Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban tradisi atau sakit hati?

Dua petugas keamanan desa di lumajang, ngartono & purwo munahar, diculik. purwo munahar ditemukan mati terbunuh. motif penculikan dan pembunuhan diketahui, masih dalam pengusutan polisi. (krim)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN di Balai Desa Kalidilem, Kecamatan Randuagung, Lumajang, Jawa Timur, terhenti ketika sebuah mobil memasuki halaman. Dua orang lelaki meloncat turun. Seorang yang berbaju batik, tanpa basa-basi, langsung menghardik, "Kamu Ngartono, 'kan? Ayo ikut saya " Polisi desa yang biasa menangkap maling itu diam saja. Sutaji, pejabat kecamatan yang pangkatnya paling tinggi di antara yang hadir, mencoba menengahi. Sayang, ia malahan diacungi pistol. Lalu, masih dengan sikapnya yang kasar, tamu tadi melempar Ngartono dengan kursi. Semua kontan terdiam, dan Ngartono digiring, lalu dinaikkan ke mobil. Sampai pekan lalu, nasib lelaki itu belum diketahui. Malam harinya, 5 Desember itu, Purwo Munahar, kepala keamanan Desa Kudus, Kecamatan Klalah, yang juga masuk daerah Lumajang, turut hilang. Lepas isya, menurut cerita istri keduanya, Sumami, Purwo keluar rumah. Tak lama kemudian, terdengar pekikan minta tolong. Sumami membuka pintu belakang, lalu menggedor dapur tetangga. Mereka bukannya keluar, tapi malahan mengunci pintu, ketakutan. Sumami jadi nekat. Sambil menggandeng seorang anaknya, ia menuju ke arah datangnya pekikan. Tiba-tiba Harto Amin, tetangganya, berteriak agar ia kembali saja. Sepintas, wanita itu melihat Amin seperti meremas kopiah milik suaminya, lalu mencampakkannya ke tanah. Tak berapa jauh dari situ, Mbok Atin, yang baru buang air, juga kepergok seseorang. Orang itu, Singo, entah mengapa, menyuruhnya segera menyingkir. Mbok Atin kontan gemetar ketakutan dan tak sempat mengamati apa yang terjadi di dekat rumahnya. Esok harinya, barulah penduduk bisa mereka-reka apa yang sebenarnya telah terjadi. Di pematang, tak berapa jauh dari rumah Mbok Atin, ada rumput seperti bekas disabit - bisa jadi untuk menghilangkan percikan darah. Lalu, sepanjang 70 meter ke arah barat, rerumputan rebah seperti terlindas suatu benda yang terseret. Bekas seretan itu hilang di jalan setapak yang menuju Dukuh Manggisan yang masih wilayah Desa Kudus. Kepala Desa Mohamad Syai, 63, hanya bisa tercenung, ketika seminggu kemudian adik iparnya ditemukan sudah menjadi mayat. Jenazahnya terkubur di tepi sungai, di tempat yang tersembunyi. "Saya merasa ada 'kup' kecil-kecilan di desa ini," katanya kepada TEMPO. Sudah 20 tahun menjadi lurah Sya'i tahu persis, ada yang menghendaki kedudukannya. Warga Manggisan memang ada yang tak cocok dengannya karena Jono, jago mereka dalam pemilihan lurah pada 1963, kalah. Agustus lalu, Jono hilang. Dua orang yang lain, kata Sya'i, Juga hilang. Sementara penduduk menganggap hal itu wajar karena, kabarnya, Jono pernah diincar petugas. Tapi, menurut warga Manggisan, "dia bukan bromocorah." Ada yang menduga, hilangnya Jono akibat ulah Purwo. Menghadapi semua itu, Sya'i hanya bisa geleng kepala "Keadaan desa ini sekarang rawan. Penduduk dan pamong desa saling mencurigai," katanya sedih. Akan halnya penculikan terhadap Ngartono sampai pekan lalu belum ada beritanya. Lurah Bustam, yang masih ada hubungan famlh dengan korban, enggan berkomentar. "Kalau saya ngomong, jangan-jangan nanti malah kena giliran," katanya. Tapi, seperti halnya terhadap kasus Purwo, kuat dugaan bahwa Ngartono diculik karena tempo hari ia punya andil dalam operasi memberantas bromocorah. Sebagai kepala keamanan, Ngartono sering memberi informasi, sehingga polisi bisa menggulung kawanan pencuri ternak di daerah segitiga Probolinggo-Lumajang-Jember. Bisa jadi, Ngartono memang telah menjadi korban balas dendam. Namun, sejauh ini, polisi belum bisa memastikan motif pembunuhan itu: "Kami baru menyelidikinya," kata Letnan Kolonel Sudatmo, komandah polisi Lumajang. Beberapa warga Desa Kudus dan Kalidilem, katanya, sudah dimintai keterangan. Meski begitu, belum ditemukan petunjuk siapa para penculik itu dan apa motifnya. Hanya, seorang guru SD di Kudus merasa tak heran benar menyaksikan peristlwa seperu di atas. "Penyakit masyarakat sini memang begitu.Kalau tidak main santet, ya main celurit. 'Nggak kena bapaknya, ya anaknya. Kalau tidak, keponakannya pun jadi," komentarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus