Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tanpa tuan rumah di istora

Final kejuaraan bulu tangkis internasional grand prix pro-kennex 1983 di jakarta. indonesia yang diwakili oleh liem swie king, icuk sugiarto dan hastomo arbi, tumbang sebelum semifinal. (or)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK pertama kalinya terjadi, final kejuaraan bulu tangkis internasional di Istora Senayan, Jakarta, menjadi malam menyedihkan buat Indonesia. Dalam final Grand Prix Pro-Kennex yang berlangsung Minggu malam lalu, tak seorang pun pemain tuan rumah mengayun raket ke lapangan. Tiga jago yang diturunkan Indonesia - Liem Swie King, Icuk Sugiarto, dan Hastomo Arbi- tumbang sebelum mencapai semifinal. Akan halnya pemain putri Indonesia, tak seorang pun yang masuk dalam delapan finalis yang memperebutkan hadiah US$ 70.000 ini. Kesedihan itu masih ditambah dengan cobaan yang datang dari alam. Hujan lebat yang mengguyur Jakarta ternyata meneteskan air di dalam gedung dan, celakanya, jatuh di atas karpet pertandingan. Lebih dari 25 menit pertandingan terhenti, dan semua kepala mendongak. Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sebagai penyelenggara pertandingan yang disponsori perusahaan aiat olah raga Taiwan, mau tak mau, kena tampar. Tetapi bukan lantaran itu bila tahun depan final sirkuit bulu tangkis yang disponsori perusahaan raket Pro-Kennex ini tidak akan diselenggarakan di Jakarta. "Mungkin di India, atau Denmark, atau Jepang," kata Kunnan Lo, direktur utama Pro-Kennex. c Pertimbangannya, tentu saja dari segi promosi. Pro-Kennex terjun ke dunia bulu tangkis untuk promosi mulai 1982. Tujuannya menciptakan suatu turnamen terbuka di dunia. Grand Prix ini adalah hasil persetujuan Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF) dan International Management Grup (IMG), sebuah grup yang berpusat di AS yang mengatur kegiatan olahragawan dari berbagai cabang. Dalam tahun 1983, sirkuit bulu tangkis ini menetapkan tujuh rangkaian kejuaraan. Urutannya: Kejuaraan Swedia Terbuka (Maret), All England (Maret), Kejuaraan Dunia Kopenhagen (Mei), Malaysia Terbuka (Juli), Indonesia Terbuka (Agustus), Piala Skandinavia (Oktober), dan Kejuaraan Kanada Terbuka (November). Finalnya, yang baru saja dilangsungkan di Istora itu. Grand Prix ini mempergunakan sistem nilai yang dikumpulkan dari setiap kejuaraan yang diikuti. Pemain yang mengantungi nilai tertinggi, dua belas putra dan delapan putri berhak maju ke babak final. Semakin rajin pemain mengikuti pertandingan makin banyak nilai yang diperoleh. Inilah yang dikeluhkan pemain dari kawasan Asia. Sebab rangkaian sirkuit itu, dilihat dari segi biaya yang dikeluarkan, sangat menguntungkan pemain Eropa. Ivanna Lie sebuah contoh. Ia hanya mengikuti tiga dari tujuh rangkalan kejuaraan - turnamen Malaysia Terbuka, Indonesia Terbuka, dan Piala Skandinavia - hingga nilai yang diperolehnya cuma 310. Angka itu kurang sepuluh dari angka total pemain Cina Han Aiping yang menempati urutan kedelapan di antara finalis putri. "Sayang, Ivanna tidak ikut. Padahal, ia pemain berteknik tinggi. Kalau saja ia ikut, barangkali asilnya jadi lain," komentar Li Lingwei, pemain putri Cina yang menjadi juara pertama. Pengumpulan nilai, selain karena pemain harus rajin mengikuti turnamen, juga ditentukan oleh kejuaraan yang diikuti. Dari tujuh rangkaian hanya All England dan Kejuaraan Dunia yang digolongkan kelas satu. Sisanya kelas dua. Juara pertama dalam turnamen kelas satu nilainya 250, runner up 200, semifinalis 160, dan perempat finalis 120. Untuk kejuaraan kelas dua, urutan nilainya: 175, 140, 110, dan 80. Sistim nilai inilah, yang menyebabkan tak seorang pun pemain putri Indonesia masuk final Grand Prix, Pro Kennex. Sementara puluhan pemain putra ikut berpartisipasi setidak-tidaknya dalam Indonesia Terbuka - hanya tiga pemain yang masuk 12 besar. Liem Swie King dengan nilai 500 di urutan kedua, Icuk (440) di urutan keempat, dan Hastomo Arbi (350) di urutan kedelapan. Finalis putra yang dibagi empat grup ini menempatkan King di grup A bersama Luan Jin (Cina) dan Ong Beng Teong (Malaysia). Hastomo Arbi di grup B dengan Prakash Padukone dan Sompol Kukasemkij (Muangthai). Sedangkan Icuk Sugiarto di grup D bersama Misbun Sidek (Malaysia) dan Nick Yates (Inggris). Finalis putri hanya dibagi dua grup. Pada malam pertama, Rabu minggu lalu, Icuk yang menjuarai Kejuaraan Dunia tumbang di tangan Nick Yates. Suatu tamparan menyakitkan mengingat Yates baru masuk urutan ke-32 ketika Icuk masih juara dunia. "Istora merupakan momok bagi Icuk," komentar seorang pelatih, M. Ridwan. Alasannya, pengunjung Istora tak segan-segan melontarkan makian terhadap pemain yang bermain jelek, termasuk atlet tuan rumah. Sebelum Icuk menyerah pada Yates, Hastomo Arbi digulung Prakash Padukone dari India. Prakash, yang pernah berguru di Indonesia dan lama menetap di Denmark, dengan cerdik mendikte Hastomo. Pertandingan berakhir: 8-15 dan 7-15. King, yang tampil pada malam kedua, sempat menghibur penonton Istora yang berjubel. Ia menundukkan Ong Beng Teong dengan permainan yang hampir tanpa cela. Tapi, diam-diam, Luan Jin mempelajarinya (lihat: Resep sang Guru). Esoknya, dalam perebutan tiket semifinal, King praktis dibuat salah tingkah oleh Luan Jin. Dan Istora mencatat sejarah buruk: untuk pertama kali Indonesia gagal menempatkan pemain di babak semifinal. Dari hadiah US$ 70.000 yang disediakan Pro-Kennex, milik Taiwan, Cina memboyong US$ 26.250 lewat Luan Jin (juara tunggal putra), Li Lingwei (kampiun putri), Han Aiping (juara kedua), dan Zhang Ailing (juara ketiga). Tapi hadiah uang hanya 10% yang diserahkan kepada para pemain. Sisanya, hak organisasi bulu tangkis Cina. "Paling-paling cukup untuk membeli suvenir kecil dan murah," kata Chen Fu Shou, pelatih Cilla kelahiran Solo ini. "Tidak ada pemain yang dapat hadiah tanah, rumah, atau mobil." Dengan bangga ia menunjukkan, pemain Cina walau berprestasi di tingkat dunia, tetap sederhana. Hadiah yang diterima pemain Indonesia, Liem Swie King dan Hastomo Arbi, masingmasing US$ 3.000, serta Icuk US$ 2.000, juga diserahkan ke PBSI. Sebab, mereka tidak menyandang predikat pemain profesional. Inilah bedanya dengan pemain nyentrik dari Malaysia, Misbun Sidek, 24, yang masuk "jaringan" IMG. Hadiah US$ 5.250 ia makan sendiri. Persatuan Bulu Tangkis Malaysia (BAM) tak dapat apa-apa. Risikonya, Misbun, yang terjun ke dunia pro pertengahan Oktober, harus mencari pelatih sendiri dan membiayai perlawatan yang diatur IMG, kantor cabang Hong Kong. "Dalam berlatih, saya ikut selera sendiri. Pelatih ada, tapi lebih senang berlatih sendiri, bangun pukul sepuluh tak ada yang marah," kata Misbun, yang rambutnya meniru model punkrock - bagian tengah dicat cokelat. Tentang kontraknya dengan IMG, Misbun berkomentar, "Saya sendiri tak tahu apa untungnya masuk IMG." Ia menjelaskan, ia hanya akan bermain bulu tangkis sekitar dua tahun lagi. Apa arti Grand Prix Pro-Kennex ini bagi Indonesia? Menurut ketua Bidang Pembinaan PBSI, Rudy Hartono, selain untuk mengetahui peta kekuatan pemain dunia, sirkuit ini semacam uji coba menjelang perebutan Piala Thomas tahun depan di Kuala Lumpur. "Permainan beregu berbeda dengan perorangan. Saya optimistis menghadapi Piala Thomas. Waktu masih cukup untuk mempersiapkan pemain," ujar Rudy. Melihat kemerosotan demi kemerosotan, tak jelas kenapa Rudy cukup optimistis. Sekadar menghibur diri di tengah kesedihan? Entahlah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus