WALAU atlet bulu tangkis sejak dulu sudah terbiasa menang di turnamen-turnamen internasional, sukses di Olimpiade Barcelona 1992 kali ini termasuk mengagumkan. Dua emas untuk tunggal putra dan putri, dua perak untuk tunggal putra dan ganda putra, dan satu perunggu untuk tunggal putra, di luar perkiraan mengingat persaingan sekarang lebih ketat. Menurut Titus Kurniadi, ketua bidang luar negeri PBSI, tak ada target sebanyak itu. PBSI hanya menargetkan satu emas dari tunggal putri, satu perak dari ganda putra dan satu perunggu dari tunggal putra. Sukses itu berkat latihan mati-matian ke13 atlet bulu tangkis selama dua bulan penuh sebelum berangkat ke Barcelona. Terutama Alan Budikusuma yang berusaha memulihkan prestasi setelah anjlok di perebutan Thomas Cup di Kuala Lumpur -- ia dikalahkan atlet Malaysia, Foo Kok Keong. Satu kunci lagi adalah bulu tangkis itu telah melakukan pelatnas jangka panjang bertahun-tahun. "Olimpiade dijadikan sasaran utama. Peaknya memang dipola untuk Barcelona," kata Ketua Bidang Pembinaan PBSI, M.F. Siregar. Olah raga ini memang primadona di Indonesia. Andai kata dari dulu-dulu olah raga ini digelar di olimpiade, sudah pasti dari dulu-dulu pula Indonesia Raya berkumandang di sana. Lihatlah kehebatan pemain-pemain kita. Di bagian putra pernah dikenal adanya tujuh pendekar, yakni Rudy Hartono (8 kali juara All England), ganda Christian/Ade Chandra (tiga kali juara), Chun Chun/Johan Wahyudi (tujuh kali juara), Liem Swie King (tiga kali juara), plus Icuk Sugiarto yang juara dunia 1983 di Kopenhagen. Di bawah "pendekar tujuh" ada lagi yang lain, seperti ganda putra Hariyanto/Kartono, juga Iie Sumirat yang membantai para pemain Cina di Bangkok tahun 1975. Begitu pula ganda putra Chun Chun/Johan Wahyudi, Chun Chun/Ade Chandra dan ganda putri Verawati/Imelda, ganda campuran Imelda/Christian. Sedangkan di putri ada Minarni, Imelda Wiguna, Regina Masli, Tuti W., Utami D., Tati Sumirah. Tapi mengapa di cabang lain atlet Indonesia tak tampil "mendunia"? Misalnya, senam. "Yang jadi masalah di senam adalah tempat latihan dan peralatan yang masih kurang," kata Sudjihadi, pelatih nasional senam putra. Untuk menunjang prestasi, mestinya punya peralatan lengkap yang bisa menjamin keselamatan berlatih. Jadi, sepanjang pengaman itu tak ada, pelatih tak berani mengajari anak buahnya, meski secara teoretis dan gerakan dikuasainya. Sebut misalnya, alat jomblangan sedalam 1,5 meter seluas 5 x 5 meter hanya ada satu di hall senam DKI. Itu pun kurang memenuhi syarat. Seharusnya lobang panjang itu sepuluh meter sehingga gerakan akrobatik bisa leluasa dilakukan. Dengan cuma satu lobang itu, dan di satu tempat, para pesenam berebut latihan. Problem lain adalah minat. Pada awalnya bibit-bibit dasar itu banyak. Tapi begitu mulai berlatih serius, pagi dari pukul 05.00 sampai 06.30 dan sorenya dari pukul 15.00 20.00, "Orang tua yang mengantar pun bisa lemas melihat jadwal begini," kata Sudjihadi kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Ini problem klasik di sini: pilih sekolah atau olah raga? Banyak yang mengutamakan sekolah. KONI memasukkan senam ke dalam proyek khusus. Maksudnya, di samping ada pemusatan latihan daerah, juga ada pembinaan prestasi olah raga untuk pelajar. Tak ada pemusatan latihan secara nasional yang berjangka panjang. Padahal, mestinya membina senam itu seperti air mengalir. "Tapi kini pembinaannya terlambat dan berfokus pada yang itu-itu saja. Lupa membina dari bawah," kata Sudjihadi. Lagi pula, melatih senam tak bisa massal. Bayangkan: harus berteriak-teriak, memperhatikan gerak tubuh, sementara yang lain minta putaran salto pemula. Kendala di cabangcabang lain hampir sama. Itu yang membuat di negeri yang mengibarkan slogan "memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat" ini cuma bulu tangkis yang berjaya. Lalu negara berpenduduk 180 juta ini -- dengan stabilitas mantap dan terkendali -- dalam Olympiade Bercelona 1992 hanya menggaet dua medali emas, sedangkan negara-negara di Eropa yang tengah dilanda krisis politik dan ekonomi dengan penduduk sedikit menggondol lebih banyak medali emas. Tentu ada sebab lain, di luar peralatan dan sarana latihan. Tak semua cabang-cabang olah raga dibina dengan konsep pembinaan yang jelas dan terarah. Menurut Rusli Lutan, pengajar di Fakultas Pendidikan Olah Raga dan Kejuruan IKIP Bandung, sampai kini kita tidak punya spesialisasi olah raga yang harus dibina dengan penuh perhatian. Maksudnya adalah pembinaan sejak awal. Pendidikan olah raga di sekolah-sekolah bukan ditujukan untuk mencapai prestasi. Murid lebih banyak disuruh menghafal berapa ukuran lapangan sepak bola atau bulu tangkis ketimbang mempraktekkan olah raga itu. Kalaupun dipraktekkan, di mana ada lapangan? "Jadi, kalau ingin mencapai prestasi, ya, harus mengikuti pendidikan ekstrakurikuler. Inilah yang belum kita lakukan, yaitu menjaring bibit unggul dari jutaan anak-anak kita yang masih duduk di bangku SD," kata Rusli. Rusli mengamati, selama ini para atlet yang berprestasi rata-rata karena dorongan semangat keluarga masing-masing pada usia dininya. Contohnya, ya, Susi Susanti, Alan Budikusuma, Elvira Rosa Nasution, Yayuk Basuki. Mereka sejak usia SD sudah berlatih di lingkungan keluarga yang getol berolah raga dan berambisi meraih prestasi. Bukan dorongan guru di sekolahnya. "Di lain pihak, masyarakat kita belum olah raga minded, mereka rata-rata sangat terlambat belajar olah raga," kata Rusli lagi. Pendapat Rusli ini sepenuhnya disetujui rekannya dari IKIP Yogya, Prof Dr Sardjono. Sardjono bahkan menyayangkan diciutkannya jam pelajaran olah raga di SD dari tiga kali seminggu menjadi hanya sekali dalam seminggu. Bahkan pada kurikulum 1984, murid kelas 3 SMA tidak mendapat pelajaran olah raga. Sardjono teringat di masa lalu, tahun-tahun 1950-an sampai 1960-an. Hampir di setiap sekolah ada lapangan olah raga. Atau ada halaman yang luas sebagai sarana berolah raga. Pelajaran olah raga diujikan sehingga siswa punya motivasi gemar berolah raga. Tapi kini di lapangan itu didirikan gedung dan para guru olah raga sibuk mencari kerja sampingan untuk menopang periuk keluarganya. Selain itu, menurut Sardjono yang disertasinya mengenai senam dan kesegaran jasmani, banyak pelatih yang tak dapat menyusun program latihan secara benar karena tak mengerti dasar-dasar ilmu pendidikan. "Akibatnya, pelatih yang mestinya mengerti ilmu jiwa dan mampu membangun hubungan yang serasi itu sering bentrok dengan atlet asuhnya. Akibat serius lainnya, ia tak mampu menyiasati saat puncak seorang atlet. Lazimnya, atlet hanya digenjot saja," katanya. Tapi bagi Setyo Nugroho, yang sehari-harinya juga mengajar mata kuliah olah raga di IKIP Yogya, perkembangan olah raga Indonesia tidaklah sesuram seperti dibayangkan orang. Itu kalau dibandingkan dengan perkembangan olah raga di negeri berkembang lainnya. Sebab, kata doktor yang disertasinya mengenai latihan angkat berat bagi atlet bulu tangkis ini, pertumbuhan ekonomi niscaya juga menentukan maju-mundurnya perkembangan olah raga. Fasilitas di pelatnas, menurut Nugroho, cukup baik. Tetapi untuk membina dan mengembangkan olah raga tidak cukup hanya di lingkungan pelatnas saja. Masyarakatnya juga perlu dibina. "Masyarakat yang rata-rata bergizi rendah tentu tidak bisa diharapkan dapat melahirkan bibit unggul atlet yang memiliki fisik yang memenuhi syarat," katanya. Repotnya, masyarakat juga masih beranggapan olah raga hanya sebagai sampingan, bukan bagian dari kebutuhan hidup. Dibanding dengan negeri berkembang lain, Indonesia memang jauh dari lumayan. Dengan India, misalnya. Dalam Olimpiade Barcelona minggu lalu regu hockey negeri ini, yang dikenal hebat, dipermalukan oleh tim tuan rumah Spanyol dengan 2-1. Bahkan tajuk rencana harian The Times of India mengejek dengan menyatakan "belasungkawa sedalam-dalamnya". Begitu memprihatinkannya sampai-sampai Menteri Olah Raga Mamata Beanerjee memutuskan tidak akan mengirim atlet dalam pertandingan olah raga internasional selama empat tahun. Tapi melihat kegagalan India seperti itu -- dibanding dengan pembinaan olah raga di Indonesia yang masih belum sempurna -- tentu saja bukan merupakan hiburan untuk menenteramkan hati. Cobalah tengok, misalnya, pembinaan olah raga di Korea Selatan dengan melihat hasil yang dicapai para atlet mereka dalam Kejuaraan Menembak se-Asia untuk Wanita dan Junior di hotel Kartika Plaza Jakarta Oktober 1981 lalu. Ini sekadar contoh. Korsel waktu itu memborong 13 medali emas. Ketua Perbakin Muhammad Anwar mengagumi tim Korea Selatan yang berbekal "semangat patriotisme". Namun patriotisme saja ternyata tak cukup. Bantuan pemerintah, nenurut ofisial Kim Ki Hwan, sangat besar, termasuk perlengkapan bagi petembak yang berprestasi. Mereka juga giat berlatih: lima kali seminggu, tiap kali empat jam. Selain itu, inilah hebatnya, untuk berangkat ke tempat latihan mereka dijemput mobil khusus. Bagaimana tim petembak Indonesia? Perlengkapan para atlet tidak kalah, memang. Tapi Sersan (AU) Sri Suharti, salah seorang atlet petembak, misalnya, hanya berlatih setiap hari Jumat alias seminggu sekali, itu pun setiap kali hanya selama empat jam. "Lagi pula latihan fisiknya tidak teratur, dipercayakan kepada masing-masing," tutur Sri yang datang berlatih mengendarai bus kota. Ia cuma sekali-sekali saja lari tiga kilometer atau berenang. Bagaimana dengan para atlet di Persemakmuran Negara-negara Merdeka? "Atlet adalah warga negara kelas satu," kata pelatih sepak bola Anatoly F. Polosin beberapa waktu lalu -- ia pernah dikontrak PSSI. Untuk menjadi si nomor satu itu tentu saja harus melalui seleksi fisik dan kecerdasan dengan ketat. Pemain bulu tangkis Andrei Antropov (yang pernah merepotkan Ardy B. Wiranata di semifinal Kopenhagen), misalnya, adalah anak terpandai di sekolahnya. Para atlet diarahkan ke salah satu cabang tertentu. Atlet yang tampak berbakat dan maju bisa dipromosikan, dari tingkat lokal, regional, nasional, dan seterusnya. Mereka dibina dalam pelatnas dengan sistem desentralisasi. Budiman S. Hartoyo, Sri Wahyuni, Happy Sulistyadi (Bandung), R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini