MENGENAI keadaan Wasdri sekarang ini, pembantu TEMPO di
Pekalongan Churoi Mulyo memerlukan datang ke Desa Klidang
Wetan, Batang, Jawa Tengah. Usaha mewawancarai Wasdri secara
tcratur ternyata tidak berhasil. "Orangnya betul-betul
nyentrik." Keterangan diperoleh dari keluarga, dan Wasdri --
bagaikan pejabat penting yang menyaksikan juru bicaranya
menghadapi wartawan -mendengarkan ibunya bicara:
Menjelang Idul Adha kemarin Wasdri kembali ke Jakarta. Kali ini
ia berpamitan baik-baik dengan ibunya yang janda, Kaltomah (65
tahun). Ia berbekal uang sekedar ongkos. Hanya ia berdandan
cukup keren: berkemeja baru pergelangan tangannya dililit
arloji.
Mau apa di Ibukota? Ia sendiri tak tahu. Tinggalnya pun di....
emper-emper toko di bilangan Pasar Baru. Wasdri (26) bilang:
"Yah, gelandanganlah." Tapi ia gelandangan yang mujur. Di salah
sebuah emper toko ia ketemu Sutradara Nico Pelamonia. Sutradara
ini memang sengaja memburu Wasdri untuk membintangi filmnya yang
berjudul Wasdri itu. Sebelumnya memang sudah diubernya ke Desa
Klidang Wetan, Batang (Jawa Tengah), kampung halaman Wasdri --
tak ketemu. Dan Nico berhasil setelah mengubek tempat-tempat
gelandangan.
Sejak itu Wasdri di bawah "perlindungan" sang sutradara. Tapi
pemuda Batang itu enggan tinggal di rurnah Nico. "Malu, ah",
katanya. Ia hanya mau menerima suplai uang makan dan rokok.
Dasar Wasdri. Tampangnya memang angin-anginan. Pada hari Selasa
malam Rabu, pertengahan bulan lalu, ia mbolos dan kembali ke
kampung halamannya. Untuk itu ia terpaksa menjual arlojinya, Rp
600, padahal dulu dibelinya dengan harga Rp 5.000. Juga
kemejanya yang dulu dibelinya tak kurang dari Rp 3.000,
dijualnya saja Rp 500. Itupun hanya cukup untuk sampai ke Tegal.
Untuk melanjutkan perjalanan ke Batang dijuallah baju yang
melekat di badannya, Rp 200. Dengan menahan lapar dan keinginan
merokok, sampai juga Wasdri di rumah.
Tempo hari, begitu jadi pokok berita (dihukum 3 bulan dengan
tuduhan memeras jaksa wanita) ia jadi terkenal juga di
kampungnya sendiri. Ketika diberitakan koran bahwa dia akan
pulang selepas dari Penjara Cipinang, orang sekampung pada
menunggununggu. Ibu Kaltomah, janda Lurah Dasimun, sedih
menyambut anaknya "Dia tinggal balung (tulang) dengan kulit
saja." Mana loyo dan sakit-sakitan lagi.
Tapi kampung Klidang Wetan lantas kebanjiran tamu - padahal
tempatnya terpencil di sebelah utara Kota Batang. Ada wartawan,
pelajar, mahasiswa, guru -- hampir semuanya membawa sumbangan.
Mahasiswa UGM misalnya, datang ke sana membawa oleh-oleh kaos
oblong bergambar Wasdri dan uang sumbangan Rp 37.000. Wasdri
menerima sekitar Rp 125.000 - termasuk yang lewat pos wesel.
Tapi, menurut ibu Wasdri, uang itu habis juga untuk membiayai
anaknya. Untuk memulihkan kesehatan, Wasdri ini sekarang minta
disediai telur dan susu setiap pagi. Di samping itu ibunya juga
memandikannya dengan air panas dan mencekoki jamu dari seduhan
daun johar. Untungrlya, sebelum uang habis, sempat juga
dibelikan 10 ekor kambing. "Untuk tabungan," kata ibu.
Wasdri sendiri tak tahu kalau namanya dibicarakan orang lagi
sehubungan dengan 'pemasungan kreativitas.' "Tak pernah lihat
koran lagi, sih," katanya. Ia merasa lebih tenang tinggal di
kampung. Tak ada pekerjaan apa-apa. Badannya sudah mulai kekar.
Apalagi kalau lagi nampang dengan jaket jeannya. "Ini dari Pak
Nico," ujarnya bangga. Dan di dalamnya tampak kaos putih
bergambar wajahnya, pemberian mahasiswa UGM.
Ia tinggal bersama ibu, adik, ipar serta keponakan. Rumahnya
sendiri kecil, 4 x 10 meter, beratap rumbia dan sudah condong.
Lantai tanah. Ruang depannya tempat warung ibunya: makanan
kecil, kerupuk dan es. Dulu pernah jual rokok. Sekarang tidak
lagi - "habis diisap Wasdri sendiri."
Cita-cita Wasdri sekarang, kata ibunya, ingin kawin dcngan
seorang gadis, anak Pak Mustajab. Ini bikin pusing keluarganya.
Maklum yang diincar Wasdri ini termasuk anak orang terhemuka di
sana. Tapi kata kakaknya, Tohali: "Wasdri memang agak nyentrik,
tapi sckarang sudah sedikit mendingan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini