Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

1984 dengan pajak baru

Ruu perpajakan disetujui untuk disahkan menjadi uu tak banyak berubah dari rancangan. pelaksanaannya masih akan banyak terbentur kesulitan. semakin besar laba, semakin kecil pertumbuhan pajaknya.(eb)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"HUREE..., kini kita punya undang-undang pajak" Kata-kata itu meluncur dari seorang anggota DPR yang ikut sidang pleno pekan lalu. Ketua Panitia Khusus DPR, Novjan Kaman, juga kelihatan gembira seusai sidang itu. "Syukur, bisa selesai tepat waktunya," kata Novjan kepada TEMPO. Hari itu, 15 Desember, DPR menyetujui tiga RUU Perpajakan menjadi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah. Tapi, selama 20 hari kerja, tak banyak materi - baik mengenai tarif maupun obyek dan subyek pajak - di ketiga RUU tadi yang diubah Panitia Khusus, yarlg punya anggota tetap 47 orang dan anggota pengganti 24 orang. Yang namanya Tarif Pajak Penghasilan (PPh) tetap saja 15%, untuk mereka yang berpenghasilan sampai Rp 10 juta. Dan 25% untuk yang di atas Rp 10 juta sampai Rp 50 juta. Dan 35% bagi yang berpenghasilan di atas Rp 50 juta. Juga tarif dalam Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa tetap 10%. Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan bersama Pajak Pertambahan Nilai Barang, tarifnya 10% dan 20%. Tapi, dengan peraturan pemerintah, tarif Pajak Penjualan Barang Mewah itu bisa diubah setinggi-tingginya 35% - dalam rancangan bisa diubah menjadi serendah-rendahnya 5% dan setinggi tingginya 30%. Usaha memperberat tarif pajak barang mewah itu, menurut penjelasan undang-undangnya, dilakukan untuk "mengendalikan pola konsumsi hidup mewah". Dengan demikian, tarif pajak baru ini lebih sederhana dibandingkan ketentuan lama. Penyelewengan dan efek pajak berganda karena banyaknya tarif dan lapisan kena pajak dalam ketentuan lama - diharapkan bisa hilang dengan penyederhanaan tarif itu. Penurunan tarif pajak maksimum dari 45% menjadi 35%, menurut Direktur Jenderal Pajak Salamun beberapa waktu lalu, diharapkan pula bakal merangsang "perusahaan besar mau membayar pajak secara sukarela." Tapi hari-hari ini banyak perusahaan menengah dan besar yang justru mulai garuk-garuk kepala. Maklum, setelah dihitung, tarif PPh 1984 itu ternyata malah memberatkan perusahaan yang punya laba kotor setahun di atas Rp 30 juta. M. Toishi, manajer perusahaan tekstil Kanebo Tomen Sandang Synthetic Mills (KTSM), Jakarta, memberi contoh sebuah perusahaan yang punya keuntungan Rp 100 juta setahun. Jika perusahaan itu laporan keuangannya diaudit akuntan publik, maka menurut ketentuan lama - laba sampai Rp 100 juta tarifnya 20% dia hanya bayar pajak Rp 20 juta. Namun, dalam ketentuan baru, sesudah dihitungnya, perusahaan itu harus membayar pajak Rp 29 juta. Jadi, dengan ketentuan baru itu, kata Toishi, perusahaan yang punya laba Rp 100 juta akan membayar pajak lebih besar Rp 9 Juta. Tapi, Jika keuntungan perusahaan itu Rp 500 juta, maka dia hanya membayar lebih besar Rp 6,5 juta saja. Dengan kata lain, PPh 1984 itu akan memukul "yang menengah ke atas," ujar Toishi. Dalam ketentuan UU PPh 1984 itu tarif penyusutan dikelompokkan secara jelas dalam empat golongan. Golongan bangunan, misalnya, disusutkan selama 20 tahun atau 5% setahunnya. Kejelasan mengenai tarif penyusutan itu diharapkan bisa menjauhkan perselisihan yang sering timbul selama ini. Sudah menjadi rahasia umum, memang, bertugas pajak sering harus bertengkar dengan wajib pajak mengenai, misalnya, tarif penyusutan bangunan. Penyusutan lebih cepat dalam UU PPh 1984 itu (declining balance method), kata sebuah sumber, dimaksudkan untuk merangsang pengusaha agar melakukan investasi baru (reinvestasi). Guna menghindari kesalahpahaman, UU PPh 1984 ini memperjelas bentuk usaha tetap yang menjadi subyek pajak. Di situ dikatakan, bentuk usaha tetap (permanent estahlishment) adalah perusahaan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia, tapi punya kantor cabang, perwakilan, atau proyek di sini. Termasuk di situ, perusahaan asuransi yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. Jadi, perusahaan reasuransi, seperti Lloyd dari London, dalam hal ini bisa kena pajak pula. Di dalam UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN) juga tidak banyak yang berubah dibandmgkan rancangannya. Secara lebih jelas di situ disebutkan bahwa pengusaha kecil yang menghasilkan dan menjual barang atau jasa dibebaskan dari pengenaan pajak. Hanya pengusaha yang menghasilkan (pabrikan) dan memperdagangkan barang yang tergolong besar yang kena pajak. Tapi, mekanisme pemungutan PPN itu, seperti terlihat dalam diagram, dipandang terlalu rumit oleh seorang akuntan publik terkenal. "Saya khawatir, dengan administrasi yang masih kacau, hal itu malah akan menimbulkan penyelewengan," katanya. Kekhawatiran semacam itu rupanya sudah dilihat Menteri Keuangan Radius Prawiro. Sebagai undang-undang baru, katanya dalam sidang pleno DPR, dalam tahun-tahun pertama pelaksanaannya mungkin masih akan menemui banyak hambatan dan kesulitan. Dengan kata lain, mungkin masih akan banyak wajib pajak yang akan dibikin pusing petugas pajak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus