MATEMATIKA dan olah raga apa hubungannya? Memang tidak persis ada. Tapi olah raga bisa pinjam matematika, dan matematika bisa pinjam - setidaknya istilah - olah raga. Maka di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI, untuk pertama kali, Juni lalu, diselenggarakan Olimpiade Matematika bagi guru matematika se-DKI Jakarta. Diikuti 109 guru, olimpiade itu baru Selasa pekan lalu mengumumkan pemenangnya. Berbeda dengan soal-soal matematika yang diberikan di kelas, dalam Olimpiade Matematika, 40 soal yang diberikan memang bukan sekadar angka dan garis. "Boleh disebut semacam rekreasi matematika," kata Luwiyono, guru matematika SMAN I, pemenang pertama. Contoh soal: Dari huruf yang membentuk kata "statistik" berapa kata yang berakhir dan bermula dengan huruf mati yang bisa disusun? Memang, soal itu seperti main-main - dan mungkin karena itu disebut "olimpiade". Cuma, dalam pertandingan untuk para guru ini, tak hanya jawaban langsung terhadap soal itu yang dinilai. Para peserta juga diminta memberikan "motivasi, analisa, atau penjelasan singkat", kata Nuniek Soemarjoto guru besar matematika di FMIPA UI, yang menjadi ketua kegiatan ini. Dari situ bisa diketahui seberapa piawai penguasaan ilmu matematika para guru itu. Tapi, yang penting, tampaknya pihak FMIPA berniat memberikan contoh bagaimana menjadikan matematika bukan sekadar ilmu angka dan garis yang kering. Keadaan yang tidak menarik itu terdapat pada soal-soal dalam buku pelajaran matematika di sekolah-sekolah. Dalam buku Matematika terbitan Departemen P & K, misalnya, soal-soal latihan biasanya langsung dibuka dengan "dalam sebuah segi tiga ...." Atau, "Buktikanlah identitas trigonometri cos A tg A...." Memang, di dalam kelas, matematika biasanya sering lepas dari kehidupan sehari-hari. Padahal kata Nuniek Soemarjoto, matematika kini telah memasuki banyak bidang. Analisa-analisa ilmu ekonomi, kependudukan, dan penelitian-penelitian membutuhkan matematika. Guru sebenarnya bisa membuat soal yang dibungkus cerita penuh warna hingga siswa mendapatkan gambaran bahwa ilmu ini sebenarnya sangat berguna. Dengan soal yang kering, dikhawatirkan para siswa mempelajari matematika sekadar sebagai kewajiban. Seorang Anggi, siswa SMA Tarakanita, misalnya, menganggap matematika "menarik" hanya karena pelajaran yang diberikan "mirip soal-soal dalam tes masuk perguruan tinggi". Yang seperti Anggi tentunya tak sedikit. Dan sikap begini tentulah jadi penghambat untuk jatuh cinta kepada matematika - yang mendorong agar orang mau meneliti dan mencari penemuan baru. Untunglah, tak semua guru cuma menulis angka dan menggambar segi tiga atau lingkaran. Luwiyono, pemenang itu, yang hampir 25 tahun sudah menjadi guru matematika, bisa menulis soal dengan menarik. "Soal yang ada segi permainannya, misalnya bagaimana menghitung tinggi menara, atau membuat soal menjadi semacam teka-teki silang," kata lulusan kursus BI (kursus pendidikan guru untuk SMA) di Yogyakarta 1960 ini. Hasilnya, siswa-siswa jadi tertarik - bukan cuma siswa yang memang berniat melanjutkan ke bidang eksakta. Tapi ini memang kenangan lama. Luwiyono sudah lima tahun tak mengajar lagi. Sebab, ia diangkat menjadi salah seorang wakil pimpinan SMAN I. Guru matematika seperti dia memang jarang. Biasanya, para guru cukup mematuhi buku pegangan, dan itu berarti cukup dengan angka dan garis itu tadi. Itu terjadi, agaknya, karena para guru belum melihat kemungkinan mengubah angka dan garis menjadi cerita. Baru setelah mengikuti Olimpiade Matematika, mereka seperti tergugah. "Soal-soal Olimpiade Matematika sangat menarik, akan saya usahakan diterapkan di SMA Tarakanita," kata Krisjayanti 30, guru matematika di Tarakanita, pemenang ketiga. Lulusan IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, ini sebenarnya kadang-kadang juga sudah membuat soal yang berkisah. Cuma masih takut-takut. "Sebab, saya pikir soal yang bercerita tak perlu dipaksakan hingga menimbulkan kesan mengada-ada," katanya. Tapi dengan contoh dari Olimpiade di UI itu, ia kini lebih bisa menerima soal yang bukan sekadar angka dan simbol. Sementara itu, Jimmy Soedarmono, pemenang II, tak lagi heran dengan soal-soal yang penuh cerita itu. Ia - yang baru setahun jadi guru matematika di SMA Tirta Marta, Pondok Indah, Jakarta Selatan - mengaku sudah menerapkan soal serupa. Meski tak berlatar belakang pendidikan guru (ia dari Teknik Sipil Universitas Trisakti), Jimmy tampaknya lebih punya perhatian apakah cara mengajar dan materi pelajarannya disukai siswa atau tidak. Misalnya, ia selalu mengajar dengan bahasa remaja, dan tak mengharuskan siswa bersikap kaku di dalam kelas. "Mereka boleh 'ngantuk, tidur, makan kacang. Asal, nilai ulangannya bagus," tuturnya. Ia membuat soal-soal bercerita itu agar "pikiran siswa tidak buntu." Matematika - menduduki peringkat kedua bidang studi yang terburuk angkanya dalam Ebtanas SMTA tahun ini - menurut para ahli, memang berbeda dengan ilmu pasti masa lalu. Matematika lebih menekankan pada proses berpikir. Sistem pengajaran dimulai dari memberikan pengertian, kemudian contoh soal, barulah rumus dan aksioma. Jadi, seolah siswa sendirilah yang menemukan rumus-rumusnya. "Tapi, banyak siswa yang hanya menghafalkan rumus dan cara mencarinya," kata Luwiyono. "Ya, cepat lupa." Dan siswa menghafal, agaknya, karena guru tak kreatif memberikan soal. Untuk itu, Olimpiade Matematika sudah memberikan contoh. Selanjutnya, terpulang kepada para guru sendiri. Bambang Bujono Laporan Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini