BEKAS pemimpin redaksi mingguan Monitor, Arswendo Atmowiloto, baru pekan ini akan duduk di kursi terdakwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, berita mingguan tabloid dengan judul "Kagum 5 Juta", yang menghebohkan umat Islam itu, rupanya sudah diadili di pengadilan yang sama, pekan-pekan lalu. Salah satu organisasi masyarakat umat Islam, Ikatan Pemuda Tarbiyah Islamiyah (IPTI), menggugat tabloid itu beserta bekas pemimpin redaksinya, Arswendo, 42 tahun. Dengan mengatasnamakan umat Islam. IPTI menuntut ganti rugi, tak tanggung-tanggung, Rp 200 milyar, dari Monitor dan Wendo -- panggilan Arswendo. " Angket itu telah merugikan umat Islam, baik moril maupun materiil," kata Ketua Umum IPTI, Masiga Bugis, 43 tahun, yang juga bertindak sebagai kuasa IPTI di pengadilan. Angket "Kagum 5 Juta" itu memang sempat menggemparkan umat Islam pada akhir Oktober sampai November silam. Dalam angket yang dimuat Monitor edisi 15 Oktober 1990 itu, Nabi Muhammad saw. hanya menduduki peringkat ke-11 dari tokoh-tokoh yang dikagumi pembaca Monitor. Peringkat Nabi tersebut berada di bawah peringkat Presiden Soeharto, Menristek Habibie, penyanyi Iwan Fals, bahkan persis di bawah Wendo, yang menduduki peringkat ke-10. Masyarakat Islam pun marah dan menuding Wendo telah menghujat Nabi Muhammad saw. karena menyejajarkan Rasulullah dengan manusia-manusia biasa. Berbagai aksi protes, kecaman, dan demonstrasi muncul di beberapa kota. Kantor Monitor di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat, pun diserbu massa. Akibatnya, Wendo terpaksa minta maaf kepada umat Islam melalui TVRI dan iklan di sejumlah koran, selain minta perlindungan hukum ke Polres Jakarta Pusat. Wartawan dan penulis produktif itu pun dicopot dari semua jabatannya di Gramedia, dan SIUPP Monitor dibatalkan. Sebagian umat Islam memilih jalur hukum ketimbang demonstrasi. Misalnya organisasi Pemuda Muhammadiyah dan IPTI. Mereka menggugat Monitor dan Wendo. Belakangan, Pemuda Muhammadiyah menangguhkan gugatannya karena ingin menunggu keputusan pengadilan pidana terhadap Wendo. Tinggallah gugatan IPTI, yang pada Selasa pekan ini sampai pada acara replik. Menurut Masiga Bugis, ulah Wendo dengan angketnya itu merupakan penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw., yang berarti menghina Allah, menistakan secara keji umat Islam, yang sudah berabad-abad mempertahankan dan memulihkan akidah. Jelas, tindakan itu, kata Masiga, termasuk perbuatan melawan hukum. Wendo, tambahnya, bukan hanya melanggar asas kepatutan di masyarakat dan akidah umat Islam. Perbuatan itu, katanya lagi, juga bertentangan dengan Pancasila, UUD '45, Undang-Undang Pokok Pers tahun 1982, plus kode etik dunia pers. Berdasarkan itu, IPTI menuntut ganti rugi Rp 200 milyar. Ganti rugi ini, menurut Masiga, harus ditanggung renteng oleh Wendo dan Monitor, beserta PT Gema Tanah Air (penerbit Monitor), PT Kompas Media Nusantara (penerbit harian Kompas), dan percetakan Gramedia. Persoalannya, berhakkah IPTI mengatasnamakan umat dalam gugatan itu. Repotnya, jenis gugatan yang mengatasnamakan kelompok orang ini (class action) belum dikenal dalam hukum acara perdata kita. Hal itu berbeda dengan beberapa negara Anglo Saxon, seperti AS dan Inggris, yang sudah lama mengenal tata cara serupa itu. Di persidangan, Prof. Oemar Senoadji -- kuasa hukum PT Gema Tanah Air, Monitor, dan Wendo -- menganggap IPTI tak bisa mewakili umat. Islam selaku penggugat. Sebab, katanya, IPTI bukanlah pihak yang secara langsung dirugikan oleh pemberitaan Monitor tadi. Dengan kata lain, IPTI tak punya kepentingan dan hubungan hukum. Tak lupa Oemar mencantumkan kasus tuntutan ganti rugi Rp 1 trilyun, yang diajukan R.O. Tambunan terhadap PT Bentoel. Dalam gugatannya, pengacara itu menganggap perusahaan rokok itu telah meracuni generasi muda dengan nikotin. Namun, gugatan itu, pada 1 Juni 1988, ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut hakim, Tambunan dinilai tak punya hubungan hukum dengan para remaja yang diklaim itu telah diwakilinya. Tentang apakah angket itu suatu penghinaan, menurut Oemar, biarlah pengadilan pidana yang memutusnya. Begitupun, guru besar hukum pidana FH UI itu menyatakan bahwa KUHP hanya mengenal penghinaan terhadap golongan agama dan agama. Namun, tak ada satu pasal pun tentang penghinaan terhadap Tuhan, nabi, kitab suci, pemuka agama, atau lembaga sistem agama, seperti halnya yang dimiliki Belanda serta Inggris. Kuasa hukum Kompas dan Gramedia, H.M. Dault, menganggap tuntutan ganti rugi Rp 200 milyar itu berlebihan. Sebab, katanya, dari segi akidah Islam, sama sekali tak dibenarkan menuntut ganti rugi berupa uang akibat penghinaan nama Rasulullah. "Janganlah setelah berapi-api menuntut, buntutnya cuma minta ganti rugi. Ini kan untuk menjaga citra Islam," kata pengacara yang bekas jaksa itu kepada Andy Reza Rohadian dari TEMPO. Perihal ganti rugi ini juga dipersoalkan beberapa organisasi Islam (lihat Agama). Masiga Bugis membantah anggapan bahwa ganti rugi itu dimaksud menaksir nilai Rasulullah. "Itu sama sekali tak benar, dan memang tak boleh," ujarnya. Ganti rugi itu, katanya, semata-mata sebagai akibat perbuatan Arswendo, yang telah menimbulkan gejolak dan kerugian buat umat Islam. Adapun soal kualitas IPTI, "Kami menggugat atas nama umat Islam, khususnya sekitar sejuta pemuda Islam yang terhimpun dalam IPTI," kata Masiga Bugis. Ia menambahkan bahwa gugatan itu berpegang pada surat kuasa resmi dari DPP IPTI. Lebih dari itu, "Setiap orang muslim pasti punya hubungan dan kepentingan hukum dengan Nabi Muhammad saw. Kalau ada orang yang menyangsikan kepentingan hukum ini, sungguh keterlaluan," katanya. Happy S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini