PERTEMUAN di Balai Desa Kalidilem, Kecamatan Randuagung,
Lumajang, Jawa Timur, terhenti ketika sebuah mobil memasuki
halaman. Dua orang lelaki meloncat turun. Seorang yang berbaju
batik, tanpa basa-basi, langsung menghardik, "Kamu Ngartono,
'kan? Ayo ikut saya " Polisi desa yang biasa menangkap maling
itu diam saja. Sutaji, pejabat kecamatan yang pangkatnya paling
tinggi di antara yang hadir, mencoba menengahi. Sayang, ia
malahan diacungi pistol. Lalu, masih dengan sikapnya yang kasar,
tamu tadi melempar Ngartono dengan kursi.
Semua kontan terdiam, dan Ngartono digiring, lalu dinaikkan ke
mobil. Sampai pekan lalu, nasib lelaki itu belum diketahui.
Malam harinya, 5 Desember itu, Purwo Munahar, kepala keamanan
Desa Kudus, Kecamatan Klalah, yang juga masuk daerah Lumajang,
turut hilang. Lepas isya, menurut cerita istri keduanya, Sumami,
Purwo keluar rumah. Tak lama kemudian, terdengar pekikan minta
tolong. Sumami membuka pintu belakang, lalu menggedor dapur
tetangga. Mereka bukannya keluar, tapi malahan mengunci pintu,
ketakutan.
Sumami jadi nekat. Sambil menggandeng seorang anaknya, ia menuju
ke arah datangnya pekikan. Tiba-tiba Harto Amin, tetangganya,
berteriak agar ia kembali saja. Sepintas, wanita itu melihat
Amin seperti meremas kopiah milik suaminya, lalu mencampakkannya
ke tanah.
Tak berapa jauh dari situ, Mbok Atin, yang baru buang air, juga
kepergok seseorang. Orang itu, Singo, entah mengapa, menyuruhnya
segera menyingkir. Mbok Atin kontan gemetar ketakutan dan tak
sempat mengamati apa yang terjadi di dekat rumahnya. Esok
harinya, barulah penduduk bisa mereka-reka apa yang sebenarnya
telah terjadi.
Di pematang, tak berapa jauh dari rumah Mbok Atin, ada rumput
seperti bekas disabit - bisa jadi untuk menghilangkan percikan
darah. Lalu, sepanjang 70 meter ke arah barat, rerumputan rebah
seperti terlindas suatu benda yang terseret. Bekas seretan itu
hilang di jalan setapak yang menuju Dukuh Manggisan yang masih
wilayah Desa Kudus.
Kepala Desa Mohamad Syai, 63, hanya bisa tercenung, ketika
seminggu kemudian adik iparnya ditemukan sudah menjadi mayat.
Jenazahnya terkubur di tepi sungai, di tempat yang tersembunyi.
"Saya merasa ada 'kup' kecil-kecilan di desa ini," katanya
kepada TEMPO. Sudah 20 tahun menjadi lurah Sya'i tahu persis,
ada yang menghendaki kedudukannya.
Warga Manggisan memang ada yang tak cocok dengannya karena Jono,
jago mereka dalam pemilihan lurah pada 1963, kalah. Agustus
lalu, Jono hilang. Dua orang yang lain, kata Sya'i, Juga hilang.
Sementara penduduk menganggap hal itu wajar karena, kabarnya,
Jono pernah diincar petugas. Tapi, menurut warga Manggisan, "dia
bukan bromocorah."
Ada yang menduga, hilangnya Jono akibat ulah Purwo. Menghadapi
semua itu, Sya'i hanya bisa geleng kepala "Keadaan desa ini
sekarang rawan. Penduduk dan pamong desa saling mencurigai,"
katanya sedih.
Akan halnya penculikan terhadap Ngartono sampai pekan lalu belum
ada beritanya. Lurah Bustam, yang masih ada hubungan famlh
dengan korban, enggan berkomentar. "Kalau saya ngomong,
jangan-jangan nanti malah kena giliran," katanya.
Tapi, seperti halnya terhadap kasus Purwo, kuat dugaan bahwa
Ngartono diculik karena tempo hari ia punya andil dalam operasi
memberantas bromocorah. Sebagai kepala keamanan, Ngartono sering
memberi informasi, sehingga polisi bisa menggulung kawanan
pencuri ternak di daerah segitiga Probolinggo-Lumajang-Jember.
Bisa jadi, Ngartono memang telah menjadi korban balas dendam.
Namun, sejauh ini, polisi belum bisa memastikan motif pembunuhan
itu: "Kami baru menyelidikinya," kata Letnan Kolonel Sudatmo,
komandah polisi Lumajang. Beberapa warga Desa Kudus dan
Kalidilem, katanya, sudah dimintai keterangan. Meski begitu,
belum ditemukan petunjuk siapa para penculik itu dan apa
motifnya. Hanya, seorang guru SD di Kudus merasa tak heran
benar menyaksikan peristlwa seperu di atas. "Penyakit masyarakat
sini memang begitu.Kalau tidak main santet, ya main celurit.
'Nggak kena bapaknya, ya anaknya. Kalau tidak, keponakannya pun
jadi," komentarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini