PAK Raden akhirnya terduduk. Gagal menjual tanahnya di Lembang,
dekat Bandung, dia kini menyesali nasib: kehilangan Rp 30 juta.
Gara-garanya, melayani tamunya dari Malaysia main tebak-tebakan
kancing.
Ini, jangan salah, bukan cerita baru serial Si Unyil yang
populer itu. Melainkan, cerita yang sebenarnya terjadi pekan
lalu di Bandung. Pak Raden yang disebut di atas ialah Raden
Setjonegoro alias Tak Tjan. Direktur sebuah SMA swasta ini baru
saja melapor kepada polisi bahwa ia ditipu sekelompok penjudi
yang dipimpin Wong, seorang warga negara Malaysia.
Caranya, Pak Guru yang mau menjual sebidang tanahnya di Lembang
itu diajak ke Hotel Panghegar, tempat Wong dan seorang temannya
juga dari Malaysia, Cheon Lay Hee, menginap. Maksudnya,
mula-mula, membicarakan transaksi tanah. Ini merupakan
pembicaraan lanjutan setelah sehari sebelumnya Wong, Cheon, dan
beberapa temannya WNI asal Bangka - Tjhin Moek Soen alias Rudy,
Oey Moe Tjia, Aliwadin, dan Chandra - diantar seorang makelar
tanah berkunjung ke rumah Pak Tjan. Mereka, menurut Pak Tjan,
tampak serius mau membeli tanahnya. Namun, karena sesuatu,
pembicaraan akan dirampungkan di kamar hotel.
Begitulah, Pak Tjan dan istrinya keesokan harinya menemui Wong
di kamarnya. Wong, menurut Pak Tjan, banyak bercerita dan sempat
menunjukkan kopornya yang berisi uang dolar Amerika. Tak
dihitung, tapi Won memberitahu Pak Guru itu, jumlahnya sekitar
380.000 dolar. Uang itu, cerita Wong kepada Tjan, antara lain
untuk modal berjudi.
Bermula dari cerita judi inilah, menurut Pak Tjan, Wong kemudian
menawarkan permainan baru: taruhan tebak-tebakan kancing. Cara
mainnya mudah. Seorang mengambil sejumlah kancing dan
menggenggamnya. Yang lain menebak berapa kancing yang ada di
genggaman itu. Jika tepat, penggenggam kancing membayar lima
kali dari jumlah taruhan. Misalnya, sebelum kancing digenggam
jumlah taruhan disebut Rp 50.000, maka bandar harus membayar Rp
250.000 kepada penebak. Sebaliknya, bandar akan meraup semua
uang taruhan jika tak ada peserta yang menebak secara jitu.
Kendati waktu itu Pak Tjan tak membawa uang, ia mengatakan
tergoda juga untuk main. la akan membayar di rumah, kalau kalah.
Dia malah mau bertindak sebagai bandar. "Hanya dua jam main,
saya seperti kena "mejik", kalah Rp 30 juta," tuturnya lebih
lanjut. Karena merasa jumlah kekalahan itu sudah cukup besar,
akhirnya, dia minta permainan dihentikan. Lalu dia mengajak Wong
dan kawan-kawan ke rumahnya di Jalan Sawunggaling, menyerahkan
cek kontan, karena orang Malaysia itu mengatakan perlu rupiah.
Tersenyum simpul, menurut Pak Tjan, Wong menerima cek itu dan
berlalu. Tapi, sebelum pamit, dia sempat janji, "Besok main
lagi." Tinggallah Pak Tjan merenungi kekalahannya. "Setelah
mereka pergi, baru saya sadar telah tertipu," katanya. Besoknya
dia melapor kepada polisi. Dan ketika Rudy dan Aliwadin, utusan
Wong, darang mengajak main lagi, mereka ditangkap. Bersama
tangkapan itu, polisi kemudian menyergap Wong di kamarnya,
tetapi penjudi lihai itu sudah tak di tempat. Dia kabur bersama
Chandra. Yang tinggal di kamar itu hanya Cheon Lay Hee dan Oey
Moe Tjia serta perlengkapan mereka. Sebuah tas, yang ditunjukkan
Wong kepada Pak Tjan, disita polisi. Setelah dibuka, ternyata,
isinya hanya setumpuk uang berjumlah 5.583 dolar.
Semua perlengkapan dan juga teman-teman Wong kini ditahan.
Kepada polisi mereka mengaku bahwa yang mengatur perjudian itu
adalah Wong. "Saya merasa dibohongi," keluh Cheo Lay Hee kepada
TEMPO, dalam bahasa Melayu terpatah-patah.
Sampai minggu lalu, polisi Bandung sibuk mencari Wong karena,
menurut seorang pemeriksa, sudah 20 orang penjudi korban
komplotan ini datang mengadu. Sepucuk surat, menurut Letnan Satu
Suherman, wakil komandan satuan reserse polisi Bandung, sudah
dikirim kepada polisi Malaysia, meminta mereka menangkap Wong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini