Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu pekan lalu itu, terasa istimewa. Untuk pertama kalinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang 50-an pengusaha kakap di industri pangan. Mereka adalah importir, eksportir, dan produsen yang selama ini berperan besar menyetir harga pangan di negeri ini.
Di sana terlihat Franciscus Welirang, Wakil Presiden Direktur Indofood, raja mi instan dan pemasok 65 persen tepung terigu nasional. Ada Franky Oesman Widjaja, Komisaris Utama SMART, produsen minyak goreng terbesar di Indonesia. Ada William Katuari, pemilik Wings Group, importir tepung terigu dan produsen pangan utama. Ada pula Cargill Indonesia, salah satu importir kedelai terbesar di sini.
Sejumlah nama besar lain yang turut hadir adalah pimpinan Garuda Food, Sugar Group, Wilmar Group, Tiga Pilar Group, Bulog, serta Pertamina. Tak ketinggalan pula gubernur enam provinsi—kebanyakan di Pulau Jawa—yang rakyatnya paling menderita akibat lonjakan harga pangan.
Lebih dari dua jam, Presiden Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan belasan menteri kabinet mendengar masukan para produsen pangan tersebut. Mereka umumnya meminta insentif pajak dan bea masuk. Sebaliknya, Presiden SBY bukan sekadar meminta mereka ikut berbagi beban mengendalikan harga. Tetapi juga mengingatkan mereka agar jangan aji mumpung. ”Presiden ingin harga turun secepatnya,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Boediono seusai pertemuan.
Pemerintah memang menghadapi masalah gawat. Harga barang pokok seperti beras, minyak goreng, kedelai, tepung terigu, minyak tanah, melambung tinggi. Bahkan terigu dan kedelai melonjak 100 persen dalam setahun ini akibat tren kenaikan harga komoditas di pasar dunia. ”Sebagai negara importir, kita jelas kena,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmi), Thomas Darmawan, pekan lalu. Itu juga dialami oleh Cina, India, dan Malaysia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menguatkan kegentingan itu. Sepanjang 2007, kelompok bahan makanan menjadi pemicu terbesar kenaikan harga. Dari total laju inflasi 6,59 persen tahun lalu, bahan pangan memberi andil inflasi hingga 2,82 persen. Kenaikan ini disokong oleh harga beras, minyak goreng, hingga mi instan.
Ironisnya, Januari lalu, perkembangan harga barang pokok malah semakin mencekam. Bayangkan, inflasi menjulang hingga 1,77 persen. Level ini tertinggi sejak empat tahun lalu dan terjadi di seluruh kota Indonesia. Penyebabnya, lagi-lagi, melejitnya harga bahan makanan seperti beras, minyak goreng, kedelai dan terigu.
Data BPS itu seperti merekam kegalauan masyarakat di Nusantara. Berita tentang warga makan nasi aking, antrean minyak tanah, hingga pengusaha pangan kecil terancam bangkrut, seolah menjadi kabar biasa. Yang tragis, ada pedagang gorengan yang sampai bunuh diri gara-gara lonjakan harga barang pokok. Tak mengherankan jika aksi demo menentang kenaikan harga kian marak.
Pemerintah tentu kalang kabut. Selama sepekan lalu, tim ekonomi intensif menggeber rapat maraton guna mencari pemecahan gejolak harga. Tak peduli kalender berwarna merah. Pada Minggu dua pekan lalu, Presiden Yudhoyono memimpin sidang kabinet membahas kebijakan pangan. Hari-hari berikutnya, SBY bergiliran mengundang konglomerat dan direktur BUMN pada Rabu dan Kamis pekan lalu. BUMN malah diminta berperan, misalnya menggalakkan pasar pangan murah.
Agar rencana ini berjalan lancar, Menteri Keuangan Sri Mulyani cepat-cepat melobi DPR pada Rabu malam pekan lalu. Meski baru jalan satu bulan, ia sudah ancang-ancang merombak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008. Soalnya, kebijakan pangan itu erat kaitannya dengan APBN. Jika tidak segera bertindak, Ibu Menteri khawatir defisit anggaran bakal membengkak.
Namun, urusan belum beres. Jumat paginya, Presiden melakukan inspeksi mendadak ke Karawang, Jawa Barat. Di sana ia berkeliling ke Pasar Baru bersama Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono guna mengetahui gejolak harga yang terjadi. Kepada masyarakat yang mengerumuninya, ia mengumbar janji. ”Kami akan menstabilkan harga bahan pokok,” kata Presiden.
Di tengah jebakan banjir yang mengepung Jakarta, ia bergegas pulang dari Karawang untuk memimpin sidang kabinet pada Jumat siangnya. Setelah rapat lebih dari dua jam, ia mengumumkan paket kebijakan pangan yang dinanti. Sepintas, terkesan seperti orang panik, segala cara ditempuh oleh pemerintah, mulai dari kebijakan fiskal, subsidi, hingga importasi, semua senjata dikerahkan.
Untuk jangka pendek, misalnya, pemerintah menghapus bea masuk impor kedelai dan tepung terigu. Bea masuk impor beras dipangkas dari Rp 550 menjadi Rp 450 per kilogram. Sedangkan untuk minyak sawit mentah (CPO), pemerintah justru mengenakan pungutan ekspor agar pasokan di dalam negeri terjaga.
Yang paling memberatkan adalah subsidi. Untuk beras miskin saja, subsidi dinaikkan dari 10 kilogram menjadi 15 kilogram per bulan bagi setiap keluarga. Untuk mengamankan harga minyak tanah—di tengah lonjakan harga minyak mentah dunia—subsidi BBM bakal melonjak menjadi Rp 106 triliun. Adapun untuk menggenjot produksi pangan domestik, pemerintah akan menambah alokasi dana subsidi pupuk dan benih.
Dengan berbagai upaya itu, pemerintah berharap bisa segera mengatasi mahalnya bahan pangan. Target pun telah ditetapkan agak jauh di bawah harga pasar. Menurut sumber Tempo, target itu antara lain, beras biasa Rp 4.600, gula Rp 6.500, kedelai Rp 6.000, tepung terigu Rp 6.500 masing-masing dalam satuan kilogram. Sedangkan minyak goreng curah Rp 8.000 dan minyak tanah Rp 3.000 per liter.
Namun sejumlah ekonom menilai penghapusan pajak dan bea masuk itu terlambat. Ekonom Didik J. Rachbini mempertanyakan mengapa kebijakan tersebut tak diambil ketika harga sudah mulai naik. Yang tak kalah penting, menurut dia, pemerintah harus mendekati pemain besar yang cenderung melakukan kartel bahan pangan. ”Mereka harus dimintai tanggung jawab karena harga dilepas ke pasar.”
Berbeda dengan masa Orde Baru, distribusi barang pokok memang tak lagi dikendalikan oleh pemerintah lewat Bulog, tetapi dikontrol oleh para pemain swasta besar. Kedelai dikuasai importir seperti Cargill, tepung terigu oleh Indofood bersama Wings Group, minyak goreng oleh Sinar Mas, Indofood, dan lainnya. Hanya minyak tanah dan beras yang masih dikontrol perusahaan negara seperti Pertamina dan Bulog. Itu pun dengan subsidi.
Artinya, peran swasta tak bisa dianggap enteng. Setelah diundang Presiden Yudhoyono, sejumlah raja bisnis pangan itu mengaku bersedia turut berbagi, misalnya dengan cara memangkas biaya atau mengerem laju kenaikan harga, asalkan mereka tak sampai buntung. ”Kalau rugi, nanti tidak ada lagi yang mau dagang,” ujar Franky Widjaja, penguasa minyak goreng, pekan lalu.
Namanya juga pedagang, mereka tetap saja minta syarat. Insentif pajak tak bisa ditawar-tawar lagi. Misalnya tepung terigu. Langkah pemerintah menanggung pajak PPN 10 persen secara teoretis akan memangkas harga hingga 10 persen. Dengan penghapusan bea masuk, harga bisa turun lagi.
Sayangnya, prakteknya tak sesederhana itu. Menurut Franky Welirang dari Bogasari, meski insentif pajak diberikan, harga bahan baku roti dan mi itu sulit diturunkan karena gandum sudah naik lebih tajam. Yang paling mungkin adalah mengerem laju kenaikan harga.
Bagaimanapun, paket baru kebijakan pangan oleh pemerintah masih perlu diuji. Franky Widjaja optimistis, paket itu akan berperan membantu memangkas atau setidaknya mengerem kenaikan harga. Dia beralasan, jika para pemain besar menurunkan harga, ruang gerak spekulan akan terbatas, sehingga harga akan ikut tergerus. Tapi, jika harga-harga tidak turun juga, saatnya pemerintah menagih janji mereka.
Heri Susanto, Fanny Fabiana, Muchamad Nafi, Sutarto
Paket Pangan Murah
Beras
Minyak Goreng
Kedelai
Tepung Terigu
PPN: Pajak Pertambahan Nilai
SNI: Standar Nasional indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo