TAK ada tim yang rajin seperti Cina dalam mengintai kekuatan dan kelemahan lawan. Semua mereka rekam, meskipun mereka sendiri tidak bertanding. Apalagi dalam pertandingan final Piala Thomas melawan Indonesia, 18 Mei di Stadion Negara Kuala Lumpur, "tim bayangan" video dan tukan catat tertebar di tia tempat. Baik juru kamera maupun tukang catat itu tampaknya bekerja dalam satu unit. Di mana ada video, di situ paling tidak ada empat tukang catat. Suatu ketika Han Jian terlihat duduk mendampingi juru kamera sambil memberikan komentar untuk direkam. Tim lain tidak tampak melakukan kegiatan macam itu. "Kekuatan lawan-lawan harus kita ketahui jauh-jauh hari. Kalau tidak kita bisa terjegal," ucap Chen Fu-shou, 56, anggota tim pelatih RRC yang khusus menangan pemain putri. Menurut Chen, hasil rekaman video dan catatan tadi dipelajari pemain dalam pemusatan latihan yang biasanya berlangsung selama dua bulan menjelang pertandingan-pertandingan internasional. "Yang menonton tidak hanya pemain yang bakal menghadapi pemain yang ada di dalam rekaman. Tapi juga yang lain. Sehingga, yang diketahui lebih Iengkap," katanya. Catatan-catatan di atas kertas, yang dibuat baik pemain maupun bukan, katanya, untuk melengkapi apa yang tak tertangkap kamera. Begitu juga dengan rekaman suara. Yang dicatat adalah kehebatan dan kelemahan lawan. Salah satu pemain yang tadinya tukang catat, yang kemudian menjadi juara All England 1984 dan juara dunia 1983, adalah Li Ling-wei, 20. Menurut Chen, selain video dan tukang catat yang duduk di samping juru kamera, para pemain diharuskan juga membuat catatan mengenai pertandingannya sendiri. Tak peduli kalah atau menang. Misalnya, kalah dalam Piala Alba 1981 di Jepang dari E umiko Tohkairin, Li Ling-wei mempelajari catatannya dan berulang kali menonton video untuk mengenal permainan pemain tunggal kelas satu dari Jepang itu. "Setelah membuka-buka catatan dan menyaksikan video, Li Ling-wei berkesimpulan bahwa kekalahannya dari Tohkairin karena kurang menyerang ke arah kanan. Sebab, Tohkairin kidal," cerita Chen Fu-shou. Dan benar. Li Ling-wei, tanpa kesulitan menumbangkan Tohkairin (2 0) dalam Kejuaraan Yonex di Tokyo, 1982. Baik Chen Fu-shou maupun pclatih kepala tim RRC, Wang Wen-jiao, menyebutkan bahwa tim dari negeri mana saja bisa mengambil keuntungan dari video dan catatan. Tetapi bagaimanapun dia hanya bersifat menunjang belaka. Bukan hanya video yang membesarkan Li Ling-wei. "Dia memiliki kemauan keras dan orangnya lumayan pintar," kata Chen Fu-shou, orang yang menemukan Li Ling-wei, yang berasal dari Hang Chow itu. Anak guru sekolah menengah yang sekarang belajar di akademi olah raga itu suka menangis kalau kalah, baik dalam pertandingan maupun latihan. "Dia selalu menyesali diri dan punya niat mempertinggi prestasinya. Sifat inilah yang membuat anak ini besar," kata Chou mengenai pemain putri berpipi tembem yang memerah karena panasnya cuaca di Kuala Lumpur. Namun, bukan mustahil gara-gara metode rekaman ini regu Piala Thomas Cina gagal di final. Sebab, waktu itu, setelah Hastomo Arbi beruntung menang, dua partai terakhir susunan pasangan Indonesia diganti mendadak. Ini barangkali membuat dua pasangan Cina, yang tak menduga calon lawannya diganti, bingung dan kalah. Kebetulan, rekaman pasangan Liem Swie King/Kartono rupanya tak terdapat pada stok mereka. Selama ini, pasangan ini baru muncul sekali di Asian Games 1978 di Bangkok, dan cuma sampai babak penyisihan. "Taktik" mengubah susunan pcmain, rupanya, cukup ampuh untuk melawan regu yang suka main intip seperti Cina itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini