Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tanpa bibit, tanpa bobot

Kejuaraan pertama kali yang diikuti oleh 31 klub putra dan 15 klub putri. pemenangnya klub jarum a (putra) dan jaya raya (putri). (or)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISTORA Senayan memang tidak dibanjiri penonton. Tapi ternyata juga tidak kebanjiran bibit baru. Padahal kejuaraan bulutangkis antarklub (28 Juli - 1 Agustus) setanah air adalah pertama kali sejak PBSI berdiri (1951). Semula tercatat 34 klub putra dan 20 klub putri mengikuti kejuaraan yang dilangsungkan atas amanat Munas PBSI di Bandung 1981 itu. Ternyata, begitu pertandingan dimulai, banyak yang menarik diri. Kotab dari Bandung misalnya: tak jadi ambil bagian karena pemainnya pada mudik Lebaran -- yang tersisa cuma pemain kelas duanya. Kalau toh ikut pula, kata D. Parma Sunarya SH, Ketua Umum Kotab, hanya akan menghabiskan biaya. Alasan lain lagi menurut Iie Sumirat, selama puasa praktis tak pernah latihan. Maka kalau dipaksakan ikut, "tak akan berprestasi baik." Klub lain yang tak jadi ikut adalah Cendrawasih, Irian Jaya. Klub ini merasa tak siap dengan dana. Tiket pesawat Jayapura-Jakarta untuk sekitar 16 pemainnya, putra-putri, dirasakan terlalu berat. Sebagai gantinya Cendrawasih akan mengirimkan pemainnya pada kejuaraan Indonesia terbuka pertengahan Agustus ini. Sampai kejuaraan antarklub berlangsung hanya 31 klub putra dan 15 klub putri yang turut. Absennya beberapa klub tak berarti kejurnas yang diadakan tiap 2 tahun itu tersendat. Klub yang datang hanya cari pengalaman tak sedikit. Misalnya Firma Kusuma Juwita dari Medan dan Bina Tama dari Sum-Bar. "Kami memang tahu, datang untuk kalah. Tapi pengalaman itu mahal," kata Siegfried, manajer tim Firma Kusuma Juwita. L.M. Badri, manajer tim Bina Tama juga berpendapat serupa, "untuk mengorbitkan pemain". Perhitungan kedua manajer tim ini tak meleset jauh. Si juara sudah bisa diduga sebelumnya. Klub Djarum A (putra) dan klub Jaya Raya A (putri) yang diunggulkan di tempat teratas belum bisa diimbangi lawan-lawannya. Diperkuat sederetan pemain nasional, Djarum A di final membabat PB Tangkas (DKI) dengan 4-1. Angka 1 terlepas dari Djarum karena Icuk Sugiarto dari Tangkas mengalahkan Hadiyanto dengan rubber set, 15-8, 9-15 dan 15-7. Di bagian putri, Jaya Raya A juga diperkuat pemain-pemain pelatnas Asian Games. Tercatat misalnya Maria Franciska, Tieke, Yanti dan Theresia Widiastuti. Mereka membabat Djarum di final dengan 5. Tapi perjuangan Djarum di final itu tak ringan. Sebab tiga partai tunggal dimenangkan Jaya Raya semua dengan rubber set. Itulah barangkali yang membuat Christian Hadinata, salah seorang komisi teknik PBSI, yang juga pemain Djarum A, mencatat Handayani atau Tri Rahayu bisa dibina 2-3 tahun untuk menggantikan pemain-pemain senior putri sekarang. Tapi sebaliknya Willy K. Budiman juga dari komisi teknik PBSI, tampak prihatin atas tak munculnya bibit-bibit baru. "Mengherankan," katanya tandas di pinggir lapangan Istora. Bibit baru yang bisa digarap hanya satu dua untuk putra. Ia sebut misalnya Hendri, 17 tahun, dari Tangkas A. Pukulannya keras seperti Lius, juga cekatan. Cuma posturnya kurang ideal, hanya 164 cm. Bibit putri menurut Willy, boleh dibilang belum ada. "Putrinya itu-itu juga," katanya. Mengapa tak muncul bibit baru? Dari sekitar 3.000 klub yang tersebar di tanah air, yang membina bibit-bibit baru hanya ratusan. Penyebabnya mudah diduga: ketiadaan biaya. Malahan untuk membuat satu klub terus berdiri dan berlatih secara tetap, tak gampang. Berlatih keras hanya menjelang kejuaraan agaknya juga membuat bibit tak muncul. Firma Kusuma Juwita, misalnya, tiga bulan menjelang kejuaraan baru meningkatkan latihan dari tiga kali menjadi 4 kali seminggu. Faktor lain lagi adalah sarana lapangan. Kalau sarana lapangan dipakai untuk kesenian, atau rapat-rapat Pemda, maka latihan jadi tersendat. Kesulitan ini sudah diketahui PBSI Pusat. Karena itu PBSI akan menghimbau Pemda untuk tidak menomor-duakan bulutangkis, kalau ingin memajukan cabang olahraga ini. TAPI tak semua klub kesulitan sarana. Djarum Kudus (klub pabrik rokok itu --tentu saja) sudah punya gedung sendiri untuk enam lapangan. Ke-27 pemainnya (pemula, remaja dan senior) yang berada di Kudus bisa berlatih teknik empat kali seminggu di malam hari. Sedang untuk latihan fisik lima hali seminggu. "Di Djarum setiap pemain harus siap bertanding," kata Arisanto, manajer tim Djarum. Dengan dana tetap sekitar Rp 8 juta tiap bulan, sejak 6 bulan lalu Djarum sudah mempunyai buku pedoman pembinaan. Titik berat latihan pada penanganan fisik. Buku aerobik karangan Cooper juga dijadikan dasar. Itulah sebabnya, setiap pemain Djarum harus mampu menempuh jarak 6,4 km dalam 24 menit. "Buku program itu bukan untuk menyaingi PBSI. Tapi kalau berhasil, akan kami sumbangkan ke PBSI," kata Arisanto. Pola pembinaan PB PBSI memang belum jelas. Pada Lokakarya II yang bakal berlangsung bertepatan dengan kejuaraan Indonesia terbuka, diharapkan program pembinaan itu akan lahir. Tapi Perry Sonneville sudah memberi gambaran tentang langkah PBSI. Antara lain akan mengirimkan pelatih pusat ke daerah dan menatar pelatih daerah di pusat. Cuma, seperti kata Sumarsono, Ketua Bidang Organisasi PBSI, klub di daerah masih belum jelas jumlahnya. Dari jumlah formulir registrasi yang dikirimkan ke klub-klub itu hanya 10% yang kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus