TEMPO, setelah mengecek ke pelbagai sumber, memilih mereka untuk
ditampilkan.
KETIKA Tanri Abeng tahun 1975 masuk ke Perusahaan Bir Indonesia
yang dibenahinya pertama kali adalah bagian pemasaran Presiden
Direktur PBI yang baru itu segera menciutkan jumlah distributor
dari 118 menjadi 12 buah. Lebih separuhnya kini pengusaha
pribumi muda-muda. Dia percaya banyak tenaga muda Indonesia,
jika dididik, bisa jadi pengusaha yang baik.
Dalam usaha mengalihkan pengetahuan pemasaran, dia mengirimkan
manajer pemasarannya selama jangka waktu tertentu untuk
mendampingi distributor. "Jadi mereka (para distributor itu)
seolah bagai kekuatan ekstra pemasaran," kata Abeng. "Sedang
manajer pemasaran di sana lebih berperan sebagai penasihat
teknis saja." Menurut dia, seorang manajer pemasaran harus
meluangkan waktu 30% dalam setahun untuk mendampingi distributor
di daerah.
Abeng kemudian membenahi manajemen. Menurut dia, manajemen harus
lebih banyak menggunakan waktunya untuk berpikir. Pendelegasian
wewenang harus berjalan dengan baik. "Karena itu saya nggak mau
repot-reyot menandatangani cek. Kalau saya ikut-ikutan
menandatangani cek, saya nggak berpikir, itu bukan managemnt
work." katanya. "Tapi sebelum itu saya harus membangun sistem
kontrol yang baik.
Dia juga memberi kesempatan para manajernya mengembangkan
gagasan pada pertemuan tiap hari Senin. Untuk mengembangkan
kreativitas, dia memberi kesempatan luas para manajer mengambil
keputusan di tingkat paling rendah. "Mereka tentu akan membuat
kesalahan," katanya. "Nah, persoalannya kemudian membatasi
risiko akibat kesalahan itu. Dengan cara itulah mereka kemudian
bisa belajar."
Serangkaian perbaikan itu juga diikuti dengan perubahan nama
perusahaan. Kini perusahaan itu jadi PT Multi Bintang, dengan
logo baru. Dia kemudian membuat gebrakan baru go public "ke
khalayak". Di bawah kepemimpinannyalah, perusahaan ini tahun
lalu berhasil memperoleh laba bersih Rp 4 milyar lebih, dan
mampu menyetor pajak Rp 16 milyar. Jika tahun lalu angka
penjualan mencapai Rp 37 milyar, tahun ini Abeng merencanakan Rp
40 milyar.
Abeng, tentu saja, seorang pekerja keras. Dia memberikan
waktunya rata-rata 11-12 jam sehari untuk kepentingan
perusahaan. Dia juga masuk kantor setengah hari di hari Sabtu
yang seharusnya libur. "Memang harus ada pengorbanan," katanya.
"Anda tak bisa memenangkan kedua-duanya (kantor dan rumah
tangga)." Toh di hari Sabtu sore, dan Minggu, bersama kedua
putra dan istrinya dia berusaha menyempatkan diri bermain tenis
di Hotel Hilton.
Kesibukan Abeng makin bertambah, ketika tahun ini dia diangkat
jadi anggota dewan direksi Malayan Brewery yang membawahkan
pabrik bir di Malaysia, Singapura, Selandia Baru, dan Papua
Nugini. Di situ dia duduk mewakili kepentingan Heinneken, yang
juga punya saham terbesar di Multi Bintang yang punya pabrik di
Tangerang, Surabaya, dan Medan.
Karena jabatan itulah, dia kini harus selalu berkeliling. Dua
kali dalam setahun dia harus bertemu dengan dewan direksi di
kantor pusat Heinneken di Amsterdam. Belum puas dengan
pengetahuan manajemennya, dia juga masih merasa harus selalu
mengikuti berbagai kursus dan pertemuan manajemen di luar
negeri. Toh orang no. 1 di Multi Bintang itu tetap tak merasa
letih. Sebagai pimpinan tertinggi di sini dia bukan sekedar
boneka. Dia diberi wewenang penuh mengatur strategi pemasaran,
mengatur operasi perusahaan, dan menentukan harga produknya: Bir
Bintang.
Lahir di Selayar 7 Maret 1942 Abeng, anak bungsu dari lima
bersaudara, sudah yatim piatu sejak kecil. Dia besar di
lingkungan sepupunya di Ujungpandang. Sejak di bangku SMEA kota
itu, dia sudah mencoba membiayai sendiri sekolahnya. Dia,
misalnya, menyetensil buku musik, dan menjualnya di kalangan
teman sekelas. "Dari situ saya memperoleh biaya untuk meneruskan
sekolah hingga tamat SMEA," katanya.
Di tahun 1961, dia setahun belajar di AS atas biaya American
Field Service (AFS). Sekembali dari AS, Abeng memasuki Fak.
Ekonomi Universitas Hassanudin. Sambil kuliah, dia bekerja di
bagian pembukuan dua perusahaan swasta. Ketika periode 1966
teman kuliahnya banyak yang larut oleh suasana demonstrasi,
Abeng sudah memikirkan masa depan.
Dengan bantuan keuangan keluarga Gibson di New York yang pernah
menampungnya ketika belajar atas biaya AFS, Abeng bisa diterima
kuliah di State University of New York di Buffalo. Karena
dianggap pandai, dia diangkat sebagai asisten, dan dibebaskan
tak bayar uang kuliah. Diploma MBA dengan mayor di bidang
keuangan diperolehnya dalam tempo satu setengah tahun dari
program normal dua tahun.
Tahun 1968 itu juga dia diterima bekerja di Union Carbide New
York. Belum setahun dia dipindahkan ke Indonesia, dan memegang
jabatan chief accountant. Pada usia 29 tahun, dia diangkat
sebagai direktur keuangan sekaligus sebagai anggota dewan
direksi. Tahun 1976 dia dikirim ke Singapura.
Di situ dia dijajal sebagai manajer pemasaran. Sesudah tiga
tahun dia kembali ke Indonesia. Tapi jabatan manajer umum yang
dijanjikan untuknya tak diberikan "Padahal saya selalu ingin
menempati suatu posisi yang punya tanggung jawab menyeluruh,
jadi manajer umum. Bukan hanya bertanggung jawab di bidang
keuangan, atau pemasaran saja," katanya. Karena ingin jadi orang
no. 1 itulah, Abeng kemudian menerima tawaran memimpin Multi
Bintang. Dan dia berhasil.
PAGI-PAGI Ir. T.P. Rachmat sudah tiba di kantornya di Jl. H.
Juanda 22, Jakarta. Sesudah mengantar putra sulungnya bersekolah
di Santa Ursula kelas IV SD, wakil presiden direktur PT Astra
International Inc. itu kemudian memulai kerjanya dengan program
yang padat. Sejumlah tamu biasanya sudah menunggu.
Dia biasanya kemudian berkeliling ke sejumlah anak perusahaan
Astra. Siang hari, atau malamnya, dia mungkin bercakap-cakap
dengan seseorang di tempat nyaman -- lobby. "Sekitar 40% dari
sukses bisnis perusahaan ini berkat lobby," katanya.
Sekitar dua belas tahun lalu, Rachmat yang tamat ITB jurusan
Teknik Mesin tahun 1968 dengan mengendarai skuter memulai
karirnya sebagai salesman alat-alat berat merk Allis Chalmers.
Salah satu divisi Astra itu, yang mengambil garasi mobil sebagai
kantornya, ketika itu hanya punya dua karyawan. "Dulu belum ada
manajer-manajer," katanya. "Semua pekerjaan ditangani sendiri,
pokoknya serabutan."
Tapi tahun 1972, Astra berbeda pendapat dengan Allis-Chalmers
mengenai strategi pemasaran. Dalam usaha menyaingi alat-alat
berat Caterpillar, Astra kemudian beralih ke merk Komatsu,
Jepang. Berkat dukungan induk perusahaan itu, buldozer Komatsu,
misalnya, berhasil dijual 50% di bawah harga Caterpillar. "Kalau
waktu itu tidak pindah, kami akan mati," kata Rachmat.
Tahun 1975 Rachmat diangkat sebagai direktur pemasaran Astra,
mendampingi almarhum Drs. Tjia Kian Tie, ahli strategi pemasaran
dan salah satu pendiri perusahaan itu. Ketika itu Rachmat
mengaku tak tahu sama sekali soal strategi pemasaran, dan
manajemen. "Saya mengatur pemasaran hanya berdasar feeling
saja," katanya.
Kendati demikian, dia berusaha menambah pengetahuannya dengan
banyak membaca buku, dan berbagai majalah ekohomi seperti
Business Week, Fortune, dan Forbes. Untuk membaca itu dia
khusus menyediakan waktu satu jam setiap harinya. Dia sangat
percaya, dengan banyak membaca, dia tak akan membuat atau
mengulangi kesalahan orang lain. "Bukankah di buku itu banyak
ditulis mengenai kesalahan yang pernah dilakukan orang lain?"
katanya. Perkenalannya dengan manajemen baru dimulai 1977 dengan
mengikuti lokakarya di LPPM, dan Inseat, Paris.
Kini, menurut Rachmat, 38 tahun, sebelum suatu produk
diluncurkan rencana manufacturing, dan pemasarannya dipersiapkan
dua tahun sebelumnya. Dalam hal itulah prinsip manajemen Total
Quality Control (TQC), yang melibatkan seluruh karyawan, dan
manajemen dalam proses perbaikan dan pengambilan keputusan
diterapkan. "Ibaratnya, pikiran yang berasal dari empat tukang
sepatu masih bisa lebih baik dibanding seorang perdana menteri,"
katanya.
Kendati demikian, penjualan Astra di bidang kendaraan komersial
masih kalah dibanding Mitsubishi. Dalam hal inilah, kata
Rachmat, Astra lemah. "Ketika melakukan perencanaan dulu, kami
ticlak melihat ke depan," ujarnya. Dan Astra berusaha mengejar
ketinggalannya dengan memperbaiki kualitas produknya. Kini angka
penjualan Toyota Hi-Ace disel sudah mencapai 1.500, sementara
Colt L-300 kabarnya turun dari 3.000 menjadi 1.000 unit setiap
bulan. "Bisnis itu seperti sebuah pertempuran terus menerus yang
tak pernah berhenti," tambahnya.
Menyadari persaingan di masa depan semakin berat, Rachmat sering
juga terlibat ikut serta dalam pemilihan calon manajer. Dia
menganggap sangat penting untuk memilih pembantu yang punya
kapasitas dan bisa dipercaya. Dia sangat tidak suka memilih
calon manajer yang sebelumnya sudah beberapa kali pindah kerja.
"Di sini persoalannya adalah loyalitas, dus bukan ilmu saja yang
kami cari," katanya. Seorang manajer di perusahaan itu, memang
memuji kejelian Rachmat di dalam memilih calon manajer.
Sekalipun sudah memberikan waktu rata-rata 10 jam sehari di
kantor, di rumah Rachmat kadang masih mengerjakan pekerjaan
kantor. "Saya ingin yang exellent, jadi harus keluar sebagai
juara," katanya. "Saya mungkin tidak terlalu pandai, tapi soal
stamina dan ketekunan bekerja, saya mau lawan . . ."
Buat Astra yang tahun lalu punya angka penjualan lebih US$ 1
milyar, tipe manajer semacam itulah yang dicari. Berkat kerja
kerasnya itu, dia dua tahun lalu diangkat sebagai wakil presiden
direktur Astra, dan turut mengendalikan perusahaan yang punya
usaha dari bidang pertanian sampai automotive. Dari jajaran
pimpinan Astra, orang muda inilah yang banyak disebut sebagai
tokoh penting yang paling diharapkan, kini dan nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini