SUASANA asrama pemain bola di Gelanggang Olah Raga Ragunan
nampak lengang. Beberapa penghuninya bergerombol di depan pintu
asrama. Tak ada lagi gelak-tawa seperti hari-hari sebelumnya.
Suasana benar-benar terasa suram, bagaikan sebuah kesebelasan
yang kebobolan seribu gol tanpa balas.
Lapangan yang terletak di sebelah asrama itu juga tampak
berduka. Rumput bagaikan mau menangis. Karena tak ada lagi
puluhan pasang kaki yang dia kenal selama ini, bermain di situ.
Lapangan ini pernah melahirkan pemain besar seperti Anjas
Asmara, Sofyan Hadi, Sutan Harhara, dan Andi Lala.
"Dua malam asrama ini seperti kuburan, nggak ada televisi. Kami
semua menonton di kelurahan," cerita Basyirudin. Ia adalah
pemain dari klub Liga Utama, Jayakarta, yang mengundurkan diri
dari Liga Utama 9 Juni yang lalu.
Pengunduran diri itu diambil pimpinan Yayasan Jaya Raya,
Ciputra, dalam acara yang diliputi suasana yang terasa pedih.
Karena ternyata usia 13 tahun, yang boleh dikatakan usia
mendekati dewasa, bagi klub Jayakarta justru menjadi masa surut.
Orang masih mengenang bagaimana klub ini bangun dan berpangkalan
di sebuah bangunan, bekas Hotel Tjeng Eu, di daerah Senen.
Tempat di mana PT Pembangunan Jaya mula-mula bangkit.
Anak-anak bola Jayakarta menjemur dan latihan di bagian terbuka
yang terletak di lantai paling atas dari bangunan tua itu. Dari
situ, setahun kmudian Jayakarta pindah ke Ragunan. Dan dalam
perjalanannya satu dasawarsa itu dia mencetak prestasi menjuarai
beberapa kali kompetisi Divisi Persija, sehingga merebut piala
Persija setelah tiga kali berturut-turut memenangkan kompetisi
itu. Kemudian muncul dua kali sebagai runner-up kompetisi Liga
Utama.
Pasang surut klub ini mulai terlihat awal tahun 1982, ketika tim
manajer F.H. Hutasoit dan kapten kesebelasan merangkap pelatih
Iswadi Idris dan beberapa pemain ramai-ramai meninggalkannya.
Dalam putaran kompetisi berikutnya dia benar-benar jatuh. Berada
di papan bawah. Dan dalam putaran terakhir kompetisi malahan
tersingkir dari Divisi I.
Menurut Ciputra, pengunduran diri dari Liga Utama ini karena
tujuan utama Jayakarta yang semula untuk pembibitan dan
pembinaan persepakbolaan, sudah tak tercapai lagi. "Ini terutama
setelah kita masuk dalam kompetisi Liga. Pikiran kita hanya
terpusat bagaimana untuk menang. Sementara tujuan utama untuk
pembibitan menjadi terbengkalai," urai Ciputra, orang yang sejak
awal mengikuti perkembangan klub tersebut. Dialah yang dengan
suara agak parau menantang anak-anak bola itu 13 tahun yang lalu
dengan kata-kata: "Biaya dan fasilitas telah diberikan, alasan
apa lagi untuk gagal?"
Pengunduran diri Jayakarta dari Liga, menurut Ciputra, ada segi
mendidiknya. "Dengan pengunduran diri ini, secara moral pemain
turut bertanggung jawab. Karena begitu mereka tak berprestasi
lagi maka mereka harus menanggung risiko untuk kembali ke
amatir. Sekarang pemain harus bekerja untuk menghidupi dirinya,"
katanya.
Jayakarta sendiri belum menghilang dari persepakbolaan. Klub
amatirnya yang sekarang memang tetap tumbuh, kelihatannya akan
mendapat perhatian yang lebih besar. Sebanyak 6 pemain dari klub
Jayakarta Galatama sudah menyatakan memilih masuk ke klub amatir
itu. Sementara 18 pemain yang lain belum memutuskan pindah ke
klub Liga yang lain atau pulang ke kampung asal mereka.
Klub amatir dari Jayakarta nampaknya akan maju. Kalau materi
dijadikan ukuran. Paling tidak fasilitas yang selama ini
dinikmati klub Jayakarta Galatama, bisa berpindah tangan,
sekalipun tidak seluruhnya. Dana Rp 190 juta per tahun untuk
Jayakarta Galatama dari Yayasan Jaya Raya sedikit banyak bisa
bergeser ke klub Jayakarta amatir yang selama ini hanya
mencicipi sumbangan Rp 3,6 juta per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini