PENGUNDURAN diri Tahir Jide, 38, sebagai pelatih fisik tim
nasional bulutangkis tak kurang mengundang pendapat sumbang
terhadap dia. Ada yang mengatakan pengunduran dirinya itu punya
kaitan dengan kemerosotan mutu regu nasional saat ini. Misalnya,
gagalnya pemain-pemain lndonesia (kecuali pasangan ganda
Tjuntjun/Johan Wahyudi) mempertahankan supremasi di turnamen All
England 1977. Juga akibat tersisihnya Verawaty di tangan pemain
Sylvia Ng dalam final perorangan SEA Games IX di Kuala Lumpur,
Nopember lalu. Dan ada pula tuduhan yang lebih pahit: pemain
mulai tak menyenangi dirinya.
Benarkah kecurigaan itu? Tahir membantah semua. Ia mengatakan
kalau pengunduran dirinya itu ada hubungan dengan faktor
kegagalan dalam suatu turnamen. ia seharusnya sudah mundur dari
pelatnas 2 tahun lampau, ketika Rudy Hartono gagal membuat debut
sebagai juara All England kali berturut-turut. Akan hubungan
dengan pemain, ditambahkannyaj semuanya berjalan baik. Bahkan
bertambah erat dibandingkan dengan tahun 1972 -- tahun permulaan
ia memasuki pelatnas sebagai pelatih.
Lalu, apa motif sebetulnya? "Saya melihat pemain-pemain kita
sekarang ini memerlukan motivasi baru untuk meningkatkan
kegairahan dan prestasi mereka," kata Tahir. "Motivasi itu bisa
berupa perubahan suasana, pergantian pelatih, dan macam-macam
lainnya." Dan jalan yang ditempuhnya adalah untuk mengundurkan
diri (sementara) guna memberi kesempatan pada orang lain untuk
menciptakan suasana baru itu. Selain hal tersebut, ia juga
mengatakan bahwa faktor pemberian perhatian terhadap keluarga
ikut mempengaruhi. "Lima tahun terakhir ini, saya hampir tak
punya waktu buat anak-anak," lanjut Tahir yang tinggal di
pelatnas (Jakarta) 5 hari dalam seminggu. "Betul saya pulang di
akhir pekan, tapi di rumah pekerjaan sekolah pun sudah menumpuk
untuk diselesaikan. Belum lagi saya harus melatih senam dan
lain-lain." Tahir adalah dosen mata kuliah Permainan (sepakbola,
hockey, dan bola tangan) di FKIK (d/h STO) di Bandung.
Pertimbangan itu disampaikannya kepada Ketua Bidang Pembinaan
PBSI Sumarsono ketika mereka masih berada di Kuala Lumpur
mengikuti SEA Games IX. Sumarsono memakluminya. Setelah bertukar
pendapat dengan para pemain dan pembina lainnya, pilihan PBSI
jatuh pada Sukartono, pelatih fisik tim nasional bulutangkis
periode 1971 untuk menggantikan kedudukan Tahir. "Kemampuan pak
Sukartono untuk menggembleng fisik pemain bulutangkis tak perlu
diragukan. Ia tahu apa yang harus dikerjakannya," kata Tahir
mengomentari kolega yang menggantikannya. "la toh, bukan orang
baru di PBSI." Sukartono adalah dosen FKIK di Bandung.
Tanggungjawab Sumarsono
Kehadiran Sukartono memang tak mengundang kesangsian orang. Tapi
yang menggelitik kini adalah tercantumnya nama 2 bekas pemain
nasional Darmawan Saputra (d/h Tan King Gwan) dan Pujianto (d/h
Lie Po Jian) sebagai pelatih teknik pemain puteri dan putera.
Jabatan ini dulu dipegang oleh Willy Budiman. Dan adalah Umar
Sanusi, Sekretaris PBSI Jakarta yang menyatakan sikap tidak
setuju terhadap kebijaksanaan Pengurus Besar PBSI tersebut.
"Saya menyangsikan kemampuan kedua pelatih yang ditunjuk
Pengurus Besar itu. Karena mereka belum pernah menangani
pemain-pemain pelatnas," kata Umar seperti yang disiarkan Berita
Yudha, tanggal 10 Desember lalu. "Seorang bekas pemain nasional
belum tentu bisa menangani pelatnas dengan baik. Apalagi jika
metode yang akan diterapkannya nanti adalah metode lama, maka
akan berantakanlah jadinya."
Sebutan bekas pemain nasional memang belum bisa dijadikan ukuran
suksesqya seseorang bila jadi pelatih. Tapi Pujianto maupun
Darmawan bukanlah orang baru yang berkecimpung di pelatnas.
Pujianto pernah menjadi pelatih teknik tim Piala Thomas
Indonesia tahun 1970. Ketika itu pelatih fisiknya adalah Irsan
(almarhum). edang l)armawan sekali pun tidak pernah tercantum
namanya secara resmi, ia tak kurang memberikan sumbangan fikiran
dalam persiapan Piala Uber tahun 1975. "Seandainya nanti
hasilnya tidak memuaskan, itu adalah tanggung jawab saya," kata
Sumarsono.
Bertolak dari pengalaman Tahir dan masuknya angin baru di
pelatnas, bagaimana harapan Indonesia dalam mempertahankan Piala
Uber bulan Mei depan di Auckland, Selandia Baru? "Kans kita
untuk tetap mempertahankan Piala Uber 60 banding 40", kata
Sumarsono. Alasannya? Dalam pelatnas kini telah berhembus agin
lain yang diharapkan bisa merubah motivasi pemain yang mulai
jenuh dengan muka pembina yang itu-itu juga. Selain itu,
kemampuan Sukartono, Darmawan, dan Pujianto pun sudah pernah
teruji.
Tapi semua itu perlu mereka buktikan dengan membuat kejutan di
All England dan turnamen Piala Uber, awal tahun depan. Kita
tunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini