempat ketujuh. Indonesia belum berhasil meraih satu medali pun di Perth. Di mana letak ketinggalan kita? Banyak hal harus dibenahi. Misalnya, soal pemanduan atlet berbakat, pembinaan atlet usia muda, disiplin atlet dan pelatihnya, serta sistem pembinaan berjenjang sampai ke daerah. Kita perlu belajar dari Cina, jika kita ingin meningkatkan prestasi atlet-atlet kita. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini