DI mana manajer dicetak? Jawaban umum di Indonesia di dalam
perusahaan itu sendiri. Soalnya, di Indonesia tampaknya baru
LPPM yang melakukannya di luar perusahaan: lewat program
Wijawiyata Manajemen, mereka menyiapkan seseorang dari nol agar
pada saatnya kelak bisa menjadi manajer.
Program ini, dibuka sejak lima tahun lalu, ternyata banyak
peminatnya. Setiap kali dibuka, 300-400 sarjana (kebanyakan
lulusan Institut Pertanian Bogor) datang melamar. Karena
keterbatasan pengajar, hanya 20-30 calon diterima untuk setiap
angkatannya. Di lantai tiga gedung LPPM hari-hari ini, sejak
pukul 07.30 sampai 15.00, sedang digarap 19 sarjana angkatan
kedelapan program itu.
Yang menarik selain menerima pendidikan ketrampilan, para
peserta juga menerima pendidikan nilai-nilai budi pekerti.
Ketrampilan tanpa nilai-nilai, kata A. Winoto Doeriat, Direktur
Pendidikan dan Pembinaan Manajemen LPPM, adalah timpang.
Pendidikan tentang nilai-nilai ini ditanamkan pada awal program.
Winoto menganggap hal itu penting. "Sebab makin tinggi kedudukan
seorang manajer, makin tidak lagi dipersoalkan apa keahliannya.
Tapi bagaimana integritasnya terhadap perusahaan," katanya.
Pendeknya LPPM ingin menghasilkan calon, manajer yang punya
disiplin dan etika bisnis. "Kami tidak percaya bahwa bisnis itu
mesti kotor," tambahnya.
Karena program ini menjanjikan lulusan yang baik, banyak
perusahaan tertarik mensponsori pendidikan peserta. Biasanya
LPPM yang berinisiatif menawarkan kesediaan perusahaan memikul
biaya pendidikan peserta. Besarnya Rp 4 juta per orang.
Perinciannya: Rp 2,4 juta untuk ongkos pendidikan, dan Rp 1,6
juta buat uang saku selama masa 10 bulan, yang harus dijalani
itu.
Selain program Wijawiyata, LPPM juga menyelenggarakan pelbagai
lokakarya yang setiap tahun rata-rata diikuti 6000 peserta,
serta kursus tertulis Multi Media yang diikuti 2600 peserta. Dua
tahun mendatang lembaga pendidikan manajemen ini merencanakan
menyelenggarakan program MBA (Master of Business
Administration). "Stafnya sudah dipersiapkan," ujar Winoto. Dia
menganggap pendidikan semacam itu sudah waktunya. Bahkan menurut
taksiran dia, Indonesia kini membutuhkan 10 sekolah bisnis
semacam itu.
Mungkin karena kesadaran yang sama, September depan program MBA
juga akan dimulai oleh Management Development Centre. Pusat ini
didirikan oleh Yayasan Prasetya Mulya, Jakarta, yang dananya
disumbangkan oleh sejumlah tokoh bisnis besar, seperti Lim Sioe
Liong dan Willem Surajaya. Calon peserta adalah sarjana,
diutamakan yang sudah bekerja selaku manajer.
Setiap calon akan diwawancarai staf pengajar untuk ditilik
apakah punya potensi menjadi pimpinan puncak, punya rasa
disiplin tebal, idealisme, inisiatif, serta keberanian mengambil
keputusan.
Pendidikan untuk calon manajer puncak ini diselenggarakan selama
18 bulan. Metodenya: dengan modul. Setiap modul akan memakan
waktu tiga bulan. Sistem pendidikan dan latihan berbentuk
diskusi yang membahas persoalan faktual dari suatu perusahaan
atau organisasi di Indonesia. "Para pengusaha akan menjadi dosen
tamu," kata Drs. Kwik Kian Gie, Direktur Pengelola MDC kepada
wartawan TEMPO Saur Hutabarat. "Sehingga hubungan antara teori
dan praktek bisa dijalin."
Pada akhir tiap program, para peserta diwajibkan membuat karya
tertulis. Jika telah disetujui dan diakui seorang guru besar,
karya tulis ini, kata Kwik, dapat digunakan sebagai referensi
untuk mencari pekerjaan. Dan sejak itu pula mereka diperbolehkan
menyandang gelar MBA, yang lulusan pertamanya diharapkan lahir
awal 1985. Sifat gelar MBA itu "lokal, dan kami tidak memerlukan
pengakuan," ujar Kwik.
Masih harus dilihat, adakah program ini cukup bisa dengan segera
memenuhi kebutuhan Indonesia akan manajer yang terlatih --
terutama untuk perusahaan yang baru mulai dan lemah modal.
Pengalaman di AS nampaknya bisa diperhatikan Di AS kini terdapat
sekitar 500 sekolah, termasuk yang diselenggarakan sejumlah
perguruan tinggi, yang membuka program MBA. Di negeri itu kini
tercatat 500 ribu orang lebih pemegang gelar MBA. Sejumlah
perguruan tinggi favorit (seperti Stanford University, dan
Harvard Business School) selalu saja dibanjiri peminat. Di
Harvard, misalnya, dari 785 bangku yang tersedia di tahun 1980,
peminatnya berjumlah 7.000.
Pada umumnya lulusan sekolah bisnis scmacam itu akan mendapat
gaji tinggi ketika memasuki perusahaan. Lulusan Harvard dua
tahun lalu rata-rata memperoleh gaji antara US$31 ribu, dan
US$59 ribu. Sedang eks Stanford rata-rata bergaji antara US$32
ribu, dan US$ 5 9 ribu setahun. "Memegang gelar MBA hakikatnya
seperti mempunyai sebuah karcis untuk ke surga," kata Cathleen
Costello, 29 tahun, pemegang MBA dari Columbia yang bekerja di
American Express Bank.
Dalam keadaan langka manajer, sementara bisnis tumbuh pesat
seperti di Indonesia kini, hanya perusahaan yang kuat yang
akhirnya bisa membayar tenaga seperti itu. Karena itu ada
pendapat bahwa masih tetap penting pendidikan yang bersifat
latihan tambahan bagi manajer yang sudah ada di pelbagai
perusahaan sekarang.
Inilah yang dilakukan di LPPM dan juga di Lembaga Manajemen
Fak. Ekonomi Universitas Indonesia. Lembaga ini memberikan
pendidikan manajemen tambahan kepada para manajer yang dikirim
perusahaan masing-masing ke sana. Bentuk latihan yang
diselenggarakannya ada dua macam: pendidikan berkala (setiap
tahun), dan pendidikan pesanan atas permintaan instansi.
"Programnya disesuaikan dengan kebutuhan pemesan," kata Dr.
Djunaedi Hadisumarto, Direktur LM FE-UI.
Selama 1981, pendidikan berkala telah diikuti oleh 1246 peserta.
Sebagian besar dari instansi swasta. Pada tahun itu juga, LM
FE-UI diminta 19 instrnsi pemerintah, dan swasta
menyelenggarakan 66 kali pendidikan pesanan.
Menurut Djunaedi, untuk mengukur dampak pendidikan pesanan
relatif mudah jika dibandingkan dengan pendidikan berkala. Dia
mengambil contoh BNI 1946. Bank itu merekrut sarjana baru yang
dilatih dulu sebelum dipekerjakan. "Menurut BNI 1946 sesudah
dilatih, mereka kini memiliki bahasa dan pengertian sama dalam
melancarkan tata kerja," katanya.
LM FE-UI bermula dari program Latihan Pembangunan
Ketatalaksanaan (diselenggarakan 1959) yang bekerja sama dengan
University of California, Berkeley, AS. Kini lembaga itu, yang
memiliki 63 tenaga tetap dan 23 tak tetap, sedang mengirimkan 12
pengajarnya mengikuti program MBA di Catholic University Leuven
(Belgia).
Lembaga ini juga menerbitkan majalah bulanan Management dan
Usahawan Indonesa, lima ribu eks. Di samping itu diterbitkan
pula Newsletter bulanan 500 eks., yang semula diharapkan
merupakan media informasi untuk kalangan bisnis kecil. "Tapi
nyatanya yang banyak memanfaatkannya justru kalangan bisnis yang
sudah maju," ujar Djunaedi.
Sementara itu, LPPM menerbitkan majalah dwibulanan Manajemen,
dan bulanan Bina Manajemen. Selain kedua majalah itu, lembaga
ini juga menerbitkan berbagai buku mengenai bidang manajemen.
Di Surabaya ada juga Lembaga Manaemen Jawa Timur (LMJT) yang
berdiri sepuluh tahun lalu. Kursus selama 15 hari itu yang
diselenggarakannya meliputi bidang umum, personalia, keuangan,
produksi, proyek, dan pemasaran. Sudah sekitar 4.000 pelaksana
perusahaan -- yang datang dari Jawa Tengah, Kalimantan,
Sulawesi, dan Jawa Timur -- yang mengikuti kursus di situ.
"Untuk meningkatkan kemampuan salesmah dan supervisor, biasanya
kami kirim mereka ke LMJT," kata K. Wahyu, dari Astra Motor,
Surabaya.
Tapi tak semua bisa diberikan di sini. Maklum lembaga ini hanya
punya pengajar enam orang -- tiga tenaga tetap, dan tiga lainnya
tak tetap. Fasilitas pendidikan yang dimilikinya masih
memprihatinkan. Bagaimanapun, LMJT merupakan contoh bagaimana
mendesaknya kebutuhan untuk latihan manajemen di Indonesia kini
-- yang sering dipenuhi dengan sikap "tak ada rotan akar pun
jadi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini