ISTORA Senayan memang tidak dibanjiri penonton. Tapi ternyata juga tidak kebanjiran bibit baru. Padahal kejuaraan bulutangkis antarklub (28 Juli - 1 Agustus) setanah air adalah pertama kali sejak PBSI berdiri (1951).
Semula tercatat 34 klub putra dan 20 klub putri mengikuti
kejuaraan yang dilangsungkan atas amanat Munas PBSI di Bandung
1981 itu. Ternyata, begitu pertandingan dimulai, banyak yang
menarik diri. Kotab dari Bandung misalnya: tak jadi ambil bagian
karena pemainnya pada mudik Lebaran -- yang tersisa cuma pemain
kelas duanya. Kalau toh ikut pula, kata D. Parma Sunarya SH,
Ketua Umum Kotab, hanya akan menghabiskan biaya. Alasan lain
lagi menurut Iie Sumirat, selama puasa praktis tak pernah
latihan. Maka kalau dipaksakan ikut, "tak akan berprestasi
baik."
Klub lain yang tak jadi ikut adalah Cendrawasih, Irian Jaya.
Klub ini merasa tak siap dengan dana. Tiket pesawat
Jayapura-Jakarta untuk sekitar 16 pemainnya, putra-putri,
dirasakan terlalu berat. Sebagai gantinya Cendrawasih akan
mengirimkan pemainnya pada kejuaraan Indonesia terbuka
pertengahan Agustus ini. Sampai kejuaraan antarklub berlangsung
hanya 31 klub putra dan 15 klub putri yang turut.
Absennya beberapa klub tak berarti kejurnas yang diadakan tiap 2
tahun itu tersendat. Klub yang datang hanya cari pengalaman tak
sedikit. Misalnya Firma Kusuma Juwita dari Medan dan Bina Tama
dari Sum-Bar. "Kami memang tahu, datang untuk kalah. Tapi
pengalaman itu mahal," kata Siegfried, manajer tim Firma Kusuma
Juwita. L.M. Badri, manajer tim Bina Tama juga berpendapat
serupa, "untuk mengorbitkan pemain".
Perhitungan kedua manajer tim ini tak meleset jauh. Si juara
sudah bisa diduga sebelumnya. Klub Djarum A (putra) dan klub
Jaya Raya A (putri) yang diunggulkan di tempat teratas belum
bisa diimbangi lawan-lawannya. Diperkuat sederetan pemain
nasional, Djarum A di final membabat PB Tangkas (DKI) dengan
4-1. Angka 1 terlepas dari Djarum karena Icuk Sugiarto dari
Tangkas mengalahkan Hadiyanto dengan rubber set, 15-8, 9-15 dan
15-7.
Di bagian putri, Jaya Raya A juga diperkuat pemain-pemain
pelatnas Asian Games. Tercatat misalnya Maria Franciska, Tieke,
Yanti dan Theresia Widiastuti. Mereka membabat Djarum di final
dengan 5. Tapi perjuangan Djarum di final itu tak ringan.
Sebab tiga partai tunggal dimenangkan Jaya Raya semua dengan
rubber set.
Itulah barangkali yang membuat Christian Hadinata, salah seorang
komisi teknik PBSI, yang juga pemain Djarum A, mencatat
Handayani atau Tri Rahayu bisa dibina 2-3 tahun untuk
menggantikan pemain-pemain senior putri sekarang. Tapi
sebaliknya Willy K. Budiman juga dari komisi teknik PBSI, tampak
prihatin atas tak munculnya bibit-bibit baru. "Mengherankan,"
katanya tandas di pinggir lapangan Istora. Bibit baru yang bisa
digarap hanya satu dua untuk putra. Ia sebut misalnya Hendri, 17
tahun, dari Tangkas A. Pukulannya keras seperti Lius, juga
cekatan. Cuma posturnya kurang ideal, hanya 164 cm. Bibit putri
menurut Willy, boleh dibilang belum ada. "Putrinya itu-itu
juga," katanya.
Mengapa tak muncul bibit baru? Dari sekitar 3.000 klub yang
tersebar di tanah air, yang membina bibit-bibit baru hanya
ratusan. Penyebabnya mudah diduga: ketiadaan biaya. Malahan
untuk membuat satu klub terus berdiri dan berlatih secara tetap,
tak gampang.
Berlatih keras hanya menjelang kejuaraan agaknya juga membuat
bibit tak muncul. Firma Kusuma Juwita, misalnya, tiga bulan
menjelang kejuaraan baru meningkatkan latihan dari tiga kali
menjadi 4 kali seminggu. Faktor lain lagi adalah sarana
lapangan. Kalau sarana lapangan dipakai untuk kesenian, atau
rapat-rapat Pemda, maka latihan jadi tersendat. Kesulitan ini
sudah diketahui PBSI Pusat. Karena itu PBSI akan menghimbau
Pemda untuk tidak menomor-duakan bulutangkis, kalau ingin
memajukan cabang olahraga ini.
TAPI tak semua klub kesulitan sarana. Djarum Kudus (klub pabrik
rokok itu --tentu saja) sudah punya gedung sendiri untuk enam
lapangan. Ke-27 pemainnya (pemula, remaja dan senior) yang
berada di Kudus bisa berlatih teknik empat kali seminggu di
malam hari. Sedang untuk latihan fisik lima hali seminggu. "Di
Djarum setiap pemain harus siap bertanding," kata Arisanto,
manajer tim Djarum.
Dengan dana tetap sekitar Rp 8 juta tiap bulan, sejak 6 bulan
lalu Djarum sudah mempunyai buku pedoman pembinaan. Titik berat
latihan pada penanganan fisik. Buku aerobik karangan Cooper juga
dijadikan dasar. Itulah sebabnya, setiap pemain Djarum harus
mampu menempuh jarak 6,4 km dalam 24 menit. "Buku program itu
bukan untuk menyaingi PBSI. Tapi kalau berhasil, akan kami
sumbangkan ke PBSI," kata Arisanto.
Pola pembinaan PB PBSI memang belum jelas. Pada Lokakarya II
yang bakal berlangsung bertepatan dengan kejuaraan Indonesia
terbuka, diharapkan program pembinaan itu akan lahir. Tapi Perry
Sonneville sudah memberi gambaran tentang langkah PBSI. Antara
lain akan mengirimkan pelatih pusat ke daerah dan menatar
pelatih daerah di pusat. Cuma, seperti kata Sumarsono, Ketua
Bidang Organisasi PBSI, klub di daerah masih belum jelas
jumlahnya. Dari jumlah formulir registrasi yang dikirimkan ke
klub-klub itu hanya 10% yang kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini