"HUREE..., kini kita punya undang-undang pajak" Kata-kata itu
meluncur dari seorang anggota DPR yang ikut sidang pleno pekan
lalu. Ketua Panitia Khusus DPR, Novjan Kaman, juga kelihatan
gembira seusai sidang itu. "Syukur, bisa selesai tepat
waktunya," kata Novjan kepada TEMPO. Hari itu, 15 Desember, DPR
menyetujui tiga RUU Perpajakan menjadi UU Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah.
Tapi, selama 20 hari kerja, tak banyak materi - baik mengenai
tarif maupun obyek dan subyek pajak - di ketiga RUU tadi yang
diubah Panitia Khusus, yarlg punya anggota tetap 47 orang dan
anggota pengganti 24 orang. Yang namanya Tarif Pajak Penghasilan
(PPh) tetap saja 15%, untuk mereka yang berpenghasilan sampai Rp
10 juta. Dan 25% untuk yang di atas Rp 10 juta sampai Rp 50
juta. Dan 35% bagi yang berpenghasilan di atas Rp 50 juta.
Juga tarif dalam Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa tetap
10%. Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dikenakan bersama Pajak Pertambahan Nilai Barang, tarifnya 10%
dan 20%. Tapi, dengan peraturan pemerintah, tarif Pajak
Penjualan Barang Mewah itu bisa diubah setinggi-tingginya 35% -
dalam rancangan bisa diubah menjadi serendah-rendahnya 5% dan
setinggi tingginya 30%. Usaha memperberat tarif pajak barang
mewah itu, menurut penjelasan undang-undangnya, dilakukan untuk
"mengendalikan pola konsumsi hidup mewah".
Dengan demikian, tarif pajak baru ini lebih sederhana
dibandingkan ketentuan lama. Penyelewengan dan efek pajak
berganda karena banyaknya tarif dan lapisan kena pajak dalam
ketentuan lama - diharapkan bisa hilang dengan penyederhanaan
tarif itu. Penurunan tarif pajak maksimum dari 45% menjadi 35%,
menurut Direktur Jenderal Pajak Salamun beberapa waktu lalu,
diharapkan pula bakal merangsang "perusahaan besar mau membayar
pajak secara sukarela."
Tapi hari-hari ini banyak perusahaan menengah dan besar yang
justru mulai garuk-garuk kepala. Maklum, setelah dihitung, tarif
PPh 1984 itu ternyata malah memberatkan perusahaan yang punya
laba kotor setahun di atas Rp 30 juta. M. Toishi, manajer
perusahaan tekstil Kanebo Tomen Sandang Synthetic Mills (KTSM),
Jakarta, memberi contoh sebuah perusahaan yang punya keuntungan
Rp 100 juta setahun. Jika perusahaan itu laporan keuangannya
diaudit akuntan publik, maka menurut ketentuan lama - laba
sampai Rp 100 juta tarifnya 20% dia hanya bayar pajak Rp 20
juta.
Namun, dalam ketentuan baru, sesudah dihitungnya, perusahaan itu
harus membayar pajak Rp 29 juta. Jadi, dengan ketentuan baru
itu, kata Toishi, perusahaan yang punya laba Rp 100 juta akan
membayar pajak lebih besar Rp 9 Juta. Tapi, Jika keuntungan
perusahaan itu Rp 500 juta, maka dia hanya membayar lebih besar
Rp 6,5 juta saja. Dengan kata lain, PPh 1984 itu akan memukul
"yang menengah ke atas," ujar Toishi.
Dalam ketentuan UU PPh 1984 itu tarif penyusutan dikelompokkan
secara jelas dalam empat golongan. Golongan bangunan, misalnya,
disusutkan selama 20 tahun atau 5% setahunnya. Kejelasan
mengenai tarif penyusutan itu diharapkan bisa menjauhkan
perselisihan yang sering timbul selama ini. Sudah menjadi
rahasia umum, memang, bertugas pajak sering harus bertengkar
dengan wajib pajak mengenai, misalnya, tarif penyusutan
bangunan. Penyusutan lebih cepat dalam UU PPh 1984 itu
(declining balance method), kata sebuah sumber, dimaksudkan
untuk merangsang pengusaha agar melakukan investasi baru
(reinvestasi).
Guna menghindari kesalahpahaman, UU PPh 1984 ini memperjelas
bentuk usaha tetap yang menjadi subyek pajak. Di situ dikatakan,
bentuk usaha tetap (permanent estahlishment) adalah perusahaan
yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia, tapi
punya kantor cabang, perwakilan, atau proyek di sini. Termasuk
di situ, perusahaan asuransi yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia. Jadi, perusahaan reasuransi,
seperti Lloyd dari London, dalam hal ini bisa kena pajak pula.
Di dalam UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPN) juga tidak banyak yang berubah
dibandmgkan rancangannya. Secara lebih jelas di situ disebutkan
bahwa pengusaha kecil yang menghasilkan dan menjual barang atau
jasa dibebaskan dari pengenaan pajak. Hanya pengusaha yang
menghasilkan (pabrikan) dan memperdagangkan barang yang
tergolong besar yang kena pajak. Tapi, mekanisme pemungutan PPN
itu, seperti terlihat dalam diagram, dipandang terlalu rumit
oleh seorang akuntan publik terkenal. "Saya khawatir, dengan
administrasi yang masih kacau, hal itu malah akan menimbulkan
penyelewengan," katanya.
Kekhawatiran semacam itu rupanya sudah dilihat Menteri Keuangan
Radius Prawiro. Sebagai undang-undang baru, katanya dalam sidang
pleno DPR, dalam tahun-tahun pertama pelaksanaannya mungkin
masih akan menemui banyak hambatan dan kesulitan. Dengan kata
lain, mungkin masih akan banyak wajib pajak yang akan dibikin
pusing petugas pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini