Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dua Tokoh, Satu Pokok

Profil dua orang manajer, Tanri Abeng (dirut PT. Multi bintang indonesia), dan ir. T.P Rachmat (wakil dirut pt. astra int inc). contoh manajer baru di puncak yang sedang tumbuh di Indonesia. (eb)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO, setelah mengecek ke pelbagai sumber, memilih mereka untuk ditampilkan. KETIKA Tanri Abeng tahun 1975 masuk ke Perusahaan Bir Indonesia yang dibenahinya pertama kali adalah bagian pemasaran Presiden Direktur PBI yang baru itu segera menciutkan jumlah distributor dari 118 menjadi 12 buah. Lebih separuhnya kini pengusaha pribumi muda-muda. Dia percaya banyak tenaga muda Indonesia, jika dididik, bisa jadi pengusaha yang baik. Dalam usaha mengalihkan pengetahuan pemasaran, dia mengirimkan manajer pemasarannya selama jangka waktu tertentu untuk mendampingi distributor. "Jadi mereka (para distributor itu) seolah bagai kekuatan ekstra pemasaran," kata Abeng. "Sedang manajer pemasaran di sana lebih berperan sebagai penasihat teknis saja." Menurut dia, seorang manajer pemasaran harus meluangkan waktu 30% dalam setahun untuk mendampingi distributor di daerah. Abeng kemudian membenahi manajemen. Menurut dia, manajemen harus lebih banyak menggunakan waktunya untuk berpikir. Pendelegasian wewenang harus berjalan dengan baik. "Karena itu saya nggak mau repot-reyot menandatangani cek. Kalau saya ikut-ikutan menandatangani cek, saya nggak berpikir, itu bukan managemnt work." katanya. "Tapi sebelum itu saya harus membangun sistem kontrol yang baik. Dia juga memberi kesempatan para manajernya mengembangkan gagasan pada pertemuan tiap hari Senin. Untuk mengembangkan kreativitas, dia memberi kesempatan luas para manajer mengambil keputusan di tingkat paling rendah. "Mereka tentu akan membuat kesalahan," katanya. "Nah, persoalannya kemudian membatasi risiko akibat kesalahan itu. Dengan cara itulah mereka kemudian bisa belajar." Serangkaian perbaikan itu juga diikuti dengan perubahan nama perusahaan. Kini perusahaan itu jadi PT Multi Bintang, dengan logo baru. Dia kemudian membuat gebrakan baru go public "ke khalayak". Di bawah kepemimpinannyalah, perusahaan ini tahun lalu berhasil memperoleh laba bersih Rp 4 milyar lebih, dan mampu menyetor pajak Rp 16 milyar. Jika tahun lalu angka penjualan mencapai Rp 37 milyar, tahun ini Abeng merencanakan Rp 40 milyar. Abeng, tentu saja, seorang pekerja keras. Dia memberikan waktunya rata-rata 11-12 jam sehari untuk kepentingan perusahaan. Dia juga masuk kantor setengah hari di hari Sabtu yang seharusnya libur. "Memang harus ada pengorbanan," katanya. "Anda tak bisa memenangkan kedua-duanya (kantor dan rumah tangga)." Toh di hari Sabtu sore, dan Minggu, bersama kedua putra dan istrinya dia berusaha menyempatkan diri bermain tenis di Hotel Hilton. Kesibukan Abeng makin bertambah, ketika tahun ini dia diangkat jadi anggota dewan direksi Malayan Brewery yang membawahkan pabrik bir di Malaysia, Singapura, Selandia Baru, dan Papua Nugini. Di situ dia duduk mewakili kepentingan Heinneken, yang juga punya saham terbesar di Multi Bintang yang punya pabrik di Tangerang, Surabaya, dan Medan. Karena jabatan itulah, dia kini harus selalu berkeliling. Dua kali dalam setahun dia harus bertemu dengan dewan direksi di kantor pusat Heinneken di Amsterdam. Belum puas dengan pengetahuan manajemennya, dia juga masih merasa harus selalu mengikuti berbagai kursus dan pertemuan manajemen di luar negeri. Toh orang no. 1 di Multi Bintang itu tetap tak merasa letih. Sebagai pimpinan tertinggi di sini dia bukan sekedar boneka. Dia diberi wewenang penuh mengatur strategi pemasaran, mengatur operasi perusahaan, dan menentukan harga produknya: Bir Bintang. Lahir di Selayar 7 Maret 1942 Abeng, anak bungsu dari lima bersaudara, sudah yatim piatu sejak kecil. Dia besar di lingkungan sepupunya di Ujungpandang. Sejak di bangku SMEA kota itu, dia sudah mencoba membiayai sendiri sekolahnya. Dia, misalnya, menyetensil buku musik, dan menjualnya di kalangan teman sekelas. "Dari situ saya memperoleh biaya untuk meneruskan sekolah hingga tamat SMEA," katanya. Di tahun 1961, dia setahun belajar di AS atas biaya American Field Service (AFS). Sekembali dari AS, Abeng memasuki Fak. Ekonomi Universitas Hassanudin. Sambil kuliah, dia bekerja di bagian pembukuan dua perusahaan swasta. Ketika periode 1966 teman kuliahnya banyak yang larut oleh suasana demonstrasi, Abeng sudah memikirkan masa depan. Dengan bantuan keuangan keluarga Gibson di New York yang pernah menampungnya ketika belajar atas biaya AFS, Abeng bisa diterima kuliah di State University of New York di Buffalo. Karena dianggap pandai, dia diangkat sebagai asisten, dan dibebaskan tak bayar uang kuliah. Diploma MBA dengan mayor di bidang keuangan diperolehnya dalam tempo satu setengah tahun dari program normal dua tahun. Tahun 1968 itu juga dia diterima bekerja di Union Carbide New York. Belum setahun dia dipindahkan ke Indonesia, dan memegang jabatan chief accountant. Pada usia 29 tahun, dia diangkat sebagai direktur keuangan sekaligus sebagai anggota dewan direksi. Tahun 1976 dia dikirim ke Singapura. Di situ dia dijajal sebagai manajer pemasaran. Sesudah tiga tahun dia kembali ke Indonesia. Tapi jabatan manajer umum yang dijanjikan untuknya tak diberikan "Padahal saya selalu ingin menempati suatu posisi yang punya tanggung jawab menyeluruh, jadi manajer umum. Bukan hanya bertanggung jawab di bidang keuangan, atau pemasaran saja," katanya. Karena ingin jadi orang no. 1 itulah, Abeng kemudian menerima tawaran memimpin Multi Bintang. Dan dia berhasil. PAGI-PAGI Ir. T.P. Rachmat sudah tiba di kantornya di Jl. H. Juanda 22, Jakarta. Sesudah mengantar putra sulungnya bersekolah di Santa Ursula kelas IV SD, wakil presiden direktur PT Astra International Inc. itu kemudian memulai kerjanya dengan program yang padat. Sejumlah tamu biasanya sudah menunggu. Dia biasanya kemudian berkeliling ke sejumlah anak perusahaan Astra. Siang hari, atau malamnya, dia mungkin bercakap-cakap dengan seseorang di tempat nyaman -- lobby. "Sekitar 40% dari sukses bisnis perusahaan ini berkat lobby," katanya. Sekitar dua belas tahun lalu, Rachmat yang tamat ITB jurusan Teknik Mesin tahun 1968 dengan mengendarai skuter memulai karirnya sebagai salesman alat-alat berat merk Allis Chalmers. Salah satu divisi Astra itu, yang mengambil garasi mobil sebagai kantornya, ketika itu hanya punya dua karyawan. "Dulu belum ada manajer-manajer," katanya. "Semua pekerjaan ditangani sendiri, pokoknya serabutan." Tapi tahun 1972, Astra berbeda pendapat dengan Allis-Chalmers mengenai strategi pemasaran. Dalam usaha menyaingi alat-alat berat Caterpillar, Astra kemudian beralih ke merk Komatsu, Jepang. Berkat dukungan induk perusahaan itu, buldozer Komatsu, misalnya, berhasil dijual 50% di bawah harga Caterpillar. "Kalau waktu itu tidak pindah, kami akan mati," kata Rachmat. Tahun 1975 Rachmat diangkat sebagai direktur pemasaran Astra, mendampingi almarhum Drs. Tjia Kian Tie, ahli strategi pemasaran dan salah satu pendiri perusahaan itu. Ketika itu Rachmat mengaku tak tahu sama sekali soal strategi pemasaran, dan manajemen. "Saya mengatur pemasaran hanya berdasar feeling saja," katanya. Kendati demikian, dia berusaha menambah pengetahuannya dengan banyak membaca buku, dan berbagai majalah ekohomi seperti Business Week, Fortune, dan Forbes. Untuk membaca itu dia khusus menyediakan waktu satu jam setiap harinya. Dia sangat percaya, dengan banyak membaca, dia tak akan membuat atau mengulangi kesalahan orang lain. "Bukankah di buku itu banyak ditulis mengenai kesalahan yang pernah dilakukan orang lain?" katanya. Perkenalannya dengan manajemen baru dimulai 1977 dengan mengikuti lokakarya di LPPM, dan Inseat, Paris. Kini, menurut Rachmat, 38 tahun, sebelum suatu produk diluncurkan rencana manufacturing, dan pemasarannya dipersiapkan dua tahun sebelumnya. Dalam hal itulah prinsip manajemen Total Quality Control (TQC), yang melibatkan seluruh karyawan, dan manajemen dalam proses perbaikan dan pengambilan keputusan diterapkan. "Ibaratnya, pikiran yang berasal dari empat tukang sepatu masih bisa lebih baik dibanding seorang perdana menteri," katanya. Kendati demikian, penjualan Astra di bidang kendaraan komersial masih kalah dibanding Mitsubishi. Dalam hal inilah, kata Rachmat, Astra lemah. "Ketika melakukan perencanaan dulu, kami ticlak melihat ke depan," ujarnya. Dan Astra berusaha mengejar ketinggalannya dengan memperbaiki kualitas produknya. Kini angka penjualan Toyota Hi-Ace disel sudah mencapai 1.500, sementara Colt L-300 kabarnya turun dari 3.000 menjadi 1.000 unit setiap bulan. "Bisnis itu seperti sebuah pertempuran terus menerus yang tak pernah berhenti," tambahnya. Menyadari persaingan di masa depan semakin berat, Rachmat sering juga terlibat ikut serta dalam pemilihan calon manajer. Dia menganggap sangat penting untuk memilih pembantu yang punya kapasitas dan bisa dipercaya. Dia sangat tidak suka memilih calon manajer yang sebelumnya sudah beberapa kali pindah kerja. "Di sini persoalannya adalah loyalitas, dus bukan ilmu saja yang kami cari," katanya. Seorang manajer di perusahaan itu, memang memuji kejelian Rachmat di dalam memilih calon manajer. Sekalipun sudah memberikan waktu rata-rata 10 jam sehari di kantor, di rumah Rachmat kadang masih mengerjakan pekerjaan kantor. "Saya ingin yang exellent, jadi harus keluar sebagai juara," katanya. "Saya mungkin tidak terlalu pandai, tapi soal stamina dan ketekunan bekerja, saya mau lawan . . ." Buat Astra yang tahun lalu punya angka penjualan lebih US$ 1 milyar, tipe manajer semacam itulah yang dicari. Berkat kerja kerasnya itu, dia dua tahun lalu diangkat sebagai wakil presiden direktur Astra, dan turut mengendalikan perusahaan yang punya usaha dari bidang pertanian sampai automotive. Dari jajaran pimpinan Astra, orang muda inilah yang banyak disebut sebagai tokoh penting yang paling diharapkan, kini dan nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus