Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tahir Mundur. Angin Baru Masuk

Tahir jide, 38, mengundurkan diri sebagai pelatih fisik tim nasional bulu tangkis, digantikan sukartono sebagai pelatih teknik pemain putra/putri ditunjuk 2 bekas pemain nasional, darmawan saputra dan pujiatno.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUNDURAN diri Tahir Jide, 38, sebagai pelatih fisik tim nasional bulutangkis tak kurang mengundang pendapat sumbang terhadap dia. Ada yang mengatakan pengunduran dirinya itu punya kaitan dengan kemerosotan mutu regu nasional saat ini. Misalnya, gagalnya pemain-pemain lndonesia (kecuali pasangan ganda Tjuntjun/Johan Wahyudi) mempertahankan supremasi di turnamen All England 1977. Juga akibat tersisihnya Verawaty di tangan pemain Sylvia Ng dalam final perorangan SEA Games IX di Kuala Lumpur, Nopember lalu. Dan ada pula tuduhan yang lebih pahit: pemain mulai tak menyenangi dirinya. Benarkah kecurigaan itu? Tahir membantah semua. Ia mengatakan kalau pengunduran dirinya itu ada hubungan dengan faktor kegagalan dalam suatu turnamen. ia seharusnya sudah mundur dari pelatnas 2 tahun lampau, ketika Rudy Hartono gagal membuat debut sebagai juara All England kali berturut-turut. Akan hubungan dengan pemain, ditambahkannyaj semuanya berjalan baik. Bahkan bertambah erat dibandingkan dengan tahun 1972 -- tahun permulaan ia memasuki pelatnas sebagai pelatih. Lalu, apa motif sebetulnya? "Saya melihat pemain-pemain kita sekarang ini memerlukan motivasi baru untuk meningkatkan kegairahan dan prestasi mereka," kata Tahir. "Motivasi itu bisa berupa perubahan suasana, pergantian pelatih, dan macam-macam lainnya." Dan jalan yang ditempuhnya adalah untuk mengundurkan diri (sementara) guna memberi kesempatan pada orang lain untuk menciptakan suasana baru itu. Selain hal tersebut, ia juga mengatakan bahwa faktor pemberian perhatian terhadap keluarga ikut mempengaruhi. "Lima tahun terakhir ini, saya hampir tak punya waktu buat anak-anak," lanjut Tahir yang tinggal di pelatnas (Jakarta) 5 hari dalam seminggu. "Betul saya pulang di akhir pekan, tapi di rumah pekerjaan sekolah pun sudah menumpuk untuk diselesaikan. Belum lagi saya harus melatih senam dan lain-lain." Tahir adalah dosen mata kuliah Permainan (sepakbola, hockey, dan bola tangan) di FKIK (d/h STO) di Bandung. Pertimbangan itu disampaikannya kepada Ketua Bidang Pembinaan PBSI Sumarsono ketika mereka masih berada di Kuala Lumpur mengikuti SEA Games IX. Sumarsono memakluminya. Setelah bertukar pendapat dengan para pemain dan pembina lainnya, pilihan PBSI jatuh pada Sukartono, pelatih fisik tim nasional bulutangkis periode 1971 untuk menggantikan kedudukan Tahir. "Kemampuan pak Sukartono untuk menggembleng fisik pemain bulutangkis tak perlu diragukan. Ia tahu apa yang harus dikerjakannya," kata Tahir mengomentari kolega yang menggantikannya. "la toh, bukan orang baru di PBSI." Sukartono adalah dosen FKIK di Bandung. Tanggungjawab Sumarsono Kehadiran Sukartono memang tak mengundang kesangsian orang. Tapi yang menggelitik kini adalah tercantumnya nama 2 bekas pemain nasional Darmawan Saputra (d/h Tan King Gwan) dan Pujianto (d/h Lie Po Jian) sebagai pelatih teknik pemain puteri dan putera. Jabatan ini dulu dipegang oleh Willy Budiman. Dan adalah Umar Sanusi, Sekretaris PBSI Jakarta yang menyatakan sikap tidak setuju terhadap kebijaksanaan Pengurus Besar PBSI tersebut. "Saya menyangsikan kemampuan kedua pelatih yang ditunjuk Pengurus Besar itu. Karena mereka belum pernah menangani pemain-pemain pelatnas," kata Umar seperti yang disiarkan Berita Yudha, tanggal 10 Desember lalu. "Seorang bekas pemain nasional belum tentu bisa menangani pelatnas dengan baik. Apalagi jika metode yang akan diterapkannya nanti adalah metode lama, maka akan berantakanlah jadinya." Sebutan bekas pemain nasional memang belum bisa dijadikan ukuran suksesqya seseorang bila jadi pelatih. Tapi Pujianto maupun Darmawan bukanlah orang baru yang berkecimpung di pelatnas. Pujianto pernah menjadi pelatih teknik tim Piala Thomas Indonesia tahun 1970. Ketika itu pelatih fisiknya adalah Irsan (almarhum). edang l)armawan sekali pun tidak pernah tercantum namanya secara resmi, ia tak kurang memberikan sumbangan fikiran dalam persiapan Piala Uber tahun 1975. "Seandainya nanti hasilnya tidak memuaskan, itu adalah tanggung jawab saya," kata Sumarsono. Bertolak dari pengalaman Tahir dan masuknya angin baru di pelatnas, bagaimana harapan Indonesia dalam mempertahankan Piala Uber bulan Mei depan di Auckland, Selandia Baru? "Kans kita untuk tetap mempertahankan Piala Uber 60 banding 40", kata Sumarsono. Alasannya? Dalam pelatnas kini telah berhembus agin lain yang diharapkan bisa merubah motivasi pemain yang mulai jenuh dengan muka pembina yang itu-itu juga. Selain itu, kemampuan Sukartono, Darmawan, dan Pujianto pun sudah pernah teruji. Tapi semua itu perlu mereka buktikan dengan membuat kejutan di All England dan turnamen Piala Uber, awal tahun depan. Kita tunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus