Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UDARA dingin begitu mengiris tulang. Di sebuah kawasan di Paris, Bernard Bass, 17 tahun, sering bengong merenungi nasibnya. Di negeri orang, laki-laki tanggung itu tinggal sendiri. Tiada sanak, kawan, pun kekasih. Dia hanya bisa menghitung sunyi. Hidupnya tak tenang. Dia menghindari keramaian. Bila statusnya sebagai pendatang liar ketahuan, tamatlah riwayatnya.
Nasib serupa dialami Effa Steve, remaja seusia Bass. Dia juga pendatang gelap. Masa berlaku visanya sudah lama habis. Beruntung, Steve memiliki teman senasib. Dengan uang ala kadarnya hasil berjualan—salah satunya tas Prada palsu—mereka urunan menyewa apartemen kumuh.
Perjalanan panjang membuat mereka terdampar di sana. Semula, Bass dan Steve ingin mengangkat derajat keluarga mereka. Pilihannya: menjadi pemain sepak bola profesional di salah satu klub Prancis. Bekal mereka adalah bakat menggiring bola di lapangan. ”Mama menjual rumah untuk mengongkosi perjalanan ini,” kata Bass, lirih.
Sayang, itu cuma mimpi. Dua tahun lalu, agen yang menjanjikan mereka bermain di klub Metz, Prancis, rupanya hanya mengarang dongeng. Kontrak dengan klub, seperti yang dijanjikan, palsu. Malah, ketika kapal laut yang ditumpangi Bass merapat di Tenerife—pulau terbesar Canary Islands, Spanyol, yang ada di laut lepas Afrika—Bass ditahan petugas imigrasi karena dianggap di bawah umur. ”Aku bilang usiaku lebih dari 18 tahun.”
Untungnya, Bass lolos dan berhasil melanjutkan perjalanan hingga Metz, kota di timur laut Prancis. Namun dia telanjur menyimpan trauma. Bass pun terpaksa melupakan mimpinya. Kecewa dan putus asa. Apalagi bila dia ingat uang yang sudah diberikan kepada orang yang menjadi agennya.
Dua remaja keling itu memang sangat tidak beruntung. Namun nasib buruk bukan hanya milik mereka. Ratusan remaja seperti dirinya tersebar di berbagai kota di Prancis. Mereka tak ubahnya seperti tenaga kerja yang ditipu calo. Dijanjikan hidup enak, tapi mereka telantar di tanah harapan.
Saat ini, menjadi pemain sepak bola profesional, apalagi bisa merumput di liga besar seperti di Inggris, Italia, atau Spanyol, menjadi impian remaja di Afrika. Keberhasilan pemain asal Afrika seperti Didier Drogba, Michael Essien, dan Samuel Eto’o adalah sebabnya. Orang tua mereka pun mendukung sepenuh hati. Harapannya, mereka bisa keluar dari kemiskinan.
Di kancah sepak bola dunia, Afrika memang sudah naik kasta. Lihat saja kejuaraan Piala Afrika yang tengah digelar di Ghana. Turnamen itu makin menyita perhatian dunia. Seorang pengamat bola dunia menyatakan Piala Afrika ini adalah pertandingan yang paling liar dan unpredictable di antara kompetisi bola dunia lainnya. Dan si pengamat menempatkan Piala Afrika setelah Piala Dunia dan Piala Eropa.
Memang, sejak pertengahan 1990-an, seiring dengan prestasi tim dari negara-negara Afrika, banyak klub yang mulai melirik pemain benua ini. Banyak sebabnya. Fisik dan bakat yahud. Tak kalah pentingnya, harganya sangat miring dibanding pemain dari Eropa. ”Mereka memiliki motivasi kuat keluar dari kemiskinan,” kata Tord Grip, asisten pelatih Manchester City.
Pemain berbakat berhamburan di sana. ”Tak berbeda dengan di Brasil. Mereka, anak-anak yang bermain di jalanan dengan kaki telanjang, memiliki bakat luar biasa,” kata Frank Arnesen, kepala pencari bakat dari klub Chelsea.
Berlimpahnya bakat alam itu pula yang membuat klub-klub besar Eropa memasang mata dan telinga. Klub seperti Ajax dan Feyenoord (Belanda) mendirikan sekolah sepak bola. Lalu, dari Prancis, klub Paris Saint-Germain dan Monaco memasang jaring pencari bakat. Demikian juga klub-klub asal Inggris. Intinya, mereka mencari pemain sedini mungkin, demi memangkas ongkos.
Emmanuel Eboue, pemain belakang Arsenal, adalah salah satu alumnus ASEC Mimosas, sekolah sepak bola di Pantai Gading. Dia masuk sejak berusia sembilan tahun. Sebelum di Arsenal, dia pernah merumput di Beveren, sebuah klub di Belgia. Eboue, 24 tahun, berubah dari anak kecil kelahiran Abijan, Pantai Gading, menjadi pemain kelas dunia.
Akra di Ghana dan Abijan di Pantai Gading memang menjadi kota penting dalam perburuan pemain muda di Afrika Barat. Di sanalah, para agen atau pencari bakat dari Eropa mangkal. Orang tua yang berada di negeri tetangga, seperti Nigeria, Burkina Faso, Kamerun, dan Mali, rela mengirimkan anak-anak mereka untuk masuk sekolah sepak bola di sana. Harapannya, bakat anak mereka bisa terendus para pencari bakat.
Seperti kata pepatah ”ada gula ada semut”, sekolah sepak bola pun bermunculan. Di Akra, setidaknya terdapat sekitar 500 sekolah sepak bola. Namun banyak sekolah sepak bola ini yang jauh dari ideal. Mereka berlatih di jalanan berdebu, kadang tanpa alas kaki, dan gawang ala kadarnya. Pelatih? Umumnya mengaku pernah menjadi pemain sepak bola, tapi mereka sering gagap bercerita tentang klub yang pernah dibelanya.
Sekolah seperti inilah yang diincar para agen atau makelar. Meski sebenarnya tak jelas betul siapa mereka, dengan omongan dan gaya meyakinkan, mereka bisa menaklukkan para keluarga di sana. Agen ini umumnya datang dari Eropa, mengambil anak-anak yang dianggap memiliki bakat. Iming-imingnya adalah mereka akan segera masuk tim junior klub di Eropa.
Tapi, untuk itu, tentu ada fulusnya. Nah, para calo ini minta biaya kepada orang tua sang anak sekitar US$ 3.000 untuk tiap anak atau sekitar Rp 27,7 juta. Untuk melicinkan jalan, mereka harus memiliki paspor Ghana. ”Katanya, dengan memiliki paspor Ghana, aku punya kesempatan masuk tim junior sehingga punya kesempatan tur ke Eropa,” kata Kingsley Chibueze, remaja yang datang dari Nigeria. Untuk urusan paspor, pamannya harus merogoh kocek US$ 100 atau hampir satu juta rupiah. Itu bukan hal sulit. Di Akra, berbagai jasa mudah didapat. Selain paspor palsu, identitas seperti akta kelahiran bisa diperoleh sesuai dengan pesanan.
Iming-iming menjadi kaya dan terkenal memang manjur. Banyak yang tergiur, meskipun akhirnya anak-anak muda Afrika yang berbakat sepak bola itu tak menemui jalan terang. Mereka diperlakukan seperti budak. Saat dibawa ke Eropa, mereka mendapatkan perlakuan tak layak. Bukan naik pesawat terbang, melainkan diangkut dengan kapal laut yang pengap.
Tahun lalu, di perairan dekat Tenerife, sebuah kapal laut yang membawa 300 penumpang rusak. Penumpangnya terkena hypothermia atau kemerosotan suhu badan dan dehidrasi. Lima belas di antara penumpang itu adalah remaja yang, menurut mereka, akan bermain sepak bola untuk klub seperti Marseille atau Real Madrid.
Meski marak penipuan, sekolah sepak bola di Akra masih juga diserbu anak-anak yang memiliki cita-cita menjadi bintang. Contohnya Daniel Vijo dan Imano Buso, keduanya 12 tahun. Menurut Isaac Aloti, sang pelatih, bakat kedua anak didiknya itu sungguh istimewa. Liuk badannya mempesona. ”Mereka sudah saya kontrak. Tak lama lagi, mereka akan pergi ke Eropa untuk mengikuti tes. Scout dari Paris Saint-Germain sudah menyatakan tertarik kepada mereka,” katanya. Akankah Vijo dan Buso menjadi bintang? Atau nasib mereka akan berakhir seperti Bass dan Steve.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo