Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah karcis untuk ke surga

Pendidikan manajemen di Indonesia masih terbatas, di luar perusahaan baru LPPM yang melakukannya. sedang minat untuk jadi manajer sangat tinggi.(eb)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI mana manajer dicetak? Jawaban umum di Indonesia di dalam perusahaan itu sendiri. Soalnya, di Indonesia tampaknya baru LPPM yang melakukannya di luar perusahaan: lewat program Wijawiyata Manajemen, mereka menyiapkan seseorang dari nol agar pada saatnya kelak bisa menjadi manajer. Program ini, dibuka sejak lima tahun lalu, ternyata banyak peminatnya. Setiap kali dibuka, 300-400 sarjana (kebanyakan lulusan Institut Pertanian Bogor) datang melamar. Karena keterbatasan pengajar, hanya 20-30 calon diterima untuk setiap angkatannya. Di lantai tiga gedung LPPM hari-hari ini, sejak pukul 07.30 sampai 15.00, sedang digarap 19 sarjana angkatan kedelapan program itu. Yang menarik selain menerima pendidikan ketrampilan, para peserta juga menerima pendidikan nilai-nilai budi pekerti. Ketrampilan tanpa nilai-nilai, kata A. Winoto Doeriat, Direktur Pendidikan dan Pembinaan Manajemen LPPM, adalah timpang. Pendidikan tentang nilai-nilai ini ditanamkan pada awal program. Winoto menganggap hal itu penting. "Sebab makin tinggi kedudukan seorang manajer, makin tidak lagi dipersoalkan apa keahliannya. Tapi bagaimana integritasnya terhadap perusahaan," katanya. Pendeknya LPPM ingin menghasilkan calon, manajer yang punya disiplin dan etika bisnis. "Kami tidak percaya bahwa bisnis itu mesti kotor," tambahnya. Karena program ini menjanjikan lulusan yang baik, banyak perusahaan tertarik mensponsori pendidikan peserta. Biasanya LPPM yang berinisiatif menawarkan kesediaan perusahaan memikul biaya pendidikan peserta. Besarnya Rp 4 juta per orang. Perinciannya: Rp 2,4 juta untuk ongkos pendidikan, dan Rp 1,6 juta buat uang saku selama masa 10 bulan, yang harus dijalani itu. Selain program Wijawiyata, LPPM juga menyelenggarakan pelbagai lokakarya yang setiap tahun rata-rata diikuti 6000 peserta, serta kursus tertulis Multi Media yang diikuti 2600 peserta. Dua tahun mendatang lembaga pendidikan manajemen ini merencanakan menyelenggarakan program MBA (Master of Business Administration). "Stafnya sudah dipersiapkan," ujar Winoto. Dia menganggap pendidikan semacam itu sudah waktunya. Bahkan menurut taksiran dia, Indonesia kini membutuhkan 10 sekolah bisnis semacam itu. Mungkin karena kesadaran yang sama, September depan program MBA juga akan dimulai oleh Management Development Centre. Pusat ini didirikan oleh Yayasan Prasetya Mulya, Jakarta, yang dananya disumbangkan oleh sejumlah tokoh bisnis besar, seperti Lim Sioe Liong dan Willem Surajaya. Calon peserta adalah sarjana, diutamakan yang sudah bekerja selaku manajer. Setiap calon akan diwawancarai staf pengajar untuk ditilik apakah punya potensi menjadi pimpinan puncak, punya rasa disiplin tebal, idealisme, inisiatif, serta keberanian mengambil keputusan. Pendidikan untuk calon manajer puncak ini diselenggarakan selama 18 bulan. Metodenya: dengan modul. Setiap modul akan memakan waktu tiga bulan. Sistem pendidikan dan latihan berbentuk diskusi yang membahas persoalan faktual dari suatu perusahaan atau organisasi di Indonesia. "Para pengusaha akan menjadi dosen tamu," kata Drs. Kwik Kian Gie, Direktur Pengelola MDC kepada wartawan TEMPO Saur Hutabarat. "Sehingga hubungan antara teori dan praktek bisa dijalin." Pada akhir tiap program, para peserta diwajibkan membuat karya tertulis. Jika telah disetujui dan diakui seorang guru besar, karya tulis ini, kata Kwik, dapat digunakan sebagai referensi untuk mencari pekerjaan. Dan sejak itu pula mereka diperbolehkan menyandang gelar MBA, yang lulusan pertamanya diharapkan lahir awal 1985. Sifat gelar MBA itu "lokal, dan kami tidak memerlukan pengakuan," ujar Kwik. Masih harus dilihat, adakah program ini cukup bisa dengan segera memenuhi kebutuhan Indonesia akan manajer yang terlatih -- terutama untuk perusahaan yang baru mulai dan lemah modal. Pengalaman di AS nampaknya bisa diperhatikan Di AS kini terdapat sekitar 500 sekolah, termasuk yang diselenggarakan sejumlah perguruan tinggi, yang membuka program MBA. Di negeri itu kini tercatat 500 ribu orang lebih pemegang gelar MBA. Sejumlah perguruan tinggi favorit (seperti Stanford University, dan Harvard Business School) selalu saja dibanjiri peminat. Di Harvard, misalnya, dari 785 bangku yang tersedia di tahun 1980, peminatnya berjumlah 7.000. Pada umumnya lulusan sekolah bisnis scmacam itu akan mendapat gaji tinggi ketika memasuki perusahaan. Lulusan Harvard dua tahun lalu rata-rata memperoleh gaji antara US$31 ribu, dan US$59 ribu. Sedang eks Stanford rata-rata bergaji antara US$32 ribu, dan US$ 5 9 ribu setahun. "Memegang gelar MBA hakikatnya seperti mempunyai sebuah karcis untuk ke surga," kata Cathleen Costello, 29 tahun, pemegang MBA dari Columbia yang bekerja di American Express Bank. Dalam keadaan langka manajer, sementara bisnis tumbuh pesat seperti di Indonesia kini, hanya perusahaan yang kuat yang akhirnya bisa membayar tenaga seperti itu. Karena itu ada pendapat bahwa masih tetap penting pendidikan yang bersifat latihan tambahan bagi manajer yang sudah ada di pelbagai perusahaan sekarang. Inilah yang dilakukan di LPPM dan juga di Lembaga Manajemen Fak. Ekonomi Universitas Indonesia. Lembaga ini memberikan pendidikan manajemen tambahan kepada para manajer yang dikirim perusahaan masing-masing ke sana. Bentuk latihan yang diselenggarakannya ada dua macam: pendidikan berkala (setiap tahun), dan pendidikan pesanan atas permintaan instansi. "Programnya disesuaikan dengan kebutuhan pemesan," kata Dr. Djunaedi Hadisumarto, Direktur LM FE-UI. Selama 1981, pendidikan berkala telah diikuti oleh 1246 peserta. Sebagian besar dari instansi swasta. Pada tahun itu juga, LM FE-UI diminta 19 instrnsi pemerintah, dan swasta menyelenggarakan 66 kali pendidikan pesanan. Menurut Djunaedi, untuk mengukur dampak pendidikan pesanan relatif mudah jika dibandingkan dengan pendidikan berkala. Dia mengambil contoh BNI 1946. Bank itu merekrut sarjana baru yang dilatih dulu sebelum dipekerjakan. "Menurut BNI 1946 sesudah dilatih, mereka kini memiliki bahasa dan pengertian sama dalam melancarkan tata kerja," katanya. LM FE-UI bermula dari program Latihan Pembangunan Ketatalaksanaan (diselenggarakan 1959) yang bekerja sama dengan University of California, Berkeley, AS. Kini lembaga itu, yang memiliki 63 tenaga tetap dan 23 tak tetap, sedang mengirimkan 12 pengajarnya mengikuti program MBA di Catholic University Leuven (Belgia). Lembaga ini juga menerbitkan majalah bulanan Management dan Usahawan Indonesa, lima ribu eks. Di samping itu diterbitkan pula Newsletter bulanan 500 eks., yang semula diharapkan merupakan media informasi untuk kalangan bisnis kecil. "Tapi nyatanya yang banyak memanfaatkannya justru kalangan bisnis yang sudah maju," ujar Djunaedi. Sementara itu, LPPM menerbitkan majalah dwibulanan Manajemen, dan bulanan Bina Manajemen. Selain kedua majalah itu, lembaga ini juga menerbitkan berbagai buku mengenai bidang manajemen. Di Surabaya ada juga Lembaga Manaemen Jawa Timur (LMJT) yang berdiri sepuluh tahun lalu. Kursus selama 15 hari itu yang diselenggarakannya meliputi bidang umum, personalia, keuangan, produksi, proyek, dan pemasaran. Sudah sekitar 4.000 pelaksana perusahaan -- yang datang dari Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa Timur -- yang mengikuti kursus di situ. "Untuk meningkatkan kemampuan salesmah dan supervisor, biasanya kami kirim mereka ke LMJT," kata K. Wahyu, dari Astra Motor, Surabaya. Tapi tak semua bisa diberikan di sini. Maklum lembaga ini hanya punya pengajar enam orang -- tiga tenaga tetap, dan tiga lainnya tak tetap. Fasilitas pendidikan yang dimilikinya masih memprihatinkan. Bagaimanapun, LMJT merupakan contoh bagaimana mendesaknya kebutuhan untuk latihan manajemen di Indonesia kini -- yang sering dipenuhi dengan sikap "tak ada rotan akar pun jadi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus